MAKNA
DAN RELEVANSI SLOGAN
“ SPIRITUALITY YES, ORGANIZED RELIGION
NO ! “
DALAM
PANDANGAN PSIKOLOGI AGAMA
PENDAHULUAN
A.
PENGANTAR
Manusia dan agama adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena manusia memang tidak bisa
menolak kebutuhan spiritualnya untuk ber-Tuhan. Semua manusia memiliki naluri
untuk bertuhan dan tidak ada manusia yang bisa lari dari kecendrunganya
tersebut.
Setiap manusia memiliki apa yang
disebut dengan “emosi keagamaan” atau “religious emotion”, yaitu suatu
getaran jiwa yang muncul dalam diri seseorang sebagai respon terhadap kehadiran
sesuatu yang luar biasa dalam dirinya. Emosi keagamaan menyebabkan manusia
mempunyai sikap yang serba agamis dan menyebabkan setiap perbuatan yang
dilakukan seseorang beragama mempunyai nilai suci atau sacred value.[1]
Menurut Rudolf Otto, emosi keagamaan
itu berupa sikap kagum dan terpesona terhadap sesuatu yang ghaib serta keramat.
Sementara menurut Koentjaraningrat, komponen keagamaan ini merupakan komponen
utama dalam setiap agama yang akhirnya akan membedakan agama dengan semua sistem
sosial budaya dalam masyarakat manusia.[2]
Namun pada kenyataanya, seiring
perkembangan zaman masyarakat manusia tampaknya mulai merasakan muak atas agama lantaran teologi eksklusifnya. Kemuakan
masyarakat atas teologi eksklusif itu diekspresikan dengan bersikap apatis
terhadap agama, bahkan banyak pula yang melakukan “pemberontakan”, sebagian
besar dari mereka sudah tidak terlalu peduli dengan ritualitas agama.
Oleh karenanya banyak pengamat
menilai akan munculnya penolakan terhadap agama dalam kehidupan keseharian.
Sebagaimana John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 meramalkan dimasa yang
akan datang akan tumbuh sebuah tatanan baru keberagamaan yang oleh Naisbit dirumuskan dalam slogan : “ Spirituality Yes, Organized Religion
No ! “
Kalau memang demikian adanya,
analisis Naisbit mengarah pada kesuraman masa depan agama-agama formal. Lantas
bagaimana makna dan esensi dari sebuah keagamaan sekarang? Dan bagaimana pula
nasib agama-agama formal yang telah ada jika kemudian tergeserkan oleh adanya
tatanan keberagamaan yang baru? Tentunya hal ini akan menjadi masalah baru dan
tantangan bagi agama pada masa yang akan datang.
Dalam makalah ini, kami akan
menggali makna dan relevansi dari slogan : “
Spirituality Yes, Organized Religion No ! “ dalam perspektif psikologi
agama, dimana penggalian makna dan relevansinya ini dirasa sangat perlu untuk
dapat melihat lebih dalam makna spiritual tanpa agama, dan sedikit memberikan
apresiasi terhadap kehidupan beragama manusia.
PEMBAHASAN
A.
SLOGAN “ SPIRITUALITY YES, ORGANIZED RELIGION NO ! “
John
Naisbit dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrend 2000 merumuskan slogan : “ Spirituality Yes, Organized Religion No ! “ atas analisisnya terhadap masyarakat yang apatis terhadap agama dan
ritualitas keberagamaan. Slogan ini menggambarkan kemuakan masyarakat barat
atas teologi eksklusif suatu agama, walaupun pada dasarnya mereka tidak bisa
menghilangkan kebutuhan spiritualnya. Sebagian besar dari mereka sudah tidak
terlalu peduli dengan ritualitas agama. Hal ini terlihat dari semakin jarangnya
masyarakat disana yang mau mengikuti kebaktian mingguan di gereja.
“
Spirituality Yes, Organized Religion No ! “ ini merupakan suatu bentuk
keruhanian tanpa agama formal. Suatu
bentuk keberagamaan yang hanya mengambil dimensi spiritualnya saja.
Kebutuhan spiritual mereka terhadap Tuhan disalurkan melalui kegiatan-kegiatan
keruhanian yang lepas dari agama. Fenomena ini adalah apa yang disebut sebagai
spiritualisme, dibarat dikenal sebagai gerakan New Age. Mereka menyelami
spiritualitas dan “bermesraan” dengan tuhan tanpa terikat dengan sebuah agama.
Substansi yang ada dalam slogan Naisbit dan Aburdene itu sesungguhnya
sudah lama ada dikalangan
masyarakat tertentu baik dibarat maupun ditimur. Mereka ini menyadari perlunya
spiritualisme bagi dirinya, namun karena sikap kritisnya terhadap agama-agama
formal dan mapan, mereka cenderung menolak segala bentuk aturan maupun ritual agama.
Fenomena ini muncul dilatari oleh
rasa ketidak sukaan terhadap klaim kebenaran dan keselamatan ditambah dengan
radikalisme yang marak beberapa tahun
belakangan ini. Klaim kebenaran yang berujung pada penghakiman terhadap orang
yang berbeda sebagai “sesat” atau “kafir” menumbuhkan kebencian satu sama lain.
Kebencian itu pula yang pada giliranya memicu radikalisme.
B.
PERAN DAN FUNGSI AGAMA
Agama mengandung sebuah pengertian
serangkaian atau seperangkat aturan, ketentuan, dan kaidah-kaidah kehidupan
yang harus dipegangi dan dijadikan
sebagai rujukan atau petunjuk oleh setiap pemeluk dan penganutnya dalam
menjalankan seluruh aktifitas kehidupannya. (Ajat Sudrajat : 2008)
Cakupan aktifitas dan aturan-aturan yang
dibuat oleh agama meliputi seluruh bidang
lingkup kehidupan manusia tanpa terkecuali, dan agama memiliki peran
sebagai petunjuk bagi manusia untuk melakukan sesuatu hal penuh dengan
kehati-hatian sehingga ia tidak tersesat
dalam mencapai tujuan hidup yang hakiki, guna mencapai kebahagiaan hidup didunia dan alam setelah
dunia.
Secara psikologis maupun sosiologis,
fungsi agama adalah memberikan cakrawala pandang yang lebih luas tentang Tuhan
atau “dunia lain” yang tidak terjangkau secara empirik. Dalam hubungan ini,
setidaknya agama memiliki dua fungsi, yaitu fungsi Manifest ; yang disadari,
disengaja, dan fungsi Laten ; tersembunyi, tidak disadari, tidak disengaja.[3]
Menyembah tuhan adalah fungsi manifest, sedangkan memenuhi kebutuhan manusia
(terutama yang lahiriyah) merupakan fungsi laten dari agama.
Secara lebih luas Thomas F. O’Dea menyebutkan enam fungsi agama (Djamari, 1988 : 81)
1. Agama menyajikan dukungan moral dan
sarana emosional, pelipurlara, dan rekonsiliasi disaat manusia menghadapi
ketidak pastian dan frustasi.
2. Agama menyajikan sarana hubungan transcendental
melalui amal ibadat yang menimbulkan rasa damai dan identitas baru yang
menyegarkan.
3. Agama mengesahkan, memperkuat, memberi
legitimasi dan mensucikan nilai dan norma masyarakat yang telah mapan dan
membantu mengendalikan ketentraman, ketertiban dan stabilitas masyarakat.
4. Agama memberikan standar nilai untuk
mengkaji ulang nilai-nilai dan norma-norma yang telah mapan.
5. Agama memberikan fungsi identitas diri.
6. Agama memberikan status baru dalam
pertumbuhan dan siklus perkembangan individual melalui berbagai krisis rites.
Dari penjelasan ini, setidaknya ada
dua hal pokok dari fungsi agama, yaitu : pertama, agama merupakan suatu
cakrawala tentang dunia yang tidak terjangkau manusia (Beyond), dalam arti ketika deprivasi (rasa kehilangan diri) dan
frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang memiliki makna. Kedua, agama
merupakan sarana yang memungkinkan hubungan antara manusia dengan tuhan, yang
memberikan jaminan keselamatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar