Selasa, 21 Mei 2013

USHUL FIQIH


PEDULI LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

Islam dengan syari'atnya adalah petunjuk bagi setiap insan baik individu dan sosial muslim yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits, memiliki sebuah tujuan yaitu kesejahteraan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang dan harmonis dalam dunia ini. Untuk menciptakan kesejahteraan dan keseimbangan serta keharmonisan inilah setiap muslim diwajibkan untuk menempuh pola kehidupan yang Islami, singkron dengan ketentuan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu semua muslim harus mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang benar dengan perbuatan yang disalahkan.
Al-Qur'an adalah sebagai sumber yang bersifat kekal dan abadi yang didalamnya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah) dan hubungan dengan sesama manusia (Hablun min An-nas) sehingga dengan peraturan inilah terdapat sifat abadi yang tidak akan tergoyahkan oleh gelombang ruang dan dimensi waktu.
Hukum yang diperkenalkan oleh Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari akidah yang diimani. Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, yang mengatur, memelihara, dan menjaganya sehingga semua makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik dan melekukan fungsinya masing-masing dengan tertib.
Dengan demikian hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta) [1], dengan suatu pengamatan yang cermat atas gejala alam disekitar kita, dapat disaksikan betapa teraturnya alam raya itu. Dalam hal ini, diatur oleh petunjuk-petunjuk Al-Qur'an yang mengarahkan manusia untuk berfikir, menalar, mengamati, dan meneliti sebagaimana di singgung diatas yang sifatnya global dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk lain yang beraifat detil, dimana terbayang isyarat-isyarat yang mengacu kepada pokok-pokok ilmu pengetahuan tentang alam dan hukum-hukum yang berlaku atasnya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ushul Fiqih
Ilmu ushul amat besar pengaruhnya dalam membentuk pikiran. Dalam usaha menghasulkan hokum-hukum 'amaly, para fuqaha berusaha mengungkapkan jalan-jalan yang telah ditempuh oleh para Mujtahidin dalam membentuk madzhabnya masing-masing. Karenanya dapatlah kita mengatakan, bahwa Ushul Fiqih adalah ilmu yang mengungkapakan metode yang telah ditempuh para Mujtahidin, sebagaimana kita dapat mengatakan bahwa ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang menjelaskan sumber-sumber atau ilmu yang menerangkan dasar-dasar Ilmu Fiqih.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa Ushul Fiqih adalah :
1.      Sebagai washaf (sifat dari suatu ilmu).
Ialah mengetahui kaidah-kaidah yang menggariskan cara-cara yang ditempuh untuk mengistinbatkan hokum-hukum 'amaliyah dari dalil-dalilnya yang tafsiliy.
2.      Dari segi nama.
Ialah kumpulan kaidah-kaidah yang menerangkan bagi ahli fiqih cara-cara mengeluarkan hokum-hukum dari dalil-dalil syar'I, baik cara-cara itu merupakan jalan-jalan lafdziyah seperti mengetahui petunjuk-petunjuk lafadz yang dipergunakan syara' kepada makna-maknanya dan mengistinbatkan makna-makna itu dan jalan mentaufikkan (mengompromikan) antara makna-makna itu ketika terjadi pertengkaran antara dhahir-dhahir lafadz atau perbedaan sejarahnya, ataupun jalan-jalan itu merupakan jalan maknawiyah, seperti mengeluarkan 'illat-'illat dari nash dan mengumumkan 'illat serta menerangkan jalan-jalan mengeluarkan 'illat dan jalan-jalan yang paling selamat untuk mngetahui 'illat-'illat itu.[2]  

Perbedaan antara ushul fiqih dengan qawa'id fiqih yang dapat dinamakan dengan nadhariyaht 'ammah (teori-teori umum) bagi fiqih, dapat diperhatikan dari kedudukan masing-masing :
  1. Ilmu Ushul, adalah aturan-aturan yang selalu harus dipergunakan para Faqih agar dia terpelihara dari salah dalam beristinbath.
  2. Qawa'id Fiqhiyah, ialah kaidah-kaidah atau teori-teori yang mengikat masalah-masalah yang sama dalam satu ikatan.

Kaidah-kaidah ini adalah sebagai hasil dari mengumpulkan masalah-masalah yang serupa, atau sebagai hasil dari mengumpulkan hokum-hukum yang bersifat juz'iyah. Pengikat dari hokum-hukum itu, itulah yang dinamakan kaidah atau teori, seperti kaidah-kaidah milkiyah, kaidah-kaidah dlaman, kaidah-kaidah khiyar dan kaidah-kaidah fasakh.[3] 

B.     Posisi Ijtihat Dalam Menciptakan Maslahah Umat
Satu agama mengajarkan hidup ini adalah derita, karena itu, manusia adalah makhluk yang menderita. Agama lain mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk berdosa, memikul dosa yang diwariskan kepadanya ; karena itu hidupnya harus diisi dengan penebusan dosa. Dan masih banyak lagi keepercayaan lain yang mencoba merumuskan apa sesungguhnya manusia itu. Didalam pertanyaan tersebut. Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk bumi (QS. Thaha: 55), makhluk terhormat (QS. Al-Isro': 70), dan pengemban amanat (QS. Al-Ahzab: 72), sebagai makhluk fungsional (QS. Al-Mulk: 2). Manusia dalam hidupnya terkait dengan berbagai hak, kewajiban serta tanggung jawab, kesemuannya itu merupakan suatu amanat yang diembannya, dalam istilah fiqih, lazim disebut dengan "Taklif".
Ajaran Islam mempersiapkan, mengarahkan, dan membimbing manusia untuk menjadi makhluk yang bertanggung jawab (mukallaf). Untuk itu, ia diberi fasilitas untuk hidup terhormat, yang dibutuhkannya dalam mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya. Diantara prasarana penting tersebut, yang menonjol adalah nafsu, yang merupakan sumber daya penggerak kehidupan manusia, dan akal, yang merupakan sumber daya pengendali, serta agama, yang merupakan sumber daya pembimbing dan penunjuk jalan dalam mengarungi lautan kehidupan.



C.    Garis-Garis Besar Hukum Islam
Hukum Islam, yang merupakan pengejawantahan taklif, adalah manifestasi dan penjabaran nyata rahmat kasih sayang Allah yang meliputi segala sesuatu (QS. Al-A'raf: 7), yang menandai risalah Nabi Muhammad Saw. (QS. Al-Anbiya': 107).
Pada garis besarnya, Hukum Islam dapat dibagi tiga bidang: pertama, meliputi petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pengenalan (ma'rifat) yang benar tentang Allah SWT. dan alam gaib (alam yang tidak terjangkau oleh penginderaan manusia), yang disebut "ahkam syar'iyyat I'tiqodiyat", yang menjadi bidang bahasan ilmu tauhid/ilmu kalam; kedua, meliputi petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk pengembangan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia, supaya ia menjadi makhluk terhormat yang real, yang disebut 'ahkam syar'iyyat khuluqiyat", yang menjadi bidang garapan ilmu tasawuf akhlak; ketiga, meliputi berbagai ketentuan dan seperangkat peraturan hukum untuk menata hal-hal praktis dalam cara melakukan ibadah kepada Allah, melakukan hubungan (pergaulan) sehari-hari sesama manusia dalam rangka memenuhi hajat hidup, melakukan hubungan dalam lingkungan keluarga, dan melakukan penertiban umum untuk menjamin tegaknya keadilan dan terwujudnya ketentraman dalam pergaulan masyarakat, yang disebut "ahkam syar'iyyat 'amaliyat", yang menjadi bidang bahasan ilmu fiqih. Karena bidang ini menyangkut perbuatan-perbuatan nyata dan praktis sehari-hari, maka bidang inilah yang mendominasi nama "Hukum Islam".

D.    Fiqih Dalam Perspektif Pembaruan Hukum
Agama Islam dengan seperangkat kelengkapannya – seperti kitab sucinya (mushaf Al-Qur'an), tradisi Rasul yang tercatat rapi  dan cermat dalam khazanah kitab-kitab hadits, sejarahnya selama lima belas abad juga tercatat oleh kawan dan lawannya, syiar-syiar agama yang dapat disaksikan secara terbuka, bangunan-bangunan peribadatannya yang bertebaran diseluruh pelosok dunia, dan umat penganut ajarannya yang beratus juta jumlahnya diseluruh persada bumi yang luas ini. Semuanya itu mudah dikenal dan tidak ada kendala apapun bagi siapa saja yang ingin manemuinya. Semua itulah yang membentuk suatu kehidupan dengan cirri-cirinya yang khas disebut dengan Dunia Islam.
Dalam hal ini, bahwa peran ajaran Islam cukup nampak dalam proses yang positif, terutama dalam pembangunan peradaban dan pengembangan kebudayaan manusia. Islam telah memberikan pedoman yang jelas bagaimana harusnya manusia menyelenggarakan hidupnya di akhir zaman, Jadi jelaslah bahwa ini adalah rahmat-Nya, dan menurut kehendaknya semata-mata. Karena kehidupan ini tiada lain adalah rahmat-Nya jua semata-mata.
            Dalam kenyataan hidup sehari-hari, tidak sedikit manusia yang memilih berlalu lintas di jalan bebas hambatan yang lapang dan luas ini. Agama Islam mengajak manusia mengenali dan mempergunakan jalan-jalan keselamatan ini, demi akselerasi pencapaian misi (risalah) kehidupan sebagai khalifah dan mandataris yang berfungsi mengelola alam raya ini. Mandat khilafah ini merupakan amanat, yang padanya melekat banyak hak dan kewajiban serta tanggung jawab. Inilah hakikat taklif yang merupakan landasan bagi hukum Islam yang kukuh kuat, yang memberikan perlindunan keselamatan dan mendorong tumbuhnya kesejahteraan yang utuh bagi kemanusiaan.

E.     Norma Fiqih dan Maslahah Ummat dalam Lingkungan Hidup
Bertitik tolak dari tujuan syariat (agama) yang dibawa oleh Rasulullah SAW., yaitu penataan hal-ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowinya, maka dengan pengamatan sepintas pada batang tubuh ajaran fiqih, dapat dilihat adanya empat garis besar dari penataan itu, yakni:
a.  Rub'ul 'Ibadat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia selaku makhluk   dengan khaliqnya (Allah SWT);
b. Rub'ul Muamalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari;
c.  Rub'ul Munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dal;am lingkungan keluarga; dan
d.                         Rub'ul Jinayat, yaitu bagian yang menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam kehidupan.

Keempat garis besar tersebut merupakan wajah dari Islam yang sesungguhnya, yang dalam kebulat-utuhannya menata bidang-bidang pokok dari kehidupan yang bersih, sehat, sejahtera, aman, damai, dan bahagia lahir bathin dunia dan akhirat, yang lazim disebut sebagai "sa'adatuddarain".
Masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup; sebab ia merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh pengejaran pertumbuhan ekonomi yang optimal dan konsumsi yang maksimal. Masalah lingkungan hidup juga berkaitan dengan pandangan dan sikap hidup manusia untuk melihat dirinya sendiri maupun pada titik tertentu, inilah norma-norma hukum fiqih yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Al-Qur'an dan As-sunnah, yakni dapat memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan lingkngan hidup ini. Seperti :
a.   Kehidupan Dan Alam
Kehidupan adalah sesuatu yang mulia dan sangat berharga. Tiap makhlk hidup dilengkapi dengan naluri "mempertahankan hidup" dan kecenderungan "hidup kekal". Manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai naluri dan kecenderungan, juga kesabaran (idrak) untuk mempertahankan hidup. Kesabaran tersebut timbul dan berkembang daya pilih (ihtiar) dan daya upaya (kasb) manusia. Dari hal-hal inilah berpangkal perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Keadaan manusia ini adalah kehendak dan ketetapan Maha Pencipta (Al-Khaliq) yang telah menganugerahkan hidup kita.
Perlindungan hukum untuk menjamin jiwa raga manusia telah diberikan secara dini sejak dari saat manusia berada dalam keadaan siap memulai proses kehidupan dalam rahim ibu. Kehidupan yang begitu berharga, merupakan modal dasar bagi manusia dalam mematuhi fungsinya dan menentukan nilai atau martabatnya. Oleh karena itu ajaran islam memberikan banyak peringatan kepada manusia supaya menggunakan modal dasar itu secermat sebab ia sangat terbatas, baik waktunya maupun ruangnya.
Pada dasarnya kehidupan ini menyenangkan bagi manusia karena bumi dan alam sekitarnya sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk mendukung kehidupan manusia itu[4]. Ciri kesenangan inilah kemudian mendominasi banyak orang sehingga menjadikan kesenangan itu sebagai identifikasi dari kehidupan itu sendiri. Pandangan yang demikian itu tercermin dan direkam dalam Al-Qur'an.

b. Manusia dan Martabatnya
Dalam ajaran fiqih, ada ketentuan dasar bahwa semua makhluk mempunyai status hukum "muhtaram", yakni dihormti eksistensinya (keperiadaannya) dan terlarang membunuhnya jika ia makhluk hidup. Ketentuan dasar ini dijabarkan dalam suatu masalah bahwa barang siapa melihat seekor binatang yang mempunyai status hukum muhtaram sedang teramcam pembunuhan dari seseorang yang berbuat sewenang-wenang (tidak dibenarkan dalam hukum) atau binatang tersebut nyaris tenggelam, maka menjadi kelaziman bagi yang melihatnya itu untuk bertindak membebaskannya. Dan apabila sedang beribadah, maka ia wajib untuk meninggalkannya[5].
Martabat manusia yang demikian itu menjadikan statusnya berbeda sifatnya dengan status makhluk-makhluk lain yang disebut "muhtaram", tetapi bagi manusia sebutannya (dalam istilah ilmu fiqih) ialah 'ma'shum", yang mengandung arti lebih khusus, karena bukan saja hak keperiadaannya yang harus dilindungi, tetapi kelima kemaslahatan dasarnya berada dalam suatu 'ishmah (perlindungan hukum).
Selain itu, manusia juga terkait dengan kemaslahatan dasar, diantaranya ialah :
-            Hak hidup (terlarang membunuhnya, mengenainya dan atau menodai kehormatannya).
-            Hak memiliki (terlarang merampas harta miliknya, atau mencurinya dan seterusnya).
-            Hak berketurunan (terlarang menodai nasab-keturunannya).
-            Hak berfikir sehat (terlarang memabukkan diri).
-            Hak menganut keyakinan yang ia imani (terlarang menggagahi- meninggalkan agama yang dipeluknya).

Dengan perlengkapan yang ada pada diri manusia itu, sebagaimana digambarkan diatas, maka ia memperoleh kemampuan (istitha'ah) untuk melakukan perubahan-perubahan (taghyir) baik atas dirinya sendiri maupun atas lingkungannya.
Perubahan-perubahan yang dilakukannya itu, dikenal dengan rumus al-akhdzu bil-asbab[6], seperti misalnya berobat untuk menolak penyakit, belajar untuk menjadi tahu, dan sebagainya, yang semuanya itu menjadi pangkal dari penbaharuan dan kemajuan dalam peradaban manusia.
Sasaran dari taklif yang diuraikan diatas berkisar pada tiga pokok persoalan, yakni:
-            Pengenalan yang benar yang membuahkan pengabdian yang tulus kepada Yang Maha pencipta (Al-Khaliq)
-            Pemeliharaan dan pengembangan diri dalam perilaku-perangai yang benar, adil, penuh kasih sayang dan kecermatan bekerja.
-            Pemeliharaan hubungan yang baik, damai dan rukun dengan lingkungan hidup.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai martabat dengan disertai jaminan-jaminan perlindungan hukum yang berimbang sesuai taklif (penugasannya)-nya; yang kesemuannya itu ditujukan untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya dan nilai hidupnya. Dengan demikian, hal-hal tersebut menjadikan ia menempati kedudukan yang fungsional yang memberi kepadanya ciri yang membedakannya dari makhluk lainnya.
Secara sederhana, fungsi manusia itu dapat di golongkan menjadi tiga, yaitu:
  1. Manusia sebagai Perusak
Contoh yang nyata tentang hal ini ialah dalam peperangan dimana manusia saling membunuh dan memusnahkan sesama serta merusak lingkungan hidunya.
  1. Manusia sebagai Pencipta dan Pembangun
Al-Qur'an menjelaskan bahwa manuisia diciptakan dari bumi ini dan dijadikan penghuni yang mengharapnya untuk memakmurkannya (QS 11: 60). Tempat untuk hidupnya manusia ini ialah bumi yang terhampar luas, didalamnya disediakan bagi manusia segala fasilitas dan bahan-bahan yang dibutuhkannya dalam hidupnya itu.
  1. Manusia sebagai Pemelihara
Pemeliharaan dan perawatan adalah hal yang sangat penting dalam pengembangan dan pelestarian sgala hasil, cipta dan pekerjaan manusia terhadap segala sumber daya yang memungkinkan ia menciptakan dan bekerja. Manusia juga senantiasa ingin hidup dalam keadaan tenteram dan menjaga terpeliharanya tata tertib kehidupan dalam lingkungan rumah tangganya serta di pergaulan ramai di masyarakat. Dan pemelihara itu haruslah memikul tanggung jawab (mas-ul)[7]
Ketiga fungsi yang diuraikan diatas jelas kaitannya dengan masalah lingkungan hidup dan pengembangannya.

BAB III
KESIMPULAN
Dalam uraian makalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam beberapa pokok persoalan tentang rekonstruksi hokum islam dalam menciptakan maslahah ummat dapat dicapai salah satunya melalui lingkungan hidup, yang mana manusia berfungsi sebagai pemelihara, pengatur (pemenej), dan pengerak dari segala yang diciptakan oleh Sang Khaliq, walaupun akan tetapi realita adalah sebaliknya.
Maka dari itu, manusia haruslah ditunjang Dan di arahkan oleh norma-norma fiqih dan garis-garis besar hukum Islam, yakni meliputi tiga bidang, sebagaimana uraian diatas, agar manusia menjadi baik dan sebagai pemimipin yang baik pula di dunia ini, serta menjadi insan yang kamil, sehingga mampu dan dapat mengatur serta mengendalikan hidupnya di dunia ini dengan sempurna menurut ajaran atau konsep dari Al-Qur'an dan Al-Hadits.
REFERENCE
1.        Al-Qur'an Al-Karim
2.        K.H. Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, MIZAN, Bandung, 1994
3.        Dr. M. Quraish Shihab, M.A, Membumikan Al-Qur'an, MIZAN, Bandung, 1998
4.        Al-Khamsah, Al-jami' Al-Shahih dan Al-Sunan, Bairut, t.t.
5.        Teungku Muhammd Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997
6.        Muhammad Ali bin Husain A-Maliki, 'Inaratud Duja, Bairut, t.t.,


[1] QS 3: 83 dan QS 13: 15.
[2]Teungku Muhammd Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hal., 1-2
[3]  Ibid, hal., 5
[4]  QS 22: 65; 45: 13; 13: 32-33.
[5] Abu bakr bin Muhammad Al-Dimyathi, Op cit., II/15.
[6] Muhammad Ali bin Husain A-Maliki, 'Inaratud Duja, Bairut, t.t., Hal. 15.
[7] Al-Khamsah, Al-jami' Al-Shahih dan Al-Sunan, Bairut, t.t. hal., 212

Tidak ada komentar: