Rabu, 13 Maret 2013

Biografi K.H. Abdul Wahab Hasbullah


PENDAHULUAN
Menilik sekilas tentang sejarah lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), selain tokoh fundamental K.H.
Hasyim Asy’ari dan K.H. A.Wahid Hasyim juga dikenal K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang berperan penting dalam proses berdiri sampai berkembangnya NU. Jika sosok K.H. A.Wahid Hasyim dapat dikategorikan sebagai tokoh dan teladan kaum muda, maka K.H. Wahab Hasbullah dapat dikatakan sebagai sosok kaum tua dari sederet kiai dalam organisasi tersebut. Beliau menjadi kiai yang paling lama berkiprah di pentas perpolitikan nasional. Hal ini disebabkan karena ia berkiprah tanpa henti mengikuti tiga zaman, yaitu masa pergerakan sampai merebut kemerdekaan, masa kepemimpinan Soekarno dan masa kepemimpinan Soeharto. Sosok beliau dikenal sebagai seorang pekerja keras, gesit dan tekun. Walaupun tubuhnya kecil dan sebenarnya tidak layak disebut sebagai pendekar, namun ulama khos Kyai Kholil Bangkalan Madura, menyebutnya semenjak muda sebagai “macan”. Hal tersebut dibuktikan sebagai sosol kiai yang tidak hanya berani dengan tangan kosong, tapi juga berani  berkelahi lewat jalur politik. Beliaulah yang mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah. Kemudian beliau mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkarm Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar yang kesemuanya itu menjadi embrio berdirinya organisasi NU. Bahkan dalam urusan mistik, Kiai Wahab Hasbullah mempunyai wirid tersendiri yang bukan hanya cukup disegani, melainkan juga banyak dipercayai oleh para santri dalam memudahkan segala urusan dunianya.
Kiai Wahab Hasbullah adalah sosok ulama dan kiai yang berpikir moderat, pragmatis, dan terbuka. Ia bersikap sangat kontekstual dalam memandang hukum-hukum fikih sehingga sering mendapat peringatan dari guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari bahwa dalam menyampaikan fikih jangan sampai kebablasan.
Dari sinilah kita perlu menggali lebih jauh tentang sosok dan kiprah K.H. Wahab Hasbullah. Dari berbagai referensi yang dapat penulis temukan dalam menyusun makalah ini, semoga dapat membawa manfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin menjadikan beliau sebagai teladan.
B.     BIOGRAFI KIAI WAHAB HASBULLAH
§  Kelahiran dan Masa Kanak-Kanak
Kiai Abdul Wahab Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan Nyai Latifah, pada Maret 1888 di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Wahab Hasbullah kecil banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan bersenang-senang layaknya anak-anak kecil masa itu. Semenjak kanak-kanak, Wahab Hasbullah dikenal sebagai pemimpin dalam segala permainan.
§  Silsilah Keturunan
K.H. Wahab Hasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah K.H. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Soichan.
§  Pendidikan
Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1.      Pesantren Langitan Tuban.
2.      Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3.      Pesantren Cempaka.
4.      Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5.      Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6.      Pesantren Branggahan, Kediri.
7.      Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.

Khusus di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).

§  Menikah dan Membina Rumah Tangga
Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putrid Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.
Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setekah itupun ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan belaiau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).

§  Wafat
K.H. Abdul Wahab Hasbullah menjabat Rais Aam Organisasi Nahdlatul Ulama sampai akhir hayatnya. Muktamar NU ke-25 di Surabaya adalah Muktamar terakhir yang diikutinya. Khutbah al-iftitah muktamar yang lazim dilakukan oleh Rais Aam kemudian diserahkan kepada K.H. Bisri Syansuri yang biasa membantunya dalam menjalankan tugasnya sebagai Rais Aam untuk membacakannya. K.H. Abdul Wahab Hasbullah meninggalkan muktamar dalam keadaan sakit yang akut. Hampir lima tahun ia menderita sakit mata yang menyebabkan kesehatannya semakin menurun.
Akhirnya, tepat empat hari setelah muktamar atau tepatnya Rabu, 12 Dzulqa’idah 1391 H atau 29 Desember 1971, Kiai Wahab Hasbullah wafat di kediamannya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak beras, Jombang (Masyhuri, 2008:107).

C.    PERJUANGAN
Perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih dikaitkan dengan persoalan pergerakan, organisasi, maupun istilahnya politik Islam. Langkah awal perjuangan yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia mendirikan madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”. Nama madrasah sengaja dipilih Nahdlatul Wathan yang berarti: “bangkitnya tanah air” adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonial Belanda.
Menurut K.H. Muhammad Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri Syansuri, Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya untuk melawan tentara sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjata lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Ketika Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei 1942, Kiai Wahab dan K.H. Wahid Hasyim bersama para kiai berulangkali melakukan dialog dengan Saikoo Sikikan (panglima tertinggi tentara Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari. Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut dilatar belakangi oleh adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para santrinya melakukan saikere, yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membungkukkan badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, Raja Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan tindakan tersebut dan fatwa beliau disampaikan kepada Saikoo Sikikan. Selama satu bulan waktunya dihabiskan untuk menagani persoalan tersebut. Setelah melampaui perjuangan yang berat dan penuh resiko, akhirnya terbebaslah Kiai Hasyim Asy’ari dari tahanan pemerintah militer Jepang setelah lebih dari empat bulan beliau dipenjara oleh Jepang. Akan tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai hingga disini. Lalu pergilah Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama NU melalui pengadilan Jepang.
Tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah-langkah perjuangan lain yang ditempuh Kiai Wahab. Ini penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.
Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan” yang berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau juga aktif berkiprah sebagai penasehat di Masyumi yang beranggotakan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) bersama K.H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur (non-partai) karena didorong oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan yang baik antara partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI didirikan di Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober 1943 dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.
Sarekat Islam (SI) adalah pergerakan yang beliau dirikan selanjutnya bersama rekan-rekannya ketika masih menuntut ilmu di Mekkah. Pergerakan ini bukan sekadar mengumpulkan cendekiawan dari kalangan Islam tanah aur, melainkan gerakan ini juga ingin memajukan kaum Islam yang rendah ekonominya dan rendah pengetahuannya.
Beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus “Masail Diniyyah” (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis.
Selanjutnya, pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz, beliau lalu membentuk Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H. Hasyim Asy'ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz” sebagai bentuk respon atas proses “wahabisasi” di Arab yang memberi pengaruh pada persoalan kebebasan beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi sendiri ke Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.

D.    PEMIKIRAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Jika disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Hasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan maneuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab Hasbullah juga begitu kontraversial?.
Diantara beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.
§  Bidang Pendidikan
Menurut beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, antara lain:
1.   Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
2.   Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
3.   Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan
4.   Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).

§  Bidang Keagamaan
Konsep Kiai Wahab Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana peran Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan pla pergerakan ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran beliau lebih terbuka dengan tidak keras atau fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran bersama, dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal sebagai moderatisme.

§  Pergerakan
Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Mengapa hal demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari Kiai Wahab Hasbullah?
Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan kehidupan. Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren.

§  Demokrasi
Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:

“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain. Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan “landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).

         Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.

E.     WARISAN DAN PENINGGALAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Ukuran ketokohan K.H. Wahab Hasbullah bukanlah terletak pada buku karya ilmiahnya, karena memang bolah dikatakan beliau tidak meninggalkan sebuah karangan pun, melainkan buah pikiran dan kemampuan ilmunya yang diuraikan dimana-mana dalam banyak kesempatan dan peristiwa. Mungkin bagi kalangan intelektual murni, yang suka menganalisis dari teks ke teks saja, hal ini sangat disayangkan. Setidaknya, beliau menyempatkan diri untuk menuliskan buku panduan menkadi politisi menurut konsep aswaja.
Namun, sebenarnya  tidaklah benar seratus persen jika Kiai Wahab Hasbullah hanyalah seorang tokoh atau kiai politik saja. Beliau dikenal sebagai kago silat dan ahli wirid. Konon dimana-mana, Kiai Wahab menyebut ijazah, macam-macam hizib, wirid kepada seluruh warga NU da siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Ia menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkaenal dan biasa diamalkan terutama dikalangan Pesantren sampai sekarang, dicuplik dari buku Azis Mashyuri, yaitu:

            “Maulaya shalli wa sallim da’iman abada
                        ‘alal habibika khairil khalqi kullihimi

            Huwal habibul ladzi turja syafa’atuhu
                        Likulli hauli minal ahwali muktahimi”.

F.     PENUTUP
Pepatah menyatakan “tiada gading yang tak retak”, penyusun tuliskan sebagai reflaksi terhadap tokoh Kiai Wahab Hasbullah dalam makalah ini. Beliau memang orang besar, semua orang banyak yang mengakuinya. Namun, Kiai Wahab Hasbullah juga seorang manusia. Manusia tetaplah manusia yang tetap pada sifat kemanusiaannya, bisa marah, bisa lupa ataupun salah. Karena jika tidak demikian ia tentunya adalah malaikat.
Pemakalahpun dalam hal ini melihat sosok beliaupun demikian. Pemakalah tidak meragukan perannya terhadap berbagai pergerakan dan organisasi yang beliau realisasikan didalamnya, terutama di organisasi Nahdlatul Ulama yang lahir pada tahun 1926 dan telah berkembang menjadi organisasi terbesar dikalangan mayoritas umat Islam di Indonesia.
Menurut Budiawan, suatu godaan besar senantiasa menghadang para penulis biografi adalah kecenderungan untuk terjebak kedalam personifikasi nilai-nilai pada diri tokoh yang menjadi subyek penulisan. Lebih-lebih bila motivasi itu berada diluar kepentingan akademis, godaan yang lebih besar semakin tak terelakkan.
Jika godaan itu semakin besar, tidak jarang dijumpai sebuah biografi yang mengisahkan seorang tokoh melampaui kapasitasnya sebagai manusia. Biografi semacam ini jelas sudah sudah tidak lagi berbicara tentang kisah manusia, tetapi kisah tentang manusia yang telah dinobatkan sebagai “setengah dewa” atau “dewa”.
Budiawan dalam hal ini sepakat dengan pendapat Ralph Ross, bahwasanya biografi bukan sepenuhnya ilmu, melainkan berada pada perbatasan antara ilmu dan seni. Dalam bahasa Ralph Ross, biografi adalah seni yang semi-ilmiah (Budiawan, 2006:1-4).

DAFTAR PUSTAKA
  
Rifa’i, Muhammad. K.H. Wahab Hasbullah Biografi Singkat 1888-1971. Garasi House of Book. Jogjakarta. 2010.

Tim PW LP Ma’arif Jawa Timur. Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif. Jawa Timur.

Azra, Azyumardi. Islam Reformis. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 1999.

Maschan Moesa, Ali. Kiai Politik. LEPKISS. Surabaya. 1999.

Syafi’i Ma’arif, Ahmad. Islam dan Politik. Insani Press. Jakarta. 1996.




Tasawuf dan Psikologi


HUBUNGAN ANTARA TASAWUF DAN PSIKOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai suatu kenyataan manusia ada, karena itu ada eksistensi manusiawi. Konsepsi manusia dalam filsafat merupakan suatu problem yang rumit yang terdapat bermacam macam teori tentang manusia. Oleh karena itulah pembinaan manusia seutuhnya tidak bisa mengenyampingkan factor agama, sebab bagaimanapun agama merupakan bangunan bawah dari moral suatu bangsa. Agama adalah sumber dari sumber nilai dan norma yang memberikan petunjuk, mengilhami dan mengikat masyarakat yang bermoral yang akan menjadi solidaritas dan karena agamalah satu satunya yang memilki dimensi kedalaman kehidupan manusia.
Sebelum kita mencari dan menghubungkan antara tasawuf dengan psikologi, terlebih dahulu kita harus mengerti atau memberikan pengertian dari keduanya. Apa itu tasawuf dan bidang kajiannya? Juga, apa itu psikologi dan kajiannya? Agar kita tidak terjebak dalam pengintergrasian diantara keduanya.
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai islam, dengan pengertian bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh agama islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq pencipta alam semesta.
Sedangkan psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku manusia secara umum dapat dilihat dari segi mental, baik yang bersifat perasaan ataupun bukan, dengan tujuan untuk mencapai kaidah kaidah yang dapat dipakai guna memahami berbagai motif perilaku, mengenali dan memastikan (gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam perilaku).
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsure kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsure kejiwaan.
Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Dimana semua yang dimunculkan melalui jiwanya tersebut baik sikap dan kepribadian seseorang tidak terlepas dari keudua unsure ini yakni tasawuf dan psikologi.
Dan makalah ini mencoba menguraikan tentang hubungan tasawuf dengan psikologi dan sebaliknya yaitu dengan melihat dari sudut pandang psikologi dan sudut pandang tasawuf, bagaimana keduanya saling menginterpretasi satu sama lain sehingga dari kedua unsure tersebut dapat ditemukan keterikatan dalam "hubungan tasawuf dengan psikologi".
BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN TASAWUF DALAM PRESPEKTIF PSIKOLOGI

Jung berpendapat bahwa agama adalah kondisi mental khusus yang bias dikondisikan. Pandangan jung ini berdasarkan kepada penggunaan kata asli "agama" (religion) yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna "pandangan baru" atau "titik persepsi" yang "terbentuk" karena berbagai factor. Artinya, agama adalah suatu istilah yang mungkin sekali "terbentuk" dalam diri manusia karena beberapa factor. Hal ini terjadi karena manusia menemukan keadaan mental tersebut bersifat kuat dan kukuh, sehingga mencapai suatu derajad kemungkinan besar menjadi lokus perhatiaannya.
Sedangkan William James, menganggap agama sebagai suatu bagian dari kehidupan yang nyata. James mengakui realitas ego dan menyatakan iman bagian dari realitas ego. Ego merupakan pusat setiap pengalaman keagamaan. Dan aktivitas keimanan adalah media pengikat antara ego dengan nilai agama. James mambantah persepsi para pakar sains modern yang berusaha memupus kepribadian dalam diri manusia dan menghakimi keagamaannya serta memandang bahwa keagamaan seseorang adalah kumpulan dari perasaan ketertekanan dan kebodohan, sehingga keagamaan itu tak lain adalah ilusi yang tidak lepas dari khurafatdan mitos. Padahal sebenarnya pengalaman keagamaan adalah bagian dari realita kehidupan. Dalam pengalaman tersebut terdapat pegaulan dan penyelamatan : kegaulan dari alam kebumian dan penyelamatan ambisi Ego dibawa kealam yang lebih luhur.
Sesungguhnya jika yang mendorong mereka melakukan sesuatu itu adalah "sesuatu yang bersifat internal"yang terdapat dalam jiwa mereka, yaitu kecenderungan kepada tuhan dan ia pun adalah wujud dari kecintaan kepada Tuhan.
Tak pelak lagi bahwa jiwa manusia itu sebenarnya rindu kepada Pencipta dan Pembuatnya. Dalam kebeningan dan ketulusannya, setiap jiwa mengakui keberadaan Tuhan sekalipun disaat dia sedang gencar menentangNya, "Dan kepada Tuhanmulah kesudaha segala sesuatu," (QS An-Najm [53]: 42).
Dari hal itu, kita melihat adanya naluri keagamaan bersifat naluriah, dan naluri inilah yang mendorong manusia untuk mengendalikan dirinya dan merupakan pendorong untuk mengenali sang Penciptanya. Fitrah inilah yang mendorong manusia mencintai Allah Swt. dan merindukan-Nya.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa berbagai naluri yang merespon terhadap agama memiliki cabang yang sangat banyak. Cabang yang paling menonjol adalah cabang dari kecenderungan umum dalam pengukuhan diri dan kecenderungan subjektif dengan dimensinya yang negative. Yang pertama adalah naluri kebahayaan yang selalu dibarengi rasa takut. Kecintaan keagamaan tak lain kecuali kecintaan alami yang mengarah dari diri manusia kepada objek tertentu. Adapun ketakutan keagamaan tiada lain kecuali ketakutan biasa, yaitu pergolakan yang sering terjadi pada diri manusia, yang acapkali dibangkitkan pikiran akan sanksi Tuhan, dan kecemasan keagamaan tiada lain adalah bergetarnya anggota badan yang dirasakan ditengah sebuah hutan kegelapan malam, atau dalam lembah gunung, dan ketika itu yang menguasai kita adalah pikiran tentang hubungan yang berada diluar kebiasaan. Hal ini bias dikaitkan dengan bermacam macam emosi yang berperan dalam kehidupan para tokoh agama.
Karl Marx berpandangan bahwa menghapus agama akan memberikan kebahagiaan yang fantastis bagi agama yang akan membawa mereka pada kebahagian yang hakiki. Sebenarnya pandangan Karl Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat dikarenakan ia melihat bahwa agama mengiming imingi orang orang yang beragama dan fakir dengan surga khayalan.
Pendapat lain mengatakan bahwa agama bukan candu bagi masyarakat. Islam mengajak untuk berkarya dan berusaha mencari rizki dan mencari kehidupan dunia. Islam menganjurkan kepada umatnya utuk memperhatikan urusan orang-orang isalam dan menolak berbagai tindakan zalim. Selain itu, islam juga mengagungkan kebebasan individu dan kebebasan berkelompok. Dan tasawuf adalah kekuatan psikis dan potensi yang hanya termiliki secara sempurna oleh orang orang tangguh. Kekuatan tersebut tidak akan mampu dihadapi kecuali oleh orang orang hebat yang dapat menguasai nafsunya. Jika engkau mampu menguasai jiwamu, engkau akan mampu menguasai kekuatan, jiwa dan seluruh kehidupanmu. Juga engkau akan mampu membawa terbang jiwamu menuju kebenaran, kebaikan dan keadilan.

INTERPRETASI PSIKOLOGI TERHADAP TASAWUF

Sebagian ilmuwan menafsirkan bahwa sumber kecenderungan pada tasawuf adalah "revolusi batin" seseorang terhadap kezaliman yang menimpa manusia yang tidak hanya terbatas pada kezaliman dari orang lain, tapi pertama-tama pada kezaliman dirinya sendiri.
Revolusi batin semacam ini dibarengi oleh keinginan kuat untuk menemukan ketersingkapan pada Allah Swt. dengan sarana apa saja yang dapat dipakai oleh orang yang bersangkutan dalam membeningkan hati dari setiap hal yang menyibukkan dirinya.
Beberapa peneliti menafsirkan kecenderungan pada tasawuf adalah dikarenakan seseorang yang takwa dan wara tidak respek pada alam, kebesaran, dan keindahan. Ia merasa dirinya terasing dan terpasung di muka bumi. Dunia dianggap sebagai penjara dan kuburan. Oleh karena itulah jiwa yang terpenjara tersebut berusaha membebaskan diri dan menemukan kemerdekaan supaya dapat masuk ke ufuk langit ketuhanan yang luhur sebagai tempat kehadirannya. Yaitu dengan cara membebaskan jiwa dari pasungan alam luar dan berusaha memberontak untuk masuk kedalam relung jiwa yang terdalam.
Orang yang beragama meyakini adanya alam yang tak kasat mata. Penyebab keyakinannya adalah bahwa ia mengetahui alam tersebut melalui alam rasanya yang misterius. Intuisi inilah yang menumbuhkan keyakinan keagamaan bukan hati. Adalah sangat berguna menggabungkan alam metafisis dengan jiwa manusia. Hal ini terjadi karena tiga aspek yang mencakup metafisika, kosmologi, psikologi rohani. Seperti yang dikatakan Dr. Ja'far, dalam pandangan sufistik meliputi prinsip dasar yaitu, Allah Swt., alam, dan jiwa.
Dan dalam perjalanan sufistiknya tersebut, seorang sufi memiliki pengalaman spiritual sendiri sendiri dan tidak sama antara satu sufi dengan sufi yang lain.
William James menjelaskan berbagai karakteristik sufistik mengenai perasaan. Yaitu:
a. Keadaan sufistik yang tidak dapat digamarkan dan diungkapkan secara verbal
b. Keadaan sufistik sebagai keadaan pemersepsian
c. Keadaan sufistik sangat cepat sirna
d. Keadaan sufistik sebagai keadaan pasif
Dr. At-Taftazaniberusaha mengelompokkan keadaan intuisi (al halat al-wijdaniyyah). Ia menyebutkan hubungan logis diantara jenis jenis keadaan intuisi tersebut seraya menyesuaikan tasawuf dengan kaidah kaidah psikologi umum yang dapat menyatukan para sufi yang berlainan tempat. Barangkali keadaan intuisi yang pertama kali dirasakan sufi adalah kesiapan sufistik. Kesiapan psikologi sufistik terkadang timbul dari sugesti eksternal maupun autosugesti. Secara umum benturan jiwa adalah factor terpenting dalam memunculkan kesiapan psikologis sufistik ini. Dengan demikian, fase kesiapan psikologi sufistik adalah keadaan intuisi yang bersifat gabungan yang dimulai dengan sejenis kegelisahan psikologis dan berakhir dengan sejenis kesatabilan psikologis pula.

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN PSIKOLOGI
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsure kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsure kejiwaan. Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Dari sini baru muncul perbuatan perbuatan manusia, baik atau buruk, yang disebut dengan akhlak.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Kalau para sufi menekankan unsure kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa khakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsure spiritual atau kejiwaan. Ditekankannya unsure jiwa dalam konsepsi tasawuf bukan berarti para sufi mengabaikan unsure jasmani manusia karena jasmani yang sehat merupakan jalan ada kehidupan rohani baik. Pandangan sufi mengenai jiwa berhubungan erat denggan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian dari ilmu psikologi.
Adapun akhli akhli dibidang perawatan jiwa, memusatkan perhatiannya pada masalah mental sehingga mampu melakukan penelitian ilmiah yang menghubungkan antara kelakuan dengan kesehatan mental. Yaitu orang yang sehat mentalnya mampu merasakan kebahagiaan dalam hidupnya dan sedangkan orang yang tidak sehat mentalnya baik ringan maupun berat, dari orang yang terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa. Hal ini dapat dilihat dari gejala gejala umum yaitu perasaan, pikiran, kelakuan, kesehatan yang tidak serasi atau kurang harmonis dalam diri manusia .
Dimana keadaan tersebut akan membuat seseorang frustasi, stress bahkan sakit jiwa (gila). Hal ini sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yakni hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidak tenagan ini akan memunculkan penyakit mental yang kemudian akan menjadai perilaku yang tidak baik atau menyeleweng dari norma umum yang disepakati. Dan harus diakui jiwa manusia sering kali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan enuju Allah dengan benar. Bagi orang yang dekat dengan tuhannya, kepribadiannya akan tampak tenang dan perilakunya terpuji yang semuanya ini bergantung pada kedekatan manusia dengan tuhannya. Dan pola kedekatan manusia dengan tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sisnilah nampak keterkaitan erat antara tasawuf dengan ilmu jiwa yaitu ilmu kesehatan mental.
Keterkaitan antara tasawuf dengan psikologi ini dibahas dalam psikologi transpersonal yaitu sebuah aliran baru dalam psikologi yang merupakan pengembangan dari psikologi humanistic yaitu yang menolak teori dan metode sebelumnya yaitu psikoanalitik dan behavoristik. Aliran ini berusaha mengembangkan potensi manusia, hanya saja aliran ini menjangkau hal yang bersifat adikodrati dan spiritual.
Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan dari kedunya, yaitu :
a. Persamaan konsepsi tentang potensi dasar manusia
Dikalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli tasawuf hamper terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah disni adalah bahwa manusia ketika dilahirkan adalah dalam kondisi yang tidak memili dosa sama sekali, bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah. Konsepsi islam mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan, atau kecenderungan kepada kebenaran "dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan dari putra putra adam dari sulbi merek, dan membuat persaksian atas diri mereka sendiri, bukankah aku ini tuhanmu?" mereka menjawab, "benar, kami bersaksi".
Konsepsi tentang fitrah diatas, memiliki kesamaan dengan pandangan Maslow dan juga para ahli psikolog humanistic lain, yang menekankan potensi dasar manusia. Menurutnya, manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan atau potensi dasar yang sangat besar. Namun pada umumnya manusia hanya menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada pilihan mundur, atau kejahatan. Konsepsi semacam ini adalah salah satu factor penting dari teori maslow tentang motivasi manusia secara komperhensip.
Menurut maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Meski demikian banyak orang yangtidak mengetahui potensi yang dimilikinya, mereka tidak menyadari seberapa besar prestasi yang dapat meraka raih dan berapa banyak ganjaran bagi mereka yang mengaktualisasikan dirinya.
b. Persamaan konsepsi perkembangan jiwa manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan mepunyai peluang untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, dimna pilihan ini lah yang dapat merubah kondisi psikologis manusia." Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd, 13/53). Dari ayat tersebut jelas sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan manusia sangat ditentukan oleh pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan fitrahnya maka ia akan berkembang secara wajar.

Dalam prespektif psikologi humanistic maslow, pertumbuhan yang wajar dan sehat adalah dipengaruhi oleh motif perkembangan, sementara pertumbuhan yang mengarah pada kemunduran dipengaruhi oleh motif kekurangan (defisiensi need). Motif kekurangan atau kebutuhan dasar ini, serupa dengan konsepsi nafs al ammarah dalam tradisi tasawuf.. dimana jika seseorang didominasi oleh nafsu rendah maka ia akan cenderung pada kebutuhan atau keinginan rendah, jika dorongan tingkat rendah ini tidak dapat dipenuhi maka akan menimbulkan penyakit mental dan menjauhkan diri dari proses aktualisasi diri (fitrah).
Perbedaaan
a. Potensi dasar manusia
Perbedaan dasar tentang konsep antara tasawuf dan maslow ada pada pemahaman bahwa dalam pandangan tasawuf, manusia memilki potensi dasar pengabdian pada tuhan sehingga segala kecenderungan yang mengarah pada kebaikan dan kebenaran adalah wujud nyata dari ketaatan kepada tuhan. Sementara psikologi maslow hanya menyebutkan sebagai potensi murni manusia, sehingg orang yang tidak beragama pun dapt meraih being values dan metamotivation. Kecenderungan individu baik yang mengarahpada perkembangan maupun kemunduran bagi maslow bersifat alamiah dan spontan, sementara tasawuf melihatnya sbgai wujud kasih saying tuhan terhadap hambanya. Dalam pandangan tasawuf segala yang terjadi pada manusia, disamping karena kehendak bebas manusia tapi juga Karena takdir Allah. Sedang menurut maslow menempatkan manusia sebagai penentu perkembangan dan pertumbuhan pribadinya.
b. Perkembangan jiwa manusia
Perbedaan dari kedua teori, yaitu teori tasawuf dan maslow hanya terletak pada kedudukan dan fungsinya. Ahwal dan maqomat dalam tradisi sufi pada dasarnya adalah merupakan prosess yang harus dilalui oleh seorang sufi menuju kesempurnaan diri dan teori maslow memandang aktualisasi diri dan pengalaman puncak sebagai tujuan. Dari sisi epistemologis, ahwal dan maqomat oleh sufi didasarkan pada pengalaman pribadi , selanjutnya para ahli tasawuf merumuskan konsep tasawufnya berdasarkan pengalaman pribadi dan pengalaman keaamaan orang lain. Sedangkan maslow dalam merumuskan konsepnya mendasarkan teorinya pada pengamatan empiris dan data lapangan, dan menggunakan teori psikologi sebelumnya
Dari persamaan dan perbedaaan antara kedua unsure tersebut yaitu tasawuf dan psikologi, maka dapat kita temukan dimana letak titik hubungan dari kedua unsure tersebut. Dimana perasaan dan kondisi psikologis seorang sufi yang berbeda dalam setiap maqmnya dan kondisi psikologis ini dipelajari dalam kajian ilmu psikolgi. Dan kedua ilmu ini sama sama memilki tujuan akhir, yakni sufi menginginkan ketauhidan murni sedangkan psikolgis pengaktualisasikan diri. Namun tujuan akhir dari kedua unsure ini yaitu sama-sama mencari kebahagiaan.
Salah satu bahasan sebagai media yang dapat diangkat dari sekian hal yang dapat dipertemukan antara psikologi dan tasawuf adalah makna bahagia. Ada dua sudut pandang mengenai hidup bahagia yakni sudut pandang agama dan sudut pandang psikologi.
Sudut pandang agama, khususnya Tasawuf Islam, pada dasarnya menyatakan bahwa kebahagiaan hakiki diperoleh bila kita senantiasa dekat dan mendekatkan diri kepada Maha Pemilik dan Maha Sumber segala Kebahagiaan yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yaitu dengan cara mengikuti, menaati dan menerapkan sebaik-baiknya tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari, karena agama banyak memberi petunjuk mengenai asas-asas dan cara-cara meraih keselamatan dan kebahagian di dunia dan di ahirat. Dan agama pun mengajarkan bahwa manusia mampu meraih kebahagiaan, asalkan ia berusaha mengubah keadaan diri mereka menjadi lebih baik. Dalam pandangan agama Islam, manusia mengubah nasibnya sendiri jika ia berusaha mengubah nasibnya tersebut ("Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri " (Q.S. al-Ra'ad/13: 11)
Disisi lain tinjauan psikologi menunjukkan bahwa kebahagiaan (happiness) merupakan hasil sampingan (by product) atau ganjaran (reward) atas keberhasilan meraih hal-hal yang penting dan bermakna bagi seseorang, dimana hal ini bersifat pribadi dan unik, artinya setiap orang memiliki dambaan khusus yang berlainan satu sama lain, seperti kekeluargaan, persahabatan, pendidikan, pekerjaan, tugas sosial, prestasi atau prestise, harta dan kekayaan, kesehatan dan kebugaran, ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai luhur dan hal-hal yang bersifat rohaniah.

BAB III
PENUTUP
Dari kedua disiplin ilmu ini, tasawuf dan psikologi terdapat kesamaan dan perbedaan pada teori tentang potensi dasar manusia dan perkembangan jiwa manusia. Dalam uraian dalam bab 2 diatas dipaparkan bahwa sesungguhnya kedua bidang ilmu ini memiliki keterikatan atau ada hubungan yaitu keterikatan antara tasawuf dengan psikologi. Hal ini ditunjukkan bahwa aspek pembahasan dari keduanya adalah tentang jiwa yaitu sufi dalam perkembangannya menuju derajad yang lebih tinggi yaitu spiritualitas tidak terlepas dari perkembangan jiwa sufi (manusia) itu sendiri, dimana pembahasan tentang jiwa dan kondisi psikologis itu dipelajari dan dikaji dalam ilmu psikologi.
Dari kedua disiplin ilmu ini, tasawuf dan psikologi terdapat kesamaan dan perbedaan pada teori tentang potensi dasar manusia dan perkembangan jiwa manusia. Hal ini ditunjukkan oleh pandangan beberapa tokoh psikologi barat yang membahas tentang agama dan keimnanan seseorang dalam kehidupannya karena agama adalah realita dalam hidup manusia.
Kedua bidang ilmu ini saling menginterpretasi antara satu dengan yang lain sehingga dapat ditemukan keterikatan antara kedua bidang ilmu tersebut. Tapi terlepas dari itu semua, kedua bidang ilmu ini selain memiliki kesamaan namun juga terdapat perbedaan dalam konsepsinya tentang manusia baik itu potensi dasar yang dimiliki manusia juga dalam perkembangan jiwanya. Kesamaan tersebut adalah potensi dasar yang dimiliki manusia memiliki kecenderungan kebaikan dan keburukan yang nantinya dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang dating dari luar dalam perkembangan kehidupannya, dan dalam konsep psikologi (Maslow) manusia lah yang menentukan pilihan baik buruk itu sedangkan dalam tasawuf, selain manusia itu sendiri namun jug tidak terlepas dari takdir illahi.
Dari beberapa karakter para ahli tasawuf tentang maqomat dan ahwal, serta karakter self actualization, metamotivation dan peak-experience yang dikemukakan oleh maslow terdapat kesamaan-kesamaan, misalnya kesederhanaan, kesabaran, menerima kodarat apa adanya, kerelaan ,kreativ, suka cita, kesatuan, ketahanan terhadap budaya, efisien, terpusat pada persoalan , kemandirian, kesegaran paresiasi, kesadaran social, demokratis dll. Dimana karakter karakter tersebut ditemukan baik dalam maqomat, ahwal, self actualization, peak-experience, dan metamotivation. Lebih dari itu, baik tasawuf maupu maslow memandang keseluruhan karakter diatas adalah berpijak pada pengalaman yang bersifat pribadi.
Perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah pada tujuan akhir. Tujuan akhir dari pengalam sufi adalah ketauhidan yang murni, sedangkan maslow menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Dalam pandangan tasawuf maqomat dan ahwal merupakan proses yang harus dilalui seseorang untuk mencapai kesempurnaan, sementara aktualisasi diri (maslow) adalah proses sekaligus tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
An-Najr, Amir. Psikoterapi Sufistik Dalam Kehidupan Modern. Bandung : PT. Mizan Publika, 2004, Cet.1
An-Najr, Amin. Mengobati Gangguan Jiwa. Bandung : PT. Mizan Publika, 2004, Cet.1
Muhammad Hasyim. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi . Yogyakarta. Pustaka Pelajar Ofset. 2002
Nata, Abuddin. Akhlak tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.1996
Siregar,Rifay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2002. cet. 2
Rasihi Anwar, Mukhtar Solihin. Ilmu tasawuf. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2004.