Unsur-unsur
sebuah pesantren:
Untuk memberi
definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata
pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok
dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para
santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe
di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier
1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri.
Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau
biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana
mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di
Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan
dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di
Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok
pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis
pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah
santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada
unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren.
(Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri,
pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang
membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
a.Kyai:
Peran penting
kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren
berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren,
watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman
ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi
kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren
(Hasbullah, 1999:144).
Istilah kyai
bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130).
Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda,
yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di
Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya;
3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki
atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada
para santrinya (Dhofier 1985:55).
b.Masjid:
Sangkut paut
pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di
seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat
beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat
kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan
aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka
pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik
para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan
sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49)
Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan
sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang
rumah kyai.
c.Santri:
Santri merupakan
unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah
pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang
datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah
seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun
fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya
terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong
merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah
masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri
kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak
keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau
puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah
jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren
yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh
cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan
yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
d.Pondok:
Definisi singkat
istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai
bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok
tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah
santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan
jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri,
asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah
pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai,
termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi,
lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok
didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja
sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat
pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah
sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya
agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren.
Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti
memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama
ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan
pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di
daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan
(Dhofier, 1985:45).
e.Kitab-Kitab
Islam Klasik:
Kitab-kitab
Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai
macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan
pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena
warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier
(1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik….
merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran
pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan
pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan
tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana,
kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu
pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah,
1999:144).
Ada delapan
macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik,
termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis;
5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti
tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok
menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab
yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).
Sejarah
Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia:
Sejak awal
masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi
kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang
perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah
Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita
pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan
teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru.
Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong
sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam.
Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang
membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari
kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882
pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas
mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama
setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa
guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah
setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi
siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932
peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah
yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh
pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)
Peraturan-peraturan
tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda
terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok
pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah
penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong
pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan
dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam
sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa
kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini
berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan
pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti
pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali
pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak
(Dhofier 1985:41).
Jika kita
melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda
selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk
menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam,
dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas.
Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan
pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang
dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik”
di Indonesia.
Menurut survai
yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer
Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan
murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1:
TABEL 1: Jumlah
pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai
kantor Urusan Agama)
Propinsi
Daerah
|
Jumlah
Pesantren dan Madrasah
|
Jumlah
Santri
|
Jakarta
|
167
|
14
513
|
Jawa
Barat
|
1
046
|
69
954
|
Jawa
Tengah
|
351
|
21
957
|
Tawa
Timur
|
307
|
32
931
|
Jumlah:
|
1
871
|
139
415
|
(Dhofier,
1985:40)
TABEL 2: Jumlah
pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departement Agama RI)
Propinsi
Daerah
|
Jumlah
Pesantren
|
Jumlah
Santri
|
Jakarta
|
27
|
15
767
|
Jawa
Barat
|
2
237
|
305
747
|
Jawa
Tengah
|
430
|
65
070
|
Tawa
Timur
|
1
051
|
290
790
|
Jumlah:
|
3
745
|
675
364
|
(Hasbullah,
1999:140)
Dalam Tabel 2,
dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di
Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang
dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai
keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di
Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di
Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu
walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan
Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa
masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985:20).
Dari data-data
tersebut harus kita bertanya, mengapa pesantren begitu sanggup menahan dan
berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang
dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI? Menurut saya, sistem
pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap
menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di
Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan
dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan
teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. Oleh karena itu,
pada masa ini di dunia pesantren terjadi pembangunan sistem pendidikan
pesantren modern yang akan dibahasi dalam bagian berikut.
Sistem
Pendidikan Pondok Pesantren:
Dulu, pusat
pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana
murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu
mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu
pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat
pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya
sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada
pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau
masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Pendidikan
pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang
sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan
yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut,
setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau
pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid
yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling
sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin
pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum
dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28).
Metode utama
sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan.
Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok
kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya
sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985:
28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya
hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren
sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan
pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem
salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan
sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem
tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Tujuan proses
modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem
pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren
mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap
sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di
pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih
terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan
di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar