HUBUNGAN ANTARA TASAWUF DAN PSIKOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Sebagai suatu kenyataan manusia ada, karena itu ada
eksistensi manusiawi. Konsepsi manusia dalam filsafat merupakan suatu problem
yang rumit yang terdapat bermacam macam teori tentang manusia. Oleh karena
itulah pembinaan manusia seutuhnya tidak bisa mengenyampingkan factor agama,
sebab bagaimanapun agama merupakan bangunan bawah dari moral suatu bangsa.
Agama adalah sumber dari sumber nilai dan norma yang memberikan petunjuk,
mengilhami dan mengikat masyarakat yang bermoral yang akan menjadi solidaritas dan
karena agamalah satu satunya yang memilki dimensi kedalaman kehidupan manusia.
Sebelum kita mencari dan menghubungkan antara tasawuf
dengan psikologi, terlebih dahulu kita harus mengerti atau memberikan
pengertian dari keduanya. Apa itu tasawuf dan bidang kajiannya? Juga, apa itu
psikologi dan kajiannya? Agar kita tidak terjebak dalam pengintergrasian
diantara keduanya.
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari
pengalaman spiritualitas yang mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai
islam, dengan pengertian bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan
semangat islam, karena seluruh agama islam dari berbagai aspeknya adalah
prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh,
sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan
segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan bagaimana rekayasa agar manusia
dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun
sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq pencipta alam semesta.
Sedangkan psikologi adalah disiplin ilmu yang
mempelajari perilaku manusia secara umum dapat dilihat dari segi mental, baik
yang bersifat perasaan ataupun bukan, dengan tujuan untuk mencapai kaidah
kaidah yang dapat dipakai guna memahami berbagai motif perilaku, mengenali dan
memastikan (gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam perilaku).
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsure kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsure kejiwaan.
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsure kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsure kejiwaan.
Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat
antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental,
kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan
yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf
adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan
oleh para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang
dipraktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga
perbuatan itu terjadi. Dimana semua yang dimunculkan melalui jiwanya tersebut
baik sikap dan kepribadian seseorang tidak terlepas dari keudua unsure ini
yakni tasawuf dan psikologi.
Dan makalah ini mencoba menguraikan tentang hubungan
tasawuf dengan psikologi dan sebaliknya yaitu dengan melihat dari sudut pandang
psikologi dan sudut pandang tasawuf, bagaimana keduanya saling menginterpretasi
satu sama lain sehingga dari kedua unsure tersebut dapat ditemukan keterikatan
dalam "hubungan tasawuf dengan psikologi".
BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN TASAWUF DALAM PRESPEKTIF PSIKOLOGI
Jung berpendapat bahwa agama adalah kondisi mental
khusus yang bias dikondisikan. Pandangan jung ini berdasarkan kepada penggunaan
kata asli "agama" (religion) yang biasa dipakai untuk menunjukkan
makna "pandangan baru" atau "titik persepsi" yang
"terbentuk" karena berbagai factor. Artinya, agama adalah suatu
istilah yang mungkin sekali "terbentuk" dalam diri manusia karena
beberapa factor. Hal ini terjadi karena manusia menemukan keadaan mental
tersebut bersifat kuat dan kukuh, sehingga mencapai suatu derajad kemungkinan
besar menjadi lokus perhatiaannya.
Sedangkan William James, menganggap agama sebagai
suatu bagian dari kehidupan yang nyata. James mengakui realitas ego dan
menyatakan iman bagian dari realitas ego. Ego merupakan pusat setiap pengalaman
keagamaan. Dan aktivitas keimanan adalah media pengikat antara ego dengan nilai
agama. James mambantah persepsi para pakar sains modern yang berusaha memupus
kepribadian dalam diri manusia dan menghakimi keagamaannya serta memandang
bahwa keagamaan seseorang adalah kumpulan dari perasaan ketertekanan dan
kebodohan, sehingga keagamaan itu tak lain adalah ilusi yang tidak lepas dari
khurafatdan mitos. Padahal sebenarnya pengalaman keagamaan adalah bagian dari
realita kehidupan. Dalam pengalaman tersebut terdapat pegaulan dan penyelamatan
: kegaulan dari alam kebumian dan penyelamatan ambisi Ego dibawa kealam yang
lebih luhur.
Sesungguhnya jika yang mendorong mereka melakukan sesuatu itu adalah "sesuatu yang bersifat internal"yang terdapat dalam jiwa mereka, yaitu kecenderungan kepada tuhan dan ia pun adalah wujud dari kecintaan kepada Tuhan.
Sesungguhnya jika yang mendorong mereka melakukan sesuatu itu adalah "sesuatu yang bersifat internal"yang terdapat dalam jiwa mereka, yaitu kecenderungan kepada tuhan dan ia pun adalah wujud dari kecintaan kepada Tuhan.
Tak pelak lagi bahwa jiwa manusia itu sebenarnya rindu
kepada Pencipta dan Pembuatnya. Dalam kebeningan dan ketulusannya, setiap jiwa
mengakui keberadaan Tuhan sekalipun disaat dia sedang gencar menentangNya,
"Dan kepada Tuhanmulah kesudaha segala sesuatu," (QS An-Najm [53]:
42).
Dari hal itu, kita melihat adanya naluri keagamaan
bersifat naluriah, dan naluri inilah yang mendorong manusia untuk mengendalikan
dirinya dan merupakan pendorong untuk mengenali sang Penciptanya. Fitrah inilah
yang mendorong manusia mencintai Allah Swt. dan merindukan-Nya.
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa berbagai naluri
yang merespon terhadap agama memiliki cabang yang sangat banyak. Cabang yang
paling menonjol adalah cabang dari kecenderungan umum dalam pengukuhan diri dan
kecenderungan subjektif dengan dimensinya yang negative. Yang pertama adalah
naluri kebahayaan yang selalu dibarengi rasa takut. Kecintaan keagamaan tak
lain kecuali kecintaan alami yang mengarah dari diri manusia kepada objek
tertentu. Adapun ketakutan keagamaan tiada lain kecuali ketakutan biasa, yaitu
pergolakan yang sering terjadi pada diri manusia, yang acapkali dibangkitkan
pikiran akan sanksi Tuhan, dan kecemasan keagamaan tiada lain adalah
bergetarnya anggota badan yang dirasakan ditengah sebuah hutan kegelapan malam,
atau dalam lembah gunung, dan ketika itu yang menguasai kita adalah pikiran
tentang hubungan yang berada diluar kebiasaan. Hal ini bias dikaitkan dengan
bermacam macam emosi yang berperan dalam kehidupan para tokoh agama.
Karl Marx berpandangan bahwa menghapus agama akan
memberikan kebahagiaan yang fantastis bagi agama yang akan membawa mereka pada
kebahagian yang hakiki. Sebenarnya pandangan Karl Marx yang menyatakan bahwa
agama adalah candu bagi masyarakat dikarenakan ia melihat bahwa agama mengiming
imingi orang orang yang beragama dan fakir dengan surga khayalan.
Pendapat lain mengatakan bahwa agama bukan candu bagi
masyarakat. Islam mengajak untuk berkarya dan berusaha mencari rizki dan
mencari kehidupan dunia. Islam menganjurkan kepada umatnya utuk memperhatikan
urusan orang-orang isalam dan menolak berbagai tindakan zalim. Selain itu,
islam juga mengagungkan kebebasan individu dan kebebasan berkelompok. Dan
tasawuf adalah kekuatan psikis dan potensi yang hanya termiliki secara sempurna
oleh orang orang tangguh. Kekuatan tersebut tidak akan mampu dihadapi kecuali
oleh orang orang hebat yang dapat menguasai nafsunya. Jika engkau mampu
menguasai jiwamu, engkau akan mampu menguasai kekuatan, jiwa dan seluruh
kehidupanmu. Juga engkau akan mampu membawa terbang jiwamu menuju kebenaran,
kebaikan dan keadilan.
INTERPRETASI PSIKOLOGI TERHADAP TASAWUF
Sebagian ilmuwan menafsirkan bahwa sumber
kecenderungan pada tasawuf adalah "revolusi batin" seseorang terhadap
kezaliman yang menimpa manusia yang tidak hanya terbatas pada kezaliman dari
orang lain, tapi pertama-tama pada kezaliman dirinya sendiri.
Revolusi batin semacam ini dibarengi oleh keinginan
kuat untuk menemukan ketersingkapan pada Allah Swt. dengan sarana apa saja yang
dapat dipakai oleh orang yang bersangkutan dalam membeningkan hati dari setiap
hal yang menyibukkan dirinya.
Beberapa peneliti menafsirkan kecenderungan pada
tasawuf adalah dikarenakan seseorang yang takwa dan wara tidak respek pada
alam, kebesaran, dan keindahan. Ia merasa dirinya terasing dan terpasung di
muka bumi. Dunia dianggap sebagai penjara dan kuburan. Oleh karena itulah jiwa
yang terpenjara tersebut berusaha membebaskan diri dan menemukan kemerdekaan supaya
dapat masuk ke ufuk langit ketuhanan yang luhur sebagai tempat kehadirannya.
Yaitu dengan cara membebaskan jiwa dari pasungan alam luar dan berusaha
memberontak untuk masuk kedalam relung jiwa yang terdalam.
Orang yang beragama meyakini adanya alam yang tak
kasat mata. Penyebab keyakinannya adalah bahwa ia mengetahui alam tersebut
melalui alam rasanya yang misterius. Intuisi inilah yang menumbuhkan keyakinan
keagamaan bukan hati. Adalah sangat berguna menggabungkan alam metafisis dengan
jiwa manusia. Hal ini terjadi karena tiga aspek yang mencakup metafisika,
kosmologi, psikologi rohani. Seperti yang dikatakan Dr. Ja'far, dalam pandangan
sufistik meliputi prinsip dasar yaitu, Allah Swt., alam, dan jiwa.
Dan dalam perjalanan sufistiknya tersebut, seorang sufi memiliki pengalaman spiritual sendiri sendiri dan tidak sama antara satu sufi dengan sufi yang lain.
Dan dalam perjalanan sufistiknya tersebut, seorang sufi memiliki pengalaman spiritual sendiri sendiri dan tidak sama antara satu sufi dengan sufi yang lain.
William James menjelaskan berbagai karakteristik sufistik
mengenai perasaan. Yaitu:
a. Keadaan sufistik yang tidak dapat digamarkan dan
diungkapkan secara verbal
b. Keadaan sufistik sebagai keadaan pemersepsian
c. Keadaan sufistik sangat cepat sirna
d. Keadaan sufistik sebagai keadaan pasif
Dr. At-Taftazaniberusaha mengelompokkan keadaan
intuisi (al halat al-wijdaniyyah). Ia menyebutkan hubungan logis diantara jenis
jenis keadaan intuisi tersebut seraya menyesuaikan tasawuf dengan kaidah kaidah
psikologi umum yang dapat menyatukan para sufi yang berlainan tempat.
Barangkali keadaan intuisi yang pertama kali dirasakan sufi adalah kesiapan
sufistik. Kesiapan psikologi sufistik terkadang timbul dari sugesti eksternal
maupun autosugesti. Secara umum benturan jiwa adalah factor terpenting dalam
memunculkan kesiapan psikologis sufistik ini. Dengan demikian, fase kesiapan
psikologi sufistik adalah keadaan intuisi yang bersifat gabungan yang dimulai
dengan sejenis kegelisahan psikologis dan berakhir dengan sejenis kesatabilan
psikologis pula.
HUBUNGAN TASAWUF DENGAN PSIKOLOGI
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan
bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada
wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan
tasawuf dengan unsure kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan
mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari
sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsure kejiwaan. Mengingat adanya
hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa,
terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian
tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan
tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang
hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara
keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat
sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang
dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Dari sini baru muncul
perbuatan perbuatan manusia, baik atau buruk, yang disebut dengan akhlak.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang
bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Kalau para sufi
menekankan unsure kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa khakikat,
zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsure spiritual atau kejiwaan.
Ditekankannya unsure jiwa dalam konsepsi tasawuf bukan berarti para sufi
mengabaikan unsure jasmani manusia karena jasmani yang sehat merupakan jalan
ada kehidupan rohani baik. Pandangan sufi mengenai jiwa berhubungan erat
denggan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian dari ilmu psikologi.
Adapun akhli akhli dibidang perawatan jiwa, memusatkan
perhatiannya pada masalah mental sehingga mampu melakukan penelitian ilmiah yang
menghubungkan antara kelakuan dengan kesehatan mental. Yaitu orang yang sehat
mentalnya mampu merasakan kebahagiaan dalam hidupnya dan sedangkan orang yang
tidak sehat mentalnya baik ringan maupun berat, dari orang yang terganggu
ketentraman hatinya sampai orang yang sakit jiwa. Hal ini dapat dilihat dari
gejala gejala umum yaitu perasaan, pikiran, kelakuan, kesehatan yang tidak
serasi atau kurang harmonis dalam diri manusia .
Dimana keadaan tersebut akan membuat seseorang
frustasi, stress bahkan sakit jiwa (gila). Hal ini sesungguhnya akan timbul
pada diri manusia yang tidak tenang hatinya, yakni hati yang jauh dari
Tuhannya. Ketidak tenagan ini akan memunculkan penyakit mental yang kemudian
akan menjadai perilaku yang tidak baik atau menyeleweng dari norma umum yang
disepakati. Dan harus diakui jiwa manusia sering kali sakit. Ia tidak akan
sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan enuju Allah dengan benar. Bagi orang
yang dekat dengan tuhannya, kepribadiannya akan tampak tenang dan perilakunya
terpuji yang semuanya ini bergantung pada kedekatan manusia dengan tuhannya.
Dan pola kedekatan manusia dengan tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam
tasawuf. Dari sisnilah nampak keterkaitan erat antara tasawuf dengan ilmu jiwa
yaitu ilmu kesehatan mental.
Keterkaitan antara tasawuf dengan psikologi ini
dibahas dalam psikologi transpersonal yaitu sebuah aliran baru dalam psikologi
yang merupakan pengembangan dari psikologi humanistic yaitu yang menolak teori
dan metode sebelumnya yaitu psikoanalitik dan behavoristik. Aliran ini berusaha
mengembangkan potensi manusia, hanya saja aliran ini menjangkau hal yang bersifat
adikodrati dan spiritual.
Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi
ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan dari kedunya, yaitu :
a. Persamaan konsepsi tentang potensi dasar manusia
Dikalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli
tasawuf hamper terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan
dalam keadaan suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah disni adalah bahwa manusia
ketika dilahirkan adalah dalam kondisi yang tidak memili dosa sama sekali,
bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah. Konsepsi
islam mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai
Tuhan, atau kecenderungan kepada kebenaran "dan ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan dari putra putra adam dari sulbi merek, dan membuat
persaksian atas diri mereka sendiri, bukankah aku ini tuhanmu?" mereka
menjawab, "benar, kami bersaksi".
Konsepsi tentang fitrah diatas, memiliki kesamaan
dengan pandangan Maslow dan juga para ahli psikolog humanistic lain, yang
menekankan potensi dasar manusia. Menurutnya, manusia adalah spesies yang
memiliki kemampuan atau potensi dasar yang sangat besar. Namun pada umumnya
manusia hanya menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia
justru lebih didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat
mengarahkan pada pilihan mundur, atau kejahatan. Konsepsi semacam ini adalah
salah satu factor penting dari teori maslow tentang motivasi manusia secara
komperhensip.
Menurut maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan
dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Meski demikian banyak orang
yangtidak mengetahui potensi yang dimilikinya, mereka tidak menyadari seberapa
besar prestasi yang dapat meraka raih dan berapa banyak ganjaran bagi mereka yang
mengaktualisasikan dirinya.
b. Persamaan konsepsi perkembangan jiwa manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan
mepunyai peluang untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan
kehendak bebasnya manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur,
dimna pilihan ini lah yang dapat merubah kondisi psikologis manusia."
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah
keadaan mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd, 13/53). Dari ayat tersebut jelas
sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan manusia sangat ditentukan oleh
pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan fitrahnya maka ia akan berkembang
secara wajar.
Dalam prespektif psikologi humanistic maslow,
pertumbuhan yang wajar dan sehat adalah dipengaruhi oleh motif perkembangan,
sementara pertumbuhan yang mengarah pada kemunduran dipengaruhi oleh motif
kekurangan (defisiensi need). Motif kekurangan atau kebutuhan dasar ini, serupa
dengan konsepsi nafs al ammarah dalam tradisi tasawuf.. dimana jika seseorang
didominasi oleh nafsu rendah maka ia akan cenderung pada kebutuhan atau
keinginan rendah, jika dorongan tingkat rendah ini tidak dapat dipenuhi maka
akan menimbulkan penyakit mental dan menjauhkan diri dari proses aktualisasi
diri (fitrah).
Perbedaaan
a. Potensi dasar manusia
Perbedaan dasar tentang konsep antara tasawuf dan
maslow ada pada pemahaman bahwa dalam pandangan tasawuf, manusia memilki
potensi dasar pengabdian pada tuhan sehingga segala kecenderungan yang mengarah
pada kebaikan dan kebenaran adalah wujud nyata dari ketaatan kepada tuhan.
Sementara psikologi maslow hanya menyebutkan sebagai potensi murni manusia,
sehingg orang yang tidak beragama pun dapt meraih being values dan
metamotivation. Kecenderungan individu baik yang mengarahpada perkembangan
maupun kemunduran bagi maslow bersifat alamiah dan spontan, sementara tasawuf
melihatnya sbgai wujud kasih saying tuhan terhadap hambanya. Dalam pandangan
tasawuf segala yang terjadi pada manusia, disamping karena kehendak bebas
manusia tapi juga Karena takdir Allah. Sedang menurut maslow menempatkan
manusia sebagai penentu perkembangan dan pertumbuhan pribadinya.
b. Perkembangan jiwa manusia
Perbedaan dari kedua teori, yaitu teori tasawuf dan
maslow hanya terletak pada kedudukan dan fungsinya. Ahwal dan maqomat dalam
tradisi sufi pada dasarnya adalah merupakan prosess yang harus dilalui oleh
seorang sufi menuju kesempurnaan diri dan teori maslow memandang aktualisasi diri
dan pengalaman puncak sebagai tujuan. Dari sisi epistemologis, ahwal dan
maqomat oleh sufi didasarkan pada pengalaman pribadi , selanjutnya para ahli
tasawuf merumuskan konsep tasawufnya berdasarkan pengalaman pribadi dan
pengalaman keaamaan orang lain. Sedangkan maslow dalam merumuskan konsepnya
mendasarkan teorinya pada pengamatan empiris dan data lapangan, dan menggunakan
teori psikologi sebelumnya
Dari persamaan dan perbedaaan antara kedua unsure
tersebut yaitu tasawuf dan psikologi, maka dapat kita temukan dimana letak
titik hubungan dari kedua unsure tersebut. Dimana perasaan dan kondisi
psikologis seorang sufi yang berbeda dalam setiap maqmnya dan kondisi
psikologis ini dipelajari dalam kajian ilmu psikolgi. Dan kedua ilmu ini sama
sama memilki tujuan akhir, yakni sufi menginginkan ketauhidan murni sedangkan
psikolgis pengaktualisasikan diri. Namun tujuan akhir dari kedua unsure ini
yaitu sama-sama mencari kebahagiaan.
Salah satu bahasan sebagai media yang dapat diangkat
dari sekian hal yang dapat dipertemukan antara psikologi dan tasawuf adalah
makna bahagia. Ada dua sudut pandang mengenai hidup bahagia yakni sudut pandang
agama dan sudut pandang psikologi.
Sudut pandang agama, khususnya Tasawuf Islam, pada dasarnya menyatakan bahwa kebahagiaan hakiki diperoleh bila kita senantiasa dekat dan mendekatkan diri kepada Maha Pemilik dan Maha Sumber segala Kebahagiaan yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yaitu dengan cara mengikuti, menaati dan menerapkan sebaik-baiknya tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari, karena agama banyak memberi petunjuk mengenai asas-asas dan cara-cara meraih keselamatan dan kebahagian di dunia dan di ahirat. Dan agama pun mengajarkan bahwa manusia mampu meraih kebahagiaan, asalkan ia berusaha mengubah keadaan diri mereka menjadi lebih baik. Dalam pandangan agama Islam, manusia mengubah nasibnya sendiri jika ia berusaha mengubah nasibnya tersebut ("Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri " (Q.S. al-Ra'ad/13: 11)
Sudut pandang agama, khususnya Tasawuf Islam, pada dasarnya menyatakan bahwa kebahagiaan hakiki diperoleh bila kita senantiasa dekat dan mendekatkan diri kepada Maha Pemilik dan Maha Sumber segala Kebahagiaan yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yaitu dengan cara mengikuti, menaati dan menerapkan sebaik-baiknya tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari, karena agama banyak memberi petunjuk mengenai asas-asas dan cara-cara meraih keselamatan dan kebahagian di dunia dan di ahirat. Dan agama pun mengajarkan bahwa manusia mampu meraih kebahagiaan, asalkan ia berusaha mengubah keadaan diri mereka menjadi lebih baik. Dalam pandangan agama Islam, manusia mengubah nasibnya sendiri jika ia berusaha mengubah nasibnya tersebut ("Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri " (Q.S. al-Ra'ad/13: 11)
Disisi lain tinjauan psikologi menunjukkan bahwa
kebahagiaan (happiness) merupakan hasil sampingan (by product) atau ganjaran
(reward) atas keberhasilan meraih hal-hal yang penting dan bermakna bagi
seseorang, dimana hal ini bersifat pribadi dan unik, artinya setiap orang
memiliki dambaan khusus yang berlainan satu sama lain, seperti kekeluargaan,
persahabatan, pendidikan, pekerjaan, tugas sosial, prestasi atau prestise,
harta dan kekayaan, kesehatan dan kebugaran, ilmu pengetahuan dan teknologi,
nilai-nilai luhur dan hal-hal yang bersifat rohaniah.
BAB III
PENUTUP
Dari kedua disiplin ilmu ini, tasawuf dan psikologi
terdapat kesamaan dan perbedaan pada teori tentang potensi dasar manusia dan
perkembangan jiwa manusia. Dalam uraian dalam bab 2 diatas dipaparkan bahwa
sesungguhnya kedua bidang ilmu ini memiliki keterikatan atau ada hubungan yaitu
keterikatan antara tasawuf dengan psikologi. Hal ini ditunjukkan bahwa aspek
pembahasan dari keduanya adalah tentang jiwa yaitu sufi dalam perkembangannya
menuju derajad yang lebih tinggi yaitu spiritualitas tidak terlepas dari
perkembangan jiwa sufi (manusia) itu sendiri, dimana pembahasan tentang jiwa
dan kondisi psikologis itu dipelajari dan dikaji dalam ilmu psikologi.
Dari kedua disiplin ilmu ini, tasawuf dan psikologi
terdapat kesamaan dan perbedaan pada teori tentang potensi dasar manusia dan
perkembangan jiwa manusia. Hal ini ditunjukkan oleh pandangan beberapa tokoh
psikologi barat yang membahas tentang agama dan keimnanan seseorang dalam
kehidupannya karena agama adalah realita dalam hidup manusia.
Kedua bidang ilmu ini saling menginterpretasi antara
satu dengan yang lain sehingga dapat ditemukan keterikatan antara kedua bidang
ilmu tersebut. Tapi terlepas dari itu semua, kedua bidang ilmu ini selain
memiliki kesamaan namun juga terdapat perbedaan dalam konsepsinya tentang
manusia baik itu potensi dasar yang dimiliki manusia juga dalam perkembangan
jiwanya. Kesamaan tersebut adalah potensi dasar yang dimiliki manusia memiliki
kecenderungan kebaikan dan keburukan yang nantinya dipengaruhi oleh
rangsangan-rangsangan yang dating dari luar dalam perkembangan kehidupannya,
dan dalam konsep psikologi (Maslow) manusia lah yang menentukan pilihan baik
buruk itu sedangkan dalam tasawuf, selain manusia itu sendiri namun jug tidak
terlepas dari takdir illahi.
Dari beberapa karakter para ahli tasawuf tentang
maqomat dan ahwal, serta karakter self actualization, metamotivation dan
peak-experience yang dikemukakan oleh maslow terdapat kesamaan-kesamaan,
misalnya kesederhanaan, kesabaran, menerima kodarat apa adanya, kerelaan
,kreativ, suka cita, kesatuan, ketahanan terhadap budaya, efisien, terpusat
pada persoalan , kemandirian, kesegaran paresiasi, kesadaran social, demokratis
dll. Dimana karakter karakter tersebut ditemukan baik dalam maqomat, ahwal,
self actualization, peak-experience, dan metamotivation. Lebih dari itu, baik
tasawuf maupu maslow memandang keseluruhan karakter diatas adalah berpijak pada
pengalaman yang bersifat pribadi.
Perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah pada tujuan akhir. Tujuan akhir dari pengalam sufi adalah ketauhidan yang murni, sedangkan maslow menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Dalam pandangan tasawuf maqomat dan ahwal merupakan proses yang harus dilalui seseorang untuk mencapai kesempurnaan, sementara aktualisasi diri (maslow) adalah proses sekaligus tujuannya.
Perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah pada tujuan akhir. Tujuan akhir dari pengalam sufi adalah ketauhidan yang murni, sedangkan maslow menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Dalam pandangan tasawuf maqomat dan ahwal merupakan proses yang harus dilalui seseorang untuk mencapai kesempurnaan, sementara aktualisasi diri (maslow) adalah proses sekaligus tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
An-Najr, Amir. Psikoterapi Sufistik Dalam Kehidupan
Modern. Bandung : PT. Mizan Publika, 2004, Cet.1
An-Najr, Amin. Mengobati Gangguan Jiwa. Bandung : PT.
Mizan Publika, 2004, Cet.1
Muhammad Hasyim. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi .
Yogyakarta. Pustaka Pelajar Ofset. 2002
Nata, Abuddin. Akhlak tasawuf. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.1996
Siregar,Rifay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2002. cet. 2
Siregar,Rifay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.2002. cet. 2
Rasihi Anwar, Mukhtar Solihin. Ilmu tasawuf. Jakarta:
CV Pustaka Setia, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar