Selasa, 21 Mei 2013

PSIKOLOGI AGAMA


MAKNA DAN RELEVANSI SLOGAN
“ SPIRITUALITY YES, ORGANIZED RELIGION NO ! “
DALAM PANDANGAN PSIKOLOGI AGAMA

PENDAHULUAN
A.    PENGANTAR
Manusia dan agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena manusia memang tidak bisa menolak kebutuhan spiritualnya untuk ber-Tuhan. Semua manusia memiliki naluri untuk bertuhan dan tidak ada manusia yang bisa lari dari kecendrunganya tersebut.
            Setiap manusia memiliki apa yang disebut dengan “emosi keagamaan” atau “religious emotion”, yaitu suatu getaran jiwa yang muncul dalam diri seseorang sebagai respon terhadap kehadiran sesuatu yang luar biasa dalam dirinya. Emosi keagamaan menyebabkan manusia mempunyai sikap yang serba agamis dan menyebabkan setiap perbuatan yang dilakukan seseorang beragama mempunyai nilai suci atau sacred value.[1]
            Menurut Rudolf Otto, emosi keagamaan itu berupa sikap kagum dan terpesona terhadap sesuatu yang ghaib serta keramat. Sementara menurut Koentjaraningrat, komponen keagamaan ini merupakan komponen utama dalam setiap agama yang akhirnya akan membedakan agama dengan semua sistem sosial budaya dalam masyarakat manusia.[2]
            Namun pada kenyataanya, seiring perkembangan zaman masyarakat manusia tampaknya mulai merasakan muak atas agama lantaran teologi eksklusifnya. Kemuakan masyarakat atas teologi eksklusif itu diekspresikan dengan bersikap apatis terhadap agama, bahkan banyak pula yang melakukan “pemberontakan”, sebagian besar dari mereka sudah tidak terlalu peduli dengan ritualitas agama.
            Oleh karenanya banyak pengamat menilai akan munculnya penolakan terhadap agama dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 meramalkan dimasa yang akan datang akan tumbuh sebuah tatanan baru keberagamaan yang oleh Naisbit dirumuskan dalam slogan : “ Spirituality Yes, Organized Religion No ! “
            Kalau memang demikian adanya, analisis Naisbit mengarah pada kesuraman masa depan agama-agama formal. Lantas bagaimana makna dan esensi dari sebuah keagamaan sekarang? Dan bagaimana pula nasib agama-agama formal yang telah ada jika kemudian tergeserkan oleh adanya tatanan keberagamaan yang baru? Tentunya hal ini akan menjadi masalah baru dan tantangan bagi agama pada masa yang akan datang.
            Dalam makalah ini, kami akan menggali makna dan relevansi dari slogan :      “ Spirituality Yes, Organized Religion No ! “ dalam perspektif psikologi agama, dimana penggalian makna dan relevansinya ini dirasa sangat perlu untuk dapat melihat lebih dalam makna spiritual tanpa agama, dan sedikit memberikan apresiasi terhadap kehidupan beragama manusia.

PEMBAHASAN
A.    SLOGAN “ SPIRITUALITY YES, ORGANIZED RELIGION NO ! “
John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrend 2000 merumuskan slogan : “ Spirituality Yes, Organized Religion No ! “ atas analisisnya terhadap masyarakat yang apatis terhadap agama dan ritualitas keberagamaan. Slogan ini menggambarkan kemuakan masyarakat barat atas teologi eksklusif suatu agama, walaupun pada dasarnya mereka tidak bisa menghilangkan kebutuhan spiritualnya. Sebagian besar dari mereka sudah tidak terlalu peduli dengan ritualitas agama. Hal ini terlihat dari semakin jarangnya masyarakat disana yang mau mengikuti kebaktian mingguan di gereja.
            “ Spirituality Yes, Organized Religion No ! “ ini merupakan suatu bentuk keruhanian tanpa agama formal. Suatu bentuk keberagamaan yang hanya mengambil dimensi spiritualnya saja. Kebutuhan spiritual mereka terhadap Tuhan disalurkan melalui kegiatan-kegiatan keruhanian yang lepas dari agama. Fenomena ini adalah apa yang disebut sebagai spiritualisme, dibarat dikenal sebagai gerakan New Age. Mereka menyelami spiritualitas dan “bermesraan” dengan tuhan tanpa terikat dengan sebuah agama.
            Substansi yang ada dalam slogan Naisbit dan Aburdene itu sesungguhnya  sudah lama  ada dikalangan masyarakat tertentu baik dibarat maupun ditimur. Mereka ini menyadari perlunya spiritualisme bagi dirinya, namun karena sikap kritisnya terhadap agama-agama formal dan mapan, mereka cenderung menolak segala bentuk aturan maupun  ritual agama.
            Fenomena ini muncul dilatari oleh rasa ketidak sukaan terhadap klaim kebenaran dan keselamatan ditambah dengan radikalisme yang marak beberapa tahun  belakangan ini. Klaim kebenaran yang berujung pada penghakiman terhadap orang yang berbeda sebagai “sesat” atau “kafir” menumbuhkan kebencian satu sama lain. Kebencian itu pula yang pada giliranya memicu radikalisme.
B.     PERAN DAN FUNGSI AGAMA
Agama mengandung sebuah pengertian serangkaian atau seperangkat aturan, ketentuan, dan kaidah-kaidah kehidupan yang harus dipegangi  dan dijadikan sebagai rujukan atau petunjuk oleh setiap pemeluk dan penganutnya dalam menjalankan seluruh aktifitas kehidupannya. (Ajat Sudrajat : 2008)
Cakupan aktifitas dan aturan-aturan yang dibuat oleh agama meliputi seluruh bidang  lingkup kehidupan manusia tanpa terkecuali, dan agama memiliki peran sebagai petunjuk bagi manusia untuk melakukan sesuatu hal penuh dengan kehati-hatian  sehingga ia tidak tersesat dalam mencapai tujuan hidup yang hakiki, guna mencapai  kebahagiaan hidup didunia dan alam setelah dunia.
Secara psikologis maupun sosiologis, fungsi agama adalah memberikan cakrawala pandang yang lebih luas tentang Tuhan atau “dunia lain” yang tidak terjangkau secara empirik. Dalam hubungan ini, setidaknya agama memiliki dua fungsi, yaitu fungsi Manifest ; yang disadari, disengaja, dan fungsi Laten ; tersembunyi, tidak disadari, tidak disengaja.[3] Menyembah tuhan adalah fungsi manifest, sedangkan memenuhi kebutuhan manusia (terutama yang lahiriyah) merupakan fungsi laten dari agama.
Secara lebih luas Thomas F. O’Dea menyebutkan enam fungsi agama (Djamari, 1988 : 81)
1.      Agama menyajikan dukungan moral dan sarana emosional, pelipurlara, dan rekonsiliasi disaat manusia menghadapi ketidak pastian dan frustasi.
2.      Agama menyajikan sarana hubungan transcendental melalui amal ibadat yang menimbulkan rasa damai dan identitas baru yang menyegarkan.
3.      Agama mengesahkan, memperkuat, memberi legitimasi dan mensucikan nilai dan norma masyarakat yang telah mapan dan membantu mengendalikan ketentraman, ketertiban dan stabilitas masyarakat.
4.      Agama memberikan standar nilai untuk mengkaji ulang nilai-nilai dan norma-norma yang telah mapan.
5.      Agama memberikan fungsi identitas diri.
6.      Agama memberikan status baru dalam pertumbuhan dan siklus perkembangan individual melalui berbagai krisis rites.
Dari penjelasan ini, setidaknya ada dua hal pokok dari fungsi agama, yaitu : pertama, agama merupakan suatu cakrawala tentang dunia yang tidak terjangkau manusia (Beyond), dalam arti ketika deprivasi (rasa kehilangan diri) dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang memiliki makna. Kedua, agama merupakan sarana yang memungkinkan hubungan antara manusia dengan tuhan, yang memberikan jaminan keselamatan.


[1] Ajat sudrajat dkk, din al islam : pendidikan agama islam diperguruan tinggi umum, UNY Pres. Yogyakarta, 2008
[2] Ibid, hal : 21
[3] Ibid, hal : 29

Tidak ada komentar: