TASAWUF DAN KEBATINAN DI INDONESIA
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah,kami
panjatkan rasa puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberkahi kami, sehingga laporan ini dapat selesai dengan tepat waktu. Sholawat serta salam
tak lupa kami ucapkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah
memberi jalan yang terang dan mengentas kita dari
kebodohan. Tak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak dosen yang setia membimbing kami
selama masa perkuliahan serta proses penyelesaian laporan ini. Tak lupa kami ucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kita dalam penyelasian laporan
ini, terutama kepada orang tua kami yang selalu mendoakan kami Ndimana pun berada.Dan
tak lupa kami ucapkan maaf atas segala khilaf atas penulisan makalah ini.Karena
kami jua hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Semoga apa yang
kami
sajikan ini berguna
bagi kita semua dan dapat membantu dalam segala hal.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Banyaknya aliran sangat meresahkan kehidupan antar
sesama. Kita semua tahu
bahwa dengan agama pun telah membimbing kita menuju
pada kebenaran yang hakiki
dan sesuai dengan syariat yang telah diperjelas dalam
kitab suci masing-masing. Namun, ada hal lain yang memang menurut mereka bahwa
agama juga tidak selamanya membawa kita pada suatu hal yang baik dan benar
adakalanya juga membawa hal yang kurang baik. Inilah mengapa ada perselisihan
antara para penganut agama dengan para
penganut aliran kebatinan yang telah ada di Indonesia.
Ini adalah sebuah keyakinan
dan suatu kepercayaan, oleh sebab itu kelompok kami
akan membahasnya. Bagaimana agama dan aliran kebatinan yang ada saat ini. Di
sini kami mengupas antara aliran kebatinan dengan tasawuf yang notabenenya
adalah ibadah sakral dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah perbedaan aliran kebatinan dan tawawuf ?
2. Ajaran apa saja yang terdapat pada aliran kebatinan
dan tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ALIRAN KEBATINAN
1.
Pengertian Kebatinan
Aliran Kebatinan atau
sekarang lebih dikenal dengan “kepercayaan”, lengkapnya kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu sistem kepercayaan atau sistem spriritual yang
ada di Indonesia selain agama, aliran, faham, sekte atau madzhab dari agama
tersebut, serta bukan pula termasuk kepercayaan adat.
Mistik kejawen atau kebatinan tujuan mistiknya
dikenal dengan istilah manunggalaing kawula Gusti, yang menggambarkan kondisi
persatuan antara manusia dengan Tuhan, merupakan pengalaman rohani yang
dirasakan oleh seorang pemistik kebatinan dalam keadaan tidak sadar akan
dirinya. Penamaan “Kejawen”, dipilih karena bahasa pengantar
ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.
Terdapat istilah-istilah
lain seperti gambuh (dalam aliran sumarah), wor winoring loroloroningatunggal,
yang semuanya menggambarkan kondisi persatuan antara kawula
(manusia) dengan gusti (Tuhan), antara Tuhan dengan
manusia lebur menjadi satu,
dengan disimbolkan sebagai curiga manjing ing rangka,
rangka manjing curiga (keris
yang bersatu dengan rangkanya).
Menurut istilah umum kepercayaan adalah suatu
keadaan psikologis pada saat seseorang menganggap suatu premis benar.
Kepercayaan merupakan satu keyakinan pada sesuatu hingga mengakibatkan
penyembahan, sama ada kepada Tuhan, roh atau lainnya. Nama Kebatinan itu lebih
dikenal pada tahun 1950-an sampai dengan tahun akhir 1960-an, dan Kebatinan
muncul dalam berbagai bentuk gerakan atau perguruan.
Kembali kita menggunakan
istilah Kebatinan, Masing-masing perguruan dipimpin
oleh guru Kebatinan yang mengajarkan ilmunya kepada
pengikut-pengikutnya. Dengan
adanya berbagai macam perguruan yang ajarannya
kadang-kadang berbeda karakteristiknya antara satu sama lain, oleh sebab itu
terdapat berbagai macam aliran
Kebatinan. Ilmu yang diajarkan, yang pada umumnya
menurut pengakuan para guru itu
diperoleh atas dasar wahyu atau bahasa jawanya wangsit
dari Tuhan.
2. Histori Kebatinan atau
keberadaan Aliran Kebatinan
Keberadaan aliran Kebatinan
atau dapat disebut juga kepercayaan dalam
wujudnya sebagai organisasi yang beraneka macam serta
dalam jumlah yang tiada sedikit, barang kali itu boleh dipandang sebagai
fenomena baru, oleh karena organisasi-organisasi aliran kepercayaan itu pada
umumnya baru muncul setelah proklamasi kemerdekaan.
Sebagian di antaranya memang
telah ada sejak zaman colonial Belanda, sekitar abad 20 ini. Akan tetapi
apabila dilihat dari aspek ajarannya yang intinya adalah mistik Islam Kejawen,
sesungguhnya memiliki akar yang cukup panjang sepanjang sejarah
perkembangan Islam di Jawa. Faham Kebatinan telah ada
sejak Islam bersentuhan dengan budaya Jawa Hindu, justru perpaduan antara
mistik Islam dan hindu budha itulah yang menghasilkan mistik Islam Kejawen yang
menjadi ciri khas aliran kepercayaan.
Faham Kebatinan ini dalam
proses perkembangannya senantiasa didukung oleh
golongan priyayi, yaitu golongan keluarga istana dan
pejabat pemerintahan kraton.
Mereka termasuk ke dalam kategori orang-orang Islam
abangan lapisan atas, yakni orang-orang Islam yang kurang mengetahui
ajaran-ajaran Islam dan oleh karenanya tidak mengamalkan syari’at Islam. Mereka
masih mempertahankan budaya Hindu, sementara Islam yang datang kemudian
dipandang sebagai unsur tambahan. Unsur Islam diperlukan untuk melengkapi
kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang diperlukan ajaran mistik.
Dalam mistik priyayi ini,
tidak ada bedanya antara Yang Mutlak (Tuhan) dengan
anusia. Faham Islam Kejawen sesungguhnya telah mulai masuk di kalangan istana/kraton sejak pemerintahan sultan Tranggono di kesultanan Demak. Penghulu istana Demak itu ialah sunan Geseng, saudara seperguruan Syekh Siti Jenar, yang mengajarkan mistik manunggaling kawulo gusti. Dan menantu Sultan Tranggono dari putrinya yang tertua yaitu Jaka Tingkir atau Mas Karebet adalah dari golongan Islam Kejawen. Di samping sebagai menantu Sultan, dia semula adalah sebagai bupati di Pengging, menggantikanm kedudukan ayahnya, yaitu Ki Kebo Kenanga. Dia juga termasuk salah seorang murid Syekh Siti Jenar. Sementara itu kakeknya, Prabu Andayaningrat dari Pangging juga, adalah menantu Prabu Brawijawa ke V dari Majapahit. Dan sewaktu kerajaan Demak sudah berdiri, Andayaningrat tetap berusahan untuk melanjutkan dinasti Majapahit dengan segala tradisinya.
Tatkala Jaka Tingkir keluar
sebagai pemenang dalam perebutan dengan Arya Penangsang kemudian ia dikukuhkan
sebagai sultan tahun 1550 menggantikan sultan
Trenggono dengan gelar Sultan Hadiwijaya, maka ibukota
kerajaan dipindah dari Demak ke Pajang, sebab disana banyak penganut Islam
Kejawen yang mendukung pemerintahannya, sehingga pada tahun 1568 terjadi
pergeseran yang menyebabkan
olehnya diusahakan penyesuaian Islam dengan agama siwa
Budha dan dengan resmi
diwujudkan dalam bentuk ajaran wihdatul wujud atau
manunggaling kawula gusti sebagai dasar falsafat kerajaan, pergeseran itu
diusahakan atas prakarsa ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) ayah Jaka Tingkir.
Sehingga saat itu terjadi polarisasi kehidupan beragama, disatu pihak ada
kelompok lama yang secara murni melaksanakan syari’at Islam dan di lain pihak
terdapat para bangsawan dan prajurit islam yang masih
melaksanakan kebiasaan adat kraton yang sinkretis yang
biasa disebut kaum abangan.
Saat para kyai Indonesia
banyak yang pergi haji ke mekkah dan banyak mempelajari islam yang murni
disana, setelah itu menyebarkan islam yang murni di Indonesia dan membentuk
gerakan-gerakan reformasi, dan arus modernisasi Barat semakin mengacam menjadikan
semangat keberagamaan kejawen juga semakin meningkat, mereka bangkit mempertahankan
apa yang dianggap sebagai nilai asli Jawa.
Dan pada saat kemerdekaan kebatinan sangat berkembang
pesat terutama saat
pasca kemerdekaan Banyak para ahli ilu social maupun
ilmu agama yang menganalisa
dan memberikan pendapatnya kenapa aliran kebatinan
pada saat itu tumbuh begitu pesat.
Hal itu antara lain di
samping dimungkinkan karena adanya pernyataan kebebasan
beragama yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 29, juga
karena berbagai krisis yang
timbul pada masa perjuangan membela kemerdekaan
menuntut orang mencari pegangan
hidup, penguat batin.
3. Ajaran Inti Kebatinan
Ajaran-ajaran Kejawen
bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik
Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang
bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap
tantangan perubahan zaman.
Ilmu Kebatinan selain disebut sebagai ilmu Kejawen
kadang-kadang disebut juga ilmu kerohanian, ilmu kejiwaan, ilmu kasuksman, ilmu
kesunyatan, ilmu kasampurnaan, atau juga ilmu ka-Allah-an.
Dari pandangan tersebut maka
teologi yang mendasari mistik Kebatinan adalah
teologi yang bercorak pantheistic, oleh karena dalam
pandangan tersebut tergambarkan
bahwa intisari manusia, esensinya sama dengan Tuhan.
Dalam berbagai aliran Kebatinan, Tuhan digambarkan sebagai bersifat transenden,
tidak bisa digambarkan seperti apa.
Menurut ajaran Kebatinan
itu, manusia berasal dari Tuhan yang diciptakan oleh
Tuhan melalui suatu proses tanazzul, semacam proses
emanasi, di mana Tuhan
mengejawantah atau menjelmakan diri dalam beberapa
pangkat emanasi, dari wujud-Nya yang ghaib sampai pada akhirnya bermuara pada
terwujudnya manusia yang terdiri dari unsur jasman rohani, yang disebut sebagai
Insan kamil.
Berkenaan dengan pendapat
ajaran kebatinan tentang alam, dibagi menjadi dua,
v Alam gaib: alam
gaib sendiri bertingkat-tingkat kegaibannyasejak dari alam ketuhanan, yang disebut juga alam sonya ruri,
alam kasunyatan, alam azali abadi, sangkan paraning dumadi sampai dengan alam
para makhluk halus, roh-roh dan dunia batin manusia.
v Alam lahir dibedakan menjadi dua yakni alam besar,
alamsemesta ini atau bahasa jawanya jagad gede, dan alam kecil bahasa jawanya
alam cilikyang meliputi manusia. Terdapat hubungan kesatuan antara alam besar
dengan alam kecilkeduanya merupakan pengejewantahan Tuhan.Tentang asal usul
alam ini apakah berawal dari tidak ada menjadi ada, ataumerubah dari bentuk
yang sudah ada atau juga ada dengan sendirinya. Setiap aliran yangtermasuk
dalam kebatinan masing-masing menjelaskannya dengan bahasa sendiri-sendiri.
Ajaran tentang alam juga
memasukkan istilah memayu hayuning bawana yang artinya bahwa bawana=alam
hendaklah dihadapi dengan sedemikian rupa sehingga menjadikan selamat sejahtera
bagi penghuninya termasuk didalamnya manusia dan penghuni lainnya.
Jadi ajaran kebatinan juga mengharuskan para pengikutnya
untuk menjaga dan melestarikan alam sekitar untuk menjaga keseimbangannya
karena akibat marahnya alam ini juga akan berdampak bagi manusia dan makhluk
hidup lainnya.
Tujuan untuk mencapai
manuggaling kawula gusti itu dilandasi oleh suatu
pemikiran teologis-metafisis “sangkan paraning dumadi” (asal dan kembalinya segala
yang ada). Dari pandangan filosofis tersebut dapat
diketahui ajaran-ajaran tentang Tuhan, manusia dan alam, siapakah manusia, dari
mana asal usulnya, serta bagaimana
hubungannya dengan Tuhan. Seperti halnya pada Tasawuf,
di dalam Kebatinan untuk sampai kepada manunggaling kawulo gusti, orang harus
melakukan latihan-latihan kerohanian atau latihan kejiwaan atau juga oleh rasa
dengan melalui menembah, sujud, meditasi, tapa brata, dan lain-lain.
Pada umumnya tingkatan
latihan rohani itu terdiri atas tiga tingkat,
bersesuaian dengan tiga lapis struktur manusia; badan
jasmani, badan rohani dan roh.
Ketiga tingkat latihan tersebut juga akan menghasilkan
tiga suasana batin heneng, hening, henong. Heneng atau meneng, berkaitan dengan
terhentinya nafsu-nafsu, di mana nafsu-nafsu itu ditimbulkan oleh rangsangan
dari luar, sebagai hasil kerja indera. Hening berarti bening atau jernih,
berkaitan dengan terhentinya kerja perasaan, pikiran ataupun anganangan dari
memikirkan yang beraneka macam, tetapi pikiran perlu dikonsentrasikan pada satu
objek, dalam hal ini adalah Tuhan. Kemudian henong adalah suasana kosong, di mana
nafsu-nafsu telah terhenti, pikiran telah terkonsentrasi hanya kepada Tuhan.
Dan pada saat itulah semua hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhan telah
tersingkap.
Ketiga tingkat latihan
kejiwaan itu digambarkan oleh Dr. S. De Jong dalam tiga
tahapan juga yakni; distansi, konsentrasi, dan
reprensentasi.
·
Distansi maksudnya ialah mengambil jarak terhadap dunia materi yang
dapat disentuh dengan indera, denganmaksud untuk memadamkan nafsu.
·
konsentrasi adalah suatu upaya memusatkan daya batiniyah dengan maksud
memutuskan sama sekali semua bentuk hubungan dengan dunia materi.
Pada
akhirnya jika kedua tahapan itu telah dapat dilalui maka akan tercapai derajat
identifikasi dengan Tuhan, di mana seorang ahli Kebatinan telah mencapai
derajat manunggaling kawula gusti, mati ing sajarone urip, dan itulah tahap
representative. Jika seseorang telah mencapai tahap tersebut ia telah dihiasi
oleh sifat-sifat keilahian, sifat-sifat kesempurnaan. Karena itu pula disebut
sebagai Manusia Sempurna Atau Insan Kamil. Manusia sempurna semacam itu disebut
sebagai satria pinandita, di satu sisi ia sebagai pendeta yang dekat dan selalu
mendekatkan diri dengan Tuhan, sedangkan di sisi yang lain ia sebagai satria
yang memiliki kemampuan supranatural, kemampuan di atas kemampuan manusia
biasa, baik secara pisik maupun psikis, oleh karena ia telah dilimpahi sebagian
sifat-sifat Tuhan.
B. TITIK TEMU ALIRAN KEBATINAN
DAN TASAWUF
1. Tasawuf
Tujuan utama dalam Tasawuf
adalah pengalaman dan kesadaran berhubungan
dengan Tuhan secara langsung, berada sedekat-dekatnya
dengan Tuhan secara sadar
sehingga seseorang merasa berada dihadirat Tuhan.
Tuhan dihayati sebagai hadir di
hadapannya, atau sufi berhubungan mesra sehingga
menimbulkan rasa bahagia. Untuk
mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan ini,
menurut sejarah, semula Tasawuf
mengambil bentuk zuhud, dalam arti sikap hidup
sederhana dan menjauhi kemewahan
duniawi. Selanjutnya Tasawuf juga digunakan untuk
memperhalus budi pekerti dan sopan santun ketika manusia mengadakan hubungan
Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia. Corak penghayatan Tasawuf seperti
itulah yang muncul dalam perkembangan awal Tasawuf dan cenderung merupakan
gerakan moral, dimaksudkan untuk memperhalus budi pekerti dan pengalaman
syari’at yang biasanya dijalankan dengan ketat dan kaku, sehingga ajaran
syari’at itu menjadi lebih halus, mendalam dan bermakna.
Karenanya Tasawuf semacam
itu disebut Tasawuf akhlaki atau Tasawuf sunni dan dapat dikategorikan sebagai
mistik kepribadian (mysticism personality). Disebut mistik
kepribadian karena hubungan antara manusia tidak
sampai pada penyatuan esensi, karena antara Tuhan dan manusia dasarnya berbeda,
manusia sebagai makhluk dan Tuhan sebagai Khalik (pencipta). Sedangkan kenapa
disebut Tasawuf sunni, oleh karena
Tasawuf ini dikembangkan oleh golongan sunni terutama
Al-Ghazali, dan tetap
berpegang pada ortodoksi al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di
dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan siksa neraka yang sangat
pedih dan mengerikan yang
diancamkan terhadap orang yang berdosa. Tetapi
terdapat pula ayat-ayat yang
menunjukan bahwa Tuhan itu mengasihi dan mencintai
hamba-Nya, Tuhan maha
mengetahui, maha mendengar dan lain sebgainya.
Ayat-ayat semacam itu yang kemudian mendorong munculnya tokoh-tokoh Tasawuf
akhlaki, antara lain Hasan al-Basri (w.110H) dengan konsep al-khauf (takut)
kepada balasan Tuhan, Robi’ah al-adawiyah (w.185H), dengan konsep al-hubb al-illahi
yakni cinta kepada Allah, Zunun al-Misri dengan konsep ma’rifah billah,
mengenal Tuhan dengan mata hati.
Namun dalam perkembangannya
Tasawuf lebih lanjut, memperlihatkan bahwa
Tasawuf bukan hanya untuk memperhalus budi pekerti
yang bersifat akhlaki, tetapi juga
merukan pandangan hidup yang disistimatisir atas dasar
pemikiran mendalam dan
mendasar yang bersifat falsafi. Corak Tasawuf falsafi ini, bukan saja untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya, tetapi juga untuk bersatu dengan Tuhan. Tasawuf falsafi ini disebut juga sebagai Tasawuf non sunni dan dapat dikategorikan sebagai mistik ketakterhinggaan (mysticism infinity), yang berlandaskan kepada kepercayaan monistis, panteistis. Hubungan antara manusia dengan Tuhan diyakini sebagai persatuan dengan Tuhan karena adanya persamaan esensi antara Tuhan dengan manusia. Tasawuf falsafi banyak dikembangkan oleh golongan non Sunni terutama Al-Hallaj (858-922M) dan Ibn Al-Arabi (561H/1165M-638H/1240M).
Dengan melihat kepada
kecenderungan penghayatan Tasawuf tersebut maka
secara garis besar rumusan tujuan Tasawuf juga dibedakan menjadi dua, yakni:
v ma’rifah billah dan Insan Kamil: Tujuan ma’rifah
billah dipegangi oleh Tasawuf akhlaki atau Tasawuf Sunni. Di sisi lain, Tasawuf
falsafi lebih menekankan pada tujuan pencapaian derajat Insan Kamil, manusia
sempurna, yang menurut Abdul Karim al-Jili (767-811H/1365-1409M) kondisi itu
dapat tercapai bagi orang yang telah berhasil merealisasi seluruh kemungkinan
yang ada, potensi keTuhanan yang ada pada dirinya. Insan kamil merupakan cermin
Tuhan (duplikat Tuhan) yang diciptakan atas nama-Nya.Usaha manusia untuk berada
sedekat-dekatnya, bahkan manunggal dengan Tuhan adalah merupakan cermin
kerinduan nurani manusia terhadap Tuhannya. Usaha semacam itu merupakan gejala
universal dan konstan, tidak terbatas oleh ruang dan waktu, terjadi di Barat
maupun di Timur, dari zaman dahulu sampai sekarang dan yang akan datang. Tasawuf
sebagai mistik Islam, menurut Abu Wafa Taftazani memiliki ciri-ciri umum yang
bersifat psikis, moral dan epistemologis. Menurut pendapatnya bahwa Tasawuf adalah
merupakan suatu bentuk peningkatan moral, artinya setiap Tasawuf memiliki nilai-nilai
moral tertentu dan merealisasikan nilai-nilai itu dengan maksud untuk membersihkan
batin.
v
Tujuan Tasawuf adalah untuk pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, yaitu kondisi psikis tertentu, di mana seorang sufi tidak merasa adanya diri atau keakuannya. Lebih jauh lagi dia telah meleburkan kehendaknya bagi kehendak Yang Mutlak. Jika kondisi fana itu bisa terwujud maka sufi akan memungkinkan memperoleh pengetahuan intuitif langsung, bagaikan sinar kilat yang muncul dan pergi secara tiba-tiba. Selanjutnya, oleh karena Tasawuf diniatkan sebagai penunjuk dan pengendali hawa nafsu, secara psikis akan muncul pengalaman rohani yang dirasakan sebagai ketenteraman dan kebahagiaan rohani. Apa yang dialami itu diungkapkan dengan penggunaan simbolsimbol dalam ungkapan-ungkapan khas. Dalam hal ini setiap sufi mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi yang dialami karena hal itu merupakan pengalaman subyektif.
Tujuan Tasawuf adalah untuk pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, yaitu kondisi psikis tertentu, di mana seorang sufi tidak merasa adanya diri atau keakuannya. Lebih jauh lagi dia telah meleburkan kehendaknya bagi kehendak Yang Mutlak. Jika kondisi fana itu bisa terwujud maka sufi akan memungkinkan memperoleh pengetahuan intuitif langsung, bagaikan sinar kilat yang muncul dan pergi secara tiba-tiba. Selanjutnya, oleh karena Tasawuf diniatkan sebagai penunjuk dan pengendali hawa nafsu, secara psikis akan muncul pengalaman rohani yang dirasakan sebagai ketenteraman dan kebahagiaan rohani. Apa yang dialami itu diungkapkan dengan penggunaan simbolsimbol dalam ungkapan-ungkapan khas. Dalam hal ini setiap sufi mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi yang dialami karena hal itu merupakan pengalaman subyektif.
Perjalanan batin atau
perjalanan nurani manusia dalam mencapai kesempurnaan
hidup yakni berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan itu
disebut mistik. Dan oleh karena
mistik ini senantiasa berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, maka mistik ada pada
setiap agama, bahkan ada pada aliran-aliran pseudo
agama (aliran mirip agama). Pada
agama-agama besar dunia terdapat mistik-mistik Hindu,
Budha, Kristen, dan Islam,
sedangkan pada aliran yang menyerupai agama, kita
mengenal mistik Kebatinan. Mistik
Islam dikenal dengan sebutan khas yakni Tasawuf’ atau
sufisme sebagaimana disebut
oleh orientalis Barat, sedangkan mistik Kebatinan
karena bersumberkan dari budaya
spriritual orang jawa, disebut sebagai mistik Kejawen.
Dimensi mistik pada setiap
agama itu bermula dari kesadaran manusia bahwa ia
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.
Keasadaran ini menimbulkan
pengalaman keagamaan pada dirinya mengenai hubungan
dengan Tuhannya itu, yang
terefleksikan dalam sikap takut, cinta, rindu, ingin
dekat kepada-Nya, dan lain
sebagainya. Pengalaman keagamaan itu kemudian
terpolakan menjadi suatu system ajaran yang mengajarkan bagaimana cara, metode
ataupun jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan yakni kembali menyatu
dengan Tuhan.
Titik temu antara Tasawuf
dengan Kebatinan yakni:
v Upaya mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga pada
alur piker yang melandasi jalan mistik yang harus ditempuh untuk mencapai
tujuan mistik tersebut.
v Titik temu akan
lebih Nampak kelihatan antara mistik Kebatinan dengan Tasawuf falsafi (non
sunni) yang keduanya berkecenderungan mendasarkan kepada faham keTuhanan yang
bercorak monism panteistik.
v
bertujuan untuk mencapai persatuan antara manusia dengan Tuhan. Lain halnya dengan mistik Kebatinan itu dihubungkan dengan Tasawuf sunni atau Tasawuf akhlaki yang mendasarkan kepada faham keTuhanan monoteistik serta bertujuan hanya sebatas ma’rifatullah.
bertujuan untuk mencapai persatuan antara manusia dengan Tuhan. Lain halnya dengan mistik Kebatinan itu dihubungkan dengan Tasawuf sunni atau Tasawuf akhlaki yang mendasarkan kepada faham keTuhanan monoteistik serta bertujuan hanya sebatas ma’rifatullah.
Maka jelas keduanya
tampak berbeda seperti yang tertulis dalam al-Quran surat ayat 22 .janganlah kamu adakan Tuhan yang lain di
samping Allah, agar kamu tidak menjadi
tercela dan
tidak ditinggalkan (Allah).
Pada jalan yang ditempuh
untuk mencapai tujuan mistik, meskipun tampak perbedaan di dalam
praktek-praktek latihan kejiwaan, mamun tahapan-tahapan yang dilalui secara
garis besar terdapat kesaamaan, masing-masing memiliki aspek purgative dan kontemplatif.
Pada tahap awal merupakan tahap pensucian jiwa (purgative).
Adapun kontemplasi atau
konsentrasi merupakan pemusatan kesadaran hanya kepada Allah yang dilakukan
dengan cara dzikir, mengucapkan lafad allah dan lain sebgainya. Pola yang sama
terdapat aliran Kebatinan, karena di dalam latihan kejiwaan, kebersihan rohani menjadi
syarat utama. Untuk itu perlu dihindari sifat-sifat ataupun sikap-sikap tercela
serta mengutamakan budi luhur, berbuat yang baik dengan cara mengekang hawa
nafsu, mengambil jarak dari dunia materi. Kontemplasi pada Kebatinan dilakukan
dengan melalui aktifitas sujud, meditasi atau cara berdzikir sebagaimana yang
dilakukan dalam Tasawuf. Sementara itu terdapat juga konsep-konsep etika yang
sama pada keduanya, seperti tawakal, zuhud, sabar, ikhlas, dan ridho.
Jadi pada Tasawuf dan mistik
Kebatinan terdapat dasar-dasar pemikiran yang
sama dalam mencapai tujuan misitk meskipun titik
tolaknya agak berbeda. Dalam
Tasawuf misalnya, terdapat dasar pemikiran bahwa roh
manusia itu ibarar cermin yang
dapat yang menjadi kotor karena perbuatan-perbuatan
yang tidak bermoral. Maka untuk
dapat menerima dan memancarkan cahaya Tuhan, cermin
itu harus dibersihkan dengan
melakukan perbuatan baik atas dasar akhlakul karimah.
Sebaliknya dalam pemikiran
Kebatinan bahwa inti manusia adalah rohani bukan
jasmani. Supaya rohani manjadi kuat dan sempurna, maka jasmani dilemahkan.
Untuk melemahkan jasmani harus menjalankan laku, di antaranya berbuat yang baik
dan meninggalkan wewaler (segala yang dilarang).
Penghindaran atau
pengambilan jarak dari dunia materi (distansi) pada tasawuf dilakukan dengan
zuhud dan uzlah, bahkan zuhud ini menurut sejarah merupakan bibit Tasawuf yang
dilakukan dengan cara makan, minum dan berpakaian secara sederhana.
Sedangkan pada
mistik Kebatinan distansi dilakukan dengan asketik, tapa brata, mengurangi
dahar lan guling (makan, minum dan tidur), puasa pati geni dan lain-lain.
Dengan demikian perwujudan distansi itu berbeda, tetapi tujuannya sama yaitu
untuk mensucikan batin, dengan cara melemahkan jasmani, karena jasmani itulah
yang menjadi saluran-saluran nafsu.
Hanya saja terdapat
kecenderungan Kebatinan memandang dunia sebagai penderitaan yang perlu
dihindari sehingga dunia ini dihadapi secara pasif dan pandanannya seakan hanya
tertuju kedalam dirinya saja untuk mencari kelepasan dari
penderitaan. Sebaliknya Tasawuf mempunyai
kecenderungan untuk menghadapi dunia secara aktif, pandangan di arahkan ke luar
dirinya, oleh karena keaktifan dalam menghadapi dunia ini sebagai perwujudan
dari pelaksanaan perintah Allah ataupun
meninggalkan segala yang dilarang-Nya, sesuai tuntutan
syari’at.
Berkenaan dengan syari’at
itu pula, satu hal yang membedakan secara umum
antara Tasawuf dengan mistik Kebatinan bahwa untuk
mencapai tujuan, Tasawuf tidak
bisa dilepaskan dari syari’at, justru syari’at
merupakan jembatan untuk tercapainya tujuan Tasawuf. Lain halnya dengan mistik
Kebatinan, meskipun pada umumnya penganut Kebatinan adalah orang-orang yang
beragama Islam, maka di dalamnya tidak terdapat keharusan untuk melaksanakan
syari’at, seprti sholat, puasa, menurut syari’at Islam. Hal itu dapat dimaklumi
mengingat apa yang mereka ikuti dalam Kebatinan merupakan suatu bentuk
penghindaran terhadap syari’at agama Islam, lantaran keawaman mereka yang berstatus
sebagai orang Islam abangan.
BAB III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Aliran kebatinan, kejawen,
kepercayaan adalah sama istilah dalam penyebutan
tergantung dari penganut masing-masing mungkin dilihat
dari sudut pandang dan masa
masing-masing, menurut sejarah Faham Kebatinan ini
dalam proses perkembangannya
senantiasa didukung oleh golongan priyayi, yaitu
golongan keluarga istana dan pejabat
pemerintahan kraton. Mereka termasuk ke dalam kategori
orang-orang Islam abangan lapisan atas, yakni orang-orang Islam yang kurang
mengetahui ajaran-ajaran Islam dan oleh karenanya tidak mengamalkan syari’at
Islam. Mereka masih mempertahankan budaya Hindu, sementara Islam yang datang
kemudian dipandang sebagai unsur tambahan. Didalam ajaran inti dari kebatinan
dibagi menjadi tiga ajaran tentang tuhan, manusia dan alam selain itu juga terdapat
ajaran etika terhadap sesama. kebatinan identik dengan tasawuf falsafi karena keduanya
berkecenderungan mendasarkan kepada faham keTuhanan yang bercorak monism panteistik
dan bertujuan untuk mencapai persatuan antara manusia dengan Tuhan. Lain halnya
dengan mistik Kebatinan itu dihubungkan dengan Tasawuf sunni atau Tasawuf akhlaki
yang mendasarkan kepada faham keTuhanan monoteistik serta bertujuan hanya sebatas
ma’rifatullah, maka jelas keduanya tampak berbeda.
Misalnya ritual dalam
tasawuf guna mendekatkan diri kepada Alloh dengan cara
dzikir, mengucapkan lafad allah dan lain sebagainya.
Tetapi dalam aliran Kebatinan
menjalankan dengan menghindari sifat-sifat ataupun
sikap-sikap tercela serta mengutamakan budi luhur, berbuat yang baik dengan
cara mengekang hawa nafsu, mengambil jarak dari dunia materi. Untuk mencapai
tujuan mistik tasawuf memilih melakukan perbuatan baik atas dasar akhlakul
karimah, tetapi kebatinan dalam melemahkan jasmani harus menjalankan laku, di
antaranya berbuat yang baik dan meninggalkan wewaler (segala yang dilarang).
Dan untuk menjaga jarak
dengan dunia penganut tasawuf menjalani hidup zuhud dan uzlah Lalukebatinan
menjalaninya dengan mengurangi dahar lan guling (makan, minum dan tidur),puasa
pati geni, asketik, tapa brata, dll dilihat dari ritual kedua aliran yang
terlihat bersebranyan sebenarnya terdapat keidentikan segi tujuannya tetapi
hanyalah bentuk ritualnya yang agak sedikit berbeda. Namun sebenarnya tujuan
utama dari kedua aliran tersebut tetap mempunyai tujuan yang sama yakni bersatu
dengan tuhan dan dapat lebih mengenal tuhan
DAFTAR PUSTAKA
Ø Nnwar, Rosihan , Solihin, Mukhtar. 2000 . Ilmu
Tasawuf. CV.Pustaka Setia: Bandung.
Ø Rahnip. 1987.
Aliran Kebatinan Dan Kepercayaan Dalam Sorotan. Pustaka Progressif:
Surabaya.
Ø Sofwan, Ridin. 1999. Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan. Aneka Ilmu :Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar