Rabu, 13 Maret 2013

Tasawuf dan Psikologi


HUBUNGAN ANTARA TASAWUF DAN PSIKOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai suatu kenyataan manusia ada, karena itu ada eksistensi manusiawi. Konsepsi manusia dalam filsafat merupakan suatu problem yang rumit yang terdapat bermacam macam teori tentang manusia. Oleh karena itulah pembinaan manusia seutuhnya tidak bisa mengenyampingkan factor agama, sebab bagaimanapun agama merupakan bangunan bawah dari moral suatu bangsa. Agama adalah sumber dari sumber nilai dan norma yang memberikan petunjuk, mengilhami dan mengikat masyarakat yang bermoral yang akan menjadi solidaritas dan karena agamalah satu satunya yang memilki dimensi kedalaman kehidupan manusia.
Sebelum kita mencari dan menghubungkan antara tasawuf dengan psikologi, terlebih dahulu kita harus mengerti atau memberikan pengertian dari keduanya. Apa itu tasawuf dan bidang kajiannya? Juga, apa itu psikologi dan kajiannya? Agar kita tidak terjebak dalam pengintergrasian diantara keduanya.
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai islam, dengan pengertian bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat islam, karena seluruh agama islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq pencipta alam semesta.
Sedangkan psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku manusia secara umum dapat dilihat dari segi mental, baik yang bersifat perasaan ataupun bukan, dengan tujuan untuk mencapai kaidah kaidah yang dapat dipakai guna memahami berbagai motif perilaku, mengenali dan memastikan (gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam perilaku).
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsure kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsure kejiwaan.
Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Dimana semua yang dimunculkan melalui jiwanya tersebut baik sikap dan kepribadian seseorang tidak terlepas dari keudua unsure ini yakni tasawuf dan psikologi.
Dan makalah ini mencoba menguraikan tentang hubungan tasawuf dengan psikologi dan sebaliknya yaitu dengan melihat dari sudut pandang psikologi dan sudut pandang tasawuf, bagaimana keduanya saling menginterpretasi satu sama lain sehingga dari kedua unsure tersebut dapat ditemukan keterikatan dalam "hubungan tasawuf dengan psikologi".
BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN TASAWUF DALAM PRESPEKTIF PSIKOLOGI

Jung berpendapat bahwa agama adalah kondisi mental khusus yang bias dikondisikan. Pandangan jung ini berdasarkan kepada penggunaan kata asli "agama" (religion) yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna "pandangan baru" atau "titik persepsi" yang "terbentuk" karena berbagai factor. Artinya, agama adalah suatu istilah yang mungkin sekali "terbentuk" dalam diri manusia karena beberapa factor. Hal ini terjadi karena manusia menemukan keadaan mental tersebut bersifat kuat dan kukuh, sehingga mencapai suatu derajad kemungkinan besar menjadi lokus perhatiaannya.
Sedangkan William James, menganggap agama sebagai suatu bagian dari kehidupan yang nyata. James mengakui realitas ego dan menyatakan iman bagian dari realitas ego. Ego merupakan pusat setiap pengalaman keagamaan. Dan aktivitas keimanan adalah media pengikat antara ego dengan nilai agama. James mambantah persepsi para pakar sains modern yang berusaha memupus kepribadian dalam diri manusia dan menghakimi keagamaannya serta memandang bahwa keagamaan seseorang adalah kumpulan dari perasaan ketertekanan dan kebodohan, sehingga keagamaan itu tak lain adalah ilusi yang tidak lepas dari khurafatdan mitos. Padahal sebenarnya pengalaman keagamaan adalah bagian dari realita kehidupan. Dalam pengalaman tersebut terdapat pegaulan dan penyelamatan : kegaulan dari alam kebumian dan penyelamatan ambisi Ego dibawa kealam yang lebih luhur.
Sesungguhnya jika yang mendorong mereka melakukan sesuatu itu adalah "sesuatu yang bersifat internal"yang terdapat dalam jiwa mereka, yaitu kecenderungan kepada tuhan dan ia pun adalah wujud dari kecintaan kepada Tuhan.
Tak pelak lagi bahwa jiwa manusia itu sebenarnya rindu kepada Pencipta dan Pembuatnya. Dalam kebeningan dan ketulusannya, setiap jiwa mengakui keberadaan Tuhan sekalipun disaat dia sedang gencar menentangNya, "Dan kepada Tuhanmulah kesudaha segala sesuatu," (QS An-Najm [53]: 42).
Dari hal itu, kita melihat adanya naluri keagamaan bersifat naluriah, dan naluri inilah yang mendorong manusia untuk mengendalikan dirinya dan merupakan pendorong untuk mengenali sang Penciptanya. Fitrah inilah yang mendorong manusia mencintai Allah Swt. dan merindukan-Nya.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa berbagai naluri yang merespon terhadap agama memiliki cabang yang sangat banyak. Cabang yang paling menonjol adalah cabang dari kecenderungan umum dalam pengukuhan diri dan kecenderungan subjektif dengan dimensinya yang negative. Yang pertama adalah naluri kebahayaan yang selalu dibarengi rasa takut. Kecintaan keagamaan tak lain kecuali kecintaan alami yang mengarah dari diri manusia kepada objek tertentu. Adapun ketakutan keagamaan tiada lain kecuali ketakutan biasa, yaitu pergolakan yang sering terjadi pada diri manusia, yang acapkali dibangkitkan pikiran akan sanksi Tuhan, dan kecemasan keagamaan tiada lain adalah bergetarnya anggota badan yang dirasakan ditengah sebuah hutan kegelapan malam, atau dalam lembah gunung, dan ketika itu yang menguasai kita adalah pikiran tentang hubungan yang berada diluar kebiasaan. Hal ini bias dikaitkan dengan bermacam macam emosi yang berperan dalam kehidupan para tokoh agama.
Karl Marx berpandangan bahwa menghapus agama akan memberikan kebahagiaan yang fantastis bagi agama yang akan membawa mereka pada kebahagian yang hakiki. Sebenarnya pandangan Karl Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat dikarenakan ia melihat bahwa agama mengiming imingi orang orang yang beragama dan fakir dengan surga khayalan.
Pendapat lain mengatakan bahwa agama bukan candu bagi masyarakat. Islam mengajak untuk berkarya dan berusaha mencari rizki dan mencari kehidupan dunia. Islam menganjurkan kepada umatnya utuk memperhatikan urusan orang-orang isalam dan menolak berbagai tindakan zalim. Selain itu, islam juga mengagungkan kebebasan individu dan kebebasan berkelompok. Dan tasawuf adalah kekuatan psikis dan potensi yang hanya termiliki secara sempurna oleh orang orang tangguh. Kekuatan tersebut tidak akan mampu dihadapi kecuali oleh orang orang hebat yang dapat menguasai nafsunya. Jika engkau mampu menguasai jiwamu, engkau akan mampu menguasai kekuatan, jiwa dan seluruh kehidupanmu. Juga engkau akan mampu membawa terbang jiwamu menuju kebenaran, kebaikan dan keadilan.

INTERPRETASI PSIKOLOGI TERHADAP TASAWUF

Sebagian ilmuwan menafsirkan bahwa sumber kecenderungan pada tasawuf adalah "revolusi batin" seseorang terhadap kezaliman yang menimpa manusia yang tidak hanya terbatas pada kezaliman dari orang lain, tapi pertama-tama pada kezaliman dirinya sendiri.
Revolusi batin semacam ini dibarengi oleh keinginan kuat untuk menemukan ketersingkapan pada Allah Swt. dengan sarana apa saja yang dapat dipakai oleh orang yang bersangkutan dalam membeningkan hati dari setiap hal yang menyibukkan dirinya.
Beberapa peneliti menafsirkan kecenderungan pada tasawuf adalah dikarenakan seseorang yang takwa dan wara tidak respek pada alam, kebesaran, dan keindahan. Ia merasa dirinya terasing dan terpasung di muka bumi. Dunia dianggap sebagai penjara dan kuburan. Oleh karena itulah jiwa yang terpenjara tersebut berusaha membebaskan diri dan menemukan kemerdekaan supaya dapat masuk ke ufuk langit ketuhanan yang luhur sebagai tempat kehadirannya. Yaitu dengan cara membebaskan jiwa dari pasungan alam luar dan berusaha memberontak untuk masuk kedalam relung jiwa yang terdalam.
Orang yang beragama meyakini adanya alam yang tak kasat mata. Penyebab keyakinannya adalah bahwa ia mengetahui alam tersebut melalui alam rasanya yang misterius. Intuisi inilah yang menumbuhkan keyakinan keagamaan bukan hati. Adalah sangat berguna menggabungkan alam metafisis dengan jiwa manusia. Hal ini terjadi karena tiga aspek yang mencakup metafisika, kosmologi, psikologi rohani. Seperti yang dikatakan Dr. Ja'far, dalam pandangan sufistik meliputi prinsip dasar yaitu, Allah Swt., alam, dan jiwa.
Dan dalam perjalanan sufistiknya tersebut, seorang sufi memiliki pengalaman spiritual sendiri sendiri dan tidak sama antara satu sufi dengan sufi yang lain.
William James menjelaskan berbagai karakteristik sufistik mengenai perasaan. Yaitu:
a. Keadaan sufistik yang tidak dapat digamarkan dan diungkapkan secara verbal
b. Keadaan sufistik sebagai keadaan pemersepsian
c. Keadaan sufistik sangat cepat sirna
d. Keadaan sufistik sebagai keadaan pasif
Dr. At-Taftazaniberusaha mengelompokkan keadaan intuisi (al halat al-wijdaniyyah). Ia menyebutkan hubungan logis diantara jenis jenis keadaan intuisi tersebut seraya menyesuaikan tasawuf dengan kaidah kaidah psikologi umum yang dapat menyatukan para sufi yang berlainan tempat. Barangkali keadaan intuisi yang pertama kali dirasakan sufi adalah kesiapan sufistik. Kesiapan psikologi sufistik terkadang timbul dari sugesti eksternal maupun autosugesti. Secara umum benturan jiwa adalah factor terpenting dalam memunculkan kesiapan psikologis sufistik ini. Dengan demikian, fase kesiapan psikologi sufistik adalah keadaan intuisi yang bersifat gabungan yang dimulai dengan sejenis kegelisahan psikologis dan berakhir dengan sejenis kesatabilan psikologis pula.

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN PSIKOLOGI
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsure kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsure kejiwaan. Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Dari sini baru muncul perbuatan perbuatan manusia, baik atau buruk, yang disebut dengan akhlak.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Kalau para sufi menekankan unsure kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa khakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsure spiritual atau kejiwaan. Ditekankannya unsure jiwa dalam konsepsi tasawuf bukan berarti para sufi mengabaikan unsure jasmani manusia karena jasmani yang sehat merupakan jalan ada kehidupan rohani baik. Pandangan sufi mengenai jiwa berhubungan erat denggan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian dari ilmu psikologi.
Adapun akhli akhli dibidang perawatan jiwa, memusatkan perhatiannya pada masalah mental sehingga mampu melakukan penelitian ilmiah yang menghubungkan antara kelakuan dengan kesehatan mental. Yaitu orang yang sehat mentalnya mampu merasakan kebahagiaan dalam hidupnya dan sedangkan orang yang tidak sehat mentalnya baik ringan maupun berat, dari orang yang terganggu ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa. Hal ini dapat dilihat dari gejala gejala umum yaitu perasaan, pikiran, kelakuan, kesehatan yang tidak serasi atau kurang harmonis dalam diri manusia .
Dimana keadaan tersebut akan membuat seseorang frustasi, stress bahkan sakit jiwa (gila). Hal ini sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yakni hati yang jauh dari Tuhannya. Ketidak tenagan ini akan memunculkan penyakit mental yang kemudian akan menjadai perilaku yang tidak baik atau menyeleweng dari norma umum yang disepakati. Dan harus diakui jiwa manusia sering kali sakit. Ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan enuju Allah dengan benar. Bagi orang yang dekat dengan tuhannya, kepribadiannya akan tampak tenang dan perilakunya terpuji yang semuanya ini bergantung pada kedekatan manusia dengan tuhannya. Dan pola kedekatan manusia dengan tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sisnilah nampak keterkaitan erat antara tasawuf dengan ilmu jiwa yaitu ilmu kesehatan mental.
Keterkaitan antara tasawuf dengan psikologi ini dibahas dalam psikologi transpersonal yaitu sebuah aliran baru dalam psikologi yang merupakan pengembangan dari psikologi humanistic yaitu yang menolak teori dan metode sebelumnya yaitu psikoanalitik dan behavoristik. Aliran ini berusaha mengembangkan potensi manusia, hanya saja aliran ini menjangkau hal yang bersifat adikodrati dan spiritual.
Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan dari kedunya, yaitu :
a. Persamaan konsepsi tentang potensi dasar manusia
Dikalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli tasawuf hamper terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah disni adalah bahwa manusia ketika dilahirkan adalah dalam kondisi yang tidak memili dosa sama sekali, bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah. Konsepsi islam mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan, atau kecenderungan kepada kebenaran "dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan dari putra putra adam dari sulbi merek, dan membuat persaksian atas diri mereka sendiri, bukankah aku ini tuhanmu?" mereka menjawab, "benar, kami bersaksi".
Konsepsi tentang fitrah diatas, memiliki kesamaan dengan pandangan Maslow dan juga para ahli psikolog humanistic lain, yang menekankan potensi dasar manusia. Menurutnya, manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan atau potensi dasar yang sangat besar. Namun pada umumnya manusia hanya menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada pilihan mundur, atau kejahatan. Konsepsi semacam ini adalah salah satu factor penting dari teori maslow tentang motivasi manusia secara komperhensip.
Menurut maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Meski demikian banyak orang yangtidak mengetahui potensi yang dimilikinya, mereka tidak menyadari seberapa besar prestasi yang dapat meraka raih dan berapa banyak ganjaran bagi mereka yang mengaktualisasikan dirinya.
b. Persamaan konsepsi perkembangan jiwa manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan mepunyai peluang untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, dimna pilihan ini lah yang dapat merubah kondisi psikologis manusia." Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd, 13/53). Dari ayat tersebut jelas sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan manusia sangat ditentukan oleh pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan fitrahnya maka ia akan berkembang secara wajar.

Dalam prespektif psikologi humanistic maslow, pertumbuhan yang wajar dan sehat adalah dipengaruhi oleh motif perkembangan, sementara pertumbuhan yang mengarah pada kemunduran dipengaruhi oleh motif kekurangan (defisiensi need). Motif kekurangan atau kebutuhan dasar ini, serupa dengan konsepsi nafs al ammarah dalam tradisi tasawuf.. dimana jika seseorang didominasi oleh nafsu rendah maka ia akan cenderung pada kebutuhan atau keinginan rendah, jika dorongan tingkat rendah ini tidak dapat dipenuhi maka akan menimbulkan penyakit mental dan menjauhkan diri dari proses aktualisasi diri (fitrah).
Perbedaaan
a. Potensi dasar manusia
Perbedaan dasar tentang konsep antara tasawuf dan maslow ada pada pemahaman bahwa dalam pandangan tasawuf, manusia memilki potensi dasar pengabdian pada tuhan sehingga segala kecenderungan yang mengarah pada kebaikan dan kebenaran adalah wujud nyata dari ketaatan kepada tuhan. Sementara psikologi maslow hanya menyebutkan sebagai potensi murni manusia, sehingg orang yang tidak beragama pun dapt meraih being values dan metamotivation. Kecenderungan individu baik yang mengarahpada perkembangan maupun kemunduran bagi maslow bersifat alamiah dan spontan, sementara tasawuf melihatnya sbgai wujud kasih saying tuhan terhadap hambanya. Dalam pandangan tasawuf segala yang terjadi pada manusia, disamping karena kehendak bebas manusia tapi juga Karena takdir Allah. Sedang menurut maslow menempatkan manusia sebagai penentu perkembangan dan pertumbuhan pribadinya.
b. Perkembangan jiwa manusia
Perbedaan dari kedua teori, yaitu teori tasawuf dan maslow hanya terletak pada kedudukan dan fungsinya. Ahwal dan maqomat dalam tradisi sufi pada dasarnya adalah merupakan prosess yang harus dilalui oleh seorang sufi menuju kesempurnaan diri dan teori maslow memandang aktualisasi diri dan pengalaman puncak sebagai tujuan. Dari sisi epistemologis, ahwal dan maqomat oleh sufi didasarkan pada pengalaman pribadi , selanjutnya para ahli tasawuf merumuskan konsep tasawufnya berdasarkan pengalaman pribadi dan pengalaman keaamaan orang lain. Sedangkan maslow dalam merumuskan konsepnya mendasarkan teorinya pada pengamatan empiris dan data lapangan, dan menggunakan teori psikologi sebelumnya
Dari persamaan dan perbedaaan antara kedua unsure tersebut yaitu tasawuf dan psikologi, maka dapat kita temukan dimana letak titik hubungan dari kedua unsure tersebut. Dimana perasaan dan kondisi psikologis seorang sufi yang berbeda dalam setiap maqmnya dan kondisi psikologis ini dipelajari dalam kajian ilmu psikolgi. Dan kedua ilmu ini sama sama memilki tujuan akhir, yakni sufi menginginkan ketauhidan murni sedangkan psikolgis pengaktualisasikan diri. Namun tujuan akhir dari kedua unsure ini yaitu sama-sama mencari kebahagiaan.
Salah satu bahasan sebagai media yang dapat diangkat dari sekian hal yang dapat dipertemukan antara psikologi dan tasawuf adalah makna bahagia. Ada dua sudut pandang mengenai hidup bahagia yakni sudut pandang agama dan sudut pandang psikologi.
Sudut pandang agama, khususnya Tasawuf Islam, pada dasarnya menyatakan bahwa kebahagiaan hakiki diperoleh bila kita senantiasa dekat dan mendekatkan diri kepada Maha Pemilik dan Maha Sumber segala Kebahagiaan yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yaitu dengan cara mengikuti, menaati dan menerapkan sebaik-baiknya tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari, karena agama banyak memberi petunjuk mengenai asas-asas dan cara-cara meraih keselamatan dan kebahagian di dunia dan di ahirat. Dan agama pun mengajarkan bahwa manusia mampu meraih kebahagiaan, asalkan ia berusaha mengubah keadaan diri mereka menjadi lebih baik. Dalam pandangan agama Islam, manusia mengubah nasibnya sendiri jika ia berusaha mengubah nasibnya tersebut ("Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri " (Q.S. al-Ra'ad/13: 11)
Disisi lain tinjauan psikologi menunjukkan bahwa kebahagiaan (happiness) merupakan hasil sampingan (by product) atau ganjaran (reward) atas keberhasilan meraih hal-hal yang penting dan bermakna bagi seseorang, dimana hal ini bersifat pribadi dan unik, artinya setiap orang memiliki dambaan khusus yang berlainan satu sama lain, seperti kekeluargaan, persahabatan, pendidikan, pekerjaan, tugas sosial, prestasi atau prestise, harta dan kekayaan, kesehatan dan kebugaran, ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai luhur dan hal-hal yang bersifat rohaniah.

BAB III
PENUTUP
Dari kedua disiplin ilmu ini, tasawuf dan psikologi terdapat kesamaan dan perbedaan pada teori tentang potensi dasar manusia dan perkembangan jiwa manusia. Dalam uraian dalam bab 2 diatas dipaparkan bahwa sesungguhnya kedua bidang ilmu ini memiliki keterikatan atau ada hubungan yaitu keterikatan antara tasawuf dengan psikologi. Hal ini ditunjukkan bahwa aspek pembahasan dari keduanya adalah tentang jiwa yaitu sufi dalam perkembangannya menuju derajad yang lebih tinggi yaitu spiritualitas tidak terlepas dari perkembangan jiwa sufi (manusia) itu sendiri, dimana pembahasan tentang jiwa dan kondisi psikologis itu dipelajari dan dikaji dalam ilmu psikologi.
Dari kedua disiplin ilmu ini, tasawuf dan psikologi terdapat kesamaan dan perbedaan pada teori tentang potensi dasar manusia dan perkembangan jiwa manusia. Hal ini ditunjukkan oleh pandangan beberapa tokoh psikologi barat yang membahas tentang agama dan keimnanan seseorang dalam kehidupannya karena agama adalah realita dalam hidup manusia.
Kedua bidang ilmu ini saling menginterpretasi antara satu dengan yang lain sehingga dapat ditemukan keterikatan antara kedua bidang ilmu tersebut. Tapi terlepas dari itu semua, kedua bidang ilmu ini selain memiliki kesamaan namun juga terdapat perbedaan dalam konsepsinya tentang manusia baik itu potensi dasar yang dimiliki manusia juga dalam perkembangan jiwanya. Kesamaan tersebut adalah potensi dasar yang dimiliki manusia memiliki kecenderungan kebaikan dan keburukan yang nantinya dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang dating dari luar dalam perkembangan kehidupannya, dan dalam konsep psikologi (Maslow) manusia lah yang menentukan pilihan baik buruk itu sedangkan dalam tasawuf, selain manusia itu sendiri namun jug tidak terlepas dari takdir illahi.
Dari beberapa karakter para ahli tasawuf tentang maqomat dan ahwal, serta karakter self actualization, metamotivation dan peak-experience yang dikemukakan oleh maslow terdapat kesamaan-kesamaan, misalnya kesederhanaan, kesabaran, menerima kodarat apa adanya, kerelaan ,kreativ, suka cita, kesatuan, ketahanan terhadap budaya, efisien, terpusat pada persoalan , kemandirian, kesegaran paresiasi, kesadaran social, demokratis dll. Dimana karakter karakter tersebut ditemukan baik dalam maqomat, ahwal, self actualization, peak-experience, dan metamotivation. Lebih dari itu, baik tasawuf maupu maslow memandang keseluruhan karakter diatas adalah berpijak pada pengalaman yang bersifat pribadi.
Perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah pada tujuan akhir. Tujuan akhir dari pengalam sufi adalah ketauhidan yang murni, sedangkan maslow menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Dalam pandangan tasawuf maqomat dan ahwal merupakan proses yang harus dilalui seseorang untuk mencapai kesempurnaan, sementara aktualisasi diri (maslow) adalah proses sekaligus tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
An-Najr, Amir. Psikoterapi Sufistik Dalam Kehidupan Modern. Bandung : PT. Mizan Publika, 2004, Cet.1
An-Najr, Amin. Mengobati Gangguan Jiwa. Bandung : PT. Mizan Publika, 2004, Cet.1
Muhammad Hasyim. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi . Yogyakarta. Pustaka Pelajar Ofset. 2002
Nata, Abuddin. Akhlak tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.1996
Siregar,Rifay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2002. cet. 2
Rasihi Anwar, Mukhtar Solihin. Ilmu tasawuf. Jakarta: CV Pustaka Setia, 2004.

Tidak ada komentar: