PEDULI LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Islam dengan
syari'atnya adalah petunjuk bagi setiap insan baik individu dan sosial muslim
yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits, memiliki sebuah tujuan yaitu
kesejahteraan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang dan harmonis dalam dunia
ini. Untuk menciptakan kesejahteraan dan keseimbangan serta keharmonisan inilah
setiap muslim diwajibkan untuk menempuh pola kehidupan yang Islami, singkron
dengan ketentuan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu semua muslim harus
mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya sehingga
mampu memisahkan antara perilaku yang benar dengan perbuatan yang disalahkan.
Al-Qur'an
adalah sebagai sumber yang bersifat kekal dan abadi yang didalamnya mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah) dan hubungan dengan
sesama manusia (Hablun min An-nas) sehingga dengan peraturan inilah terdapat
sifat abadi yang tidak akan tergoyahkan oleh gelombang ruang dan dimensi waktu.
Hukum yang diperkenalkan oleh Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang
berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari akidah yang diimani.
Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, yang mengatur, memelihara,
dan menjaganya sehingga semua makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing
dengan baik dan melekukan fungsinya masing-masing dengan tertib.
Dengan demikian hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta) [1],
dengan suatu pengamatan yang cermat atas gejala alam disekitar kita, dapat
disaksikan betapa teraturnya alam raya itu. Dalam hal ini, diatur oleh
petunjuk-petunjuk Al-Qur'an yang mengarahkan manusia untuk berfikir, menalar,
mengamati, dan meneliti sebagaimana di singgung diatas yang sifatnya global
dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk lain yang beraifat detil, dimana terbayang
isyarat-isyarat yang mengacu kepada pokok-pokok ilmu pengetahuan tentang alam
dan hukum-hukum yang berlaku atasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ushul Fiqih
Ilmu ushul
amat besar pengaruhnya dalam membentuk pikiran. Dalam usaha menghasulkan
hokum-hukum 'amaly, para fuqaha berusaha mengungkapkan jalan-jalan yang
telah ditempuh oleh para Mujtahidin dalam membentuk madzhabnya masing-masing.
Karenanya dapatlah kita mengatakan, bahwa Ushul Fiqih adalah ilmu yang
mengungkapakan metode yang telah ditempuh para Mujtahidin, sebagaimana kita
dapat mengatakan bahwa ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang menjelaskan
sumber-sumber atau ilmu yang menerangkan dasar-dasar Ilmu Fiqih.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa Ushul Fiqih adalah :
1.
Sebagai washaf
(sifat dari suatu ilmu).
Ialah mengetahui kaidah-kaidah yang menggariskan cara-cara yang
ditempuh untuk mengistinbatkan hokum-hukum 'amaliyah dari dalil-dalilnya yang
tafsiliy.
2.
Dari segi nama.
Ialah kumpulan kaidah-kaidah yang menerangkan bagi ahli fiqih
cara-cara mengeluarkan hokum-hukum dari dalil-dalil syar'I, baik cara-cara itu
merupakan jalan-jalan lafdziyah seperti mengetahui petunjuk-petunjuk lafadz
yang dipergunakan syara' kepada makna-maknanya dan mengistinbatkan makna-makna
itu dan jalan mentaufikkan (mengompromikan) antara makna-makna itu ketika
terjadi pertengkaran antara dhahir-dhahir lafadz atau perbedaan sejarahnya,
ataupun jalan-jalan itu merupakan jalan maknawiyah, seperti mengeluarkan
'illat-'illat dari nash dan mengumumkan 'illat serta menerangkan jalan-jalan mengeluarkan
'illat dan jalan-jalan yang paling selamat untuk mngetahui 'illat-'illat itu.[2]
Perbedaan antara ushul fiqih dengan qawa'id fiqih yang
dapat dinamakan dengan nadhariyaht 'ammah (teori-teori umum) bagi fiqih,
dapat diperhatikan dari kedudukan masing-masing :
- Ilmu Ushul, adalah aturan-aturan yang selalu harus dipergunakan para Faqih agar dia terpelihara dari salah dalam beristinbath.
- Qawa'id Fiqhiyah, ialah kaidah-kaidah atau teori-teori yang mengikat masalah-masalah yang sama dalam satu ikatan.
Kaidah-kaidah ini adalah sebagai hasil dari mengumpulkan
masalah-masalah yang serupa, atau sebagai hasil dari mengumpulkan hokum-hukum
yang bersifat juz'iyah. Pengikat dari hokum-hukum itu, itulah yang
dinamakan kaidah atau teori, seperti kaidah-kaidah milkiyah,
kaidah-kaidah dlaman, kaidah-kaidah khiyar dan kaidah-kaidah fasakh.[3]
B.
Posisi
Ijtihat Dalam Menciptakan Maslahah Umat
Satu agama mengajarkan hidup ini adalah derita, karena itu, manusia
adalah makhluk yang menderita. Agama lain mengajarkan bahwa manusia adalah
makhluk berdosa, memikul dosa yang diwariskan kepadanya ; karena itu hidupnya
harus diisi dengan penebusan dosa. Dan masih banyak lagi keepercayaan lain yang
mencoba merumuskan apa sesungguhnya manusia itu. Didalam pertanyaan tersebut. Al-Qur'an
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk bumi (QS. Thaha: 55), makhluk
terhormat (QS. Al-Isro': 70), dan pengemban amanat (QS. Al-Ahzab: 72), sebagai
makhluk fungsional (QS. Al-Mulk: 2). Manusia dalam hidupnya terkait dengan
berbagai hak, kewajiban serta tanggung jawab, kesemuannya itu merupakan suatu
amanat yang diembannya, dalam istilah fiqih, lazim disebut dengan
"Taklif".
Ajaran Islam mempersiapkan, mengarahkan, dan membimbing manusia
untuk menjadi makhluk yang bertanggung jawab (mukallaf). Untuk itu, ia diberi
fasilitas untuk hidup terhormat, yang dibutuhkannya dalam mengemban amanat yang
dipercayakan kepadanya. Diantara prasarana penting tersebut, yang menonjol
adalah nafsu, yang merupakan sumber daya penggerak kehidupan manusia, dan akal,
yang merupakan sumber daya pengendali, serta agama, yang merupakan sumber daya
pembimbing dan penunjuk jalan dalam mengarungi lautan kehidupan.
C.
Garis-Garis
Besar Hukum Islam
Hukum Islam, yang merupakan pengejawantahan taklif, adalah
manifestasi dan penjabaran nyata rahmat kasih sayang Allah yang meliputi segala
sesuatu (QS. Al-A'raf: 7), yang menandai risalah Nabi Muhammad Saw. (QS.
Al-Anbiya': 107).
Pada garis besarnya, Hukum Islam dapat dibagi tiga bidang: pertama,
meliputi petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pengenalan (ma'rifat) yang
benar tentang Allah SWT. dan alam gaib (alam yang tidak terjangkau oleh
penginderaan manusia), yang disebut "ahkam syar'iyyat I'tiqodiyat",
yang menjadi bidang bahasan ilmu tauhid/ilmu kalam; kedua, meliputi
petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk pengembangan potensi kebaikan yang ada
dalam diri manusia, supaya ia menjadi makhluk terhormat yang real, yang disebut
'ahkam syar'iyyat khuluqiyat", yang menjadi bidang garapan ilmu tasawuf
akhlak; ketiga, meliputi berbagai ketentuan dan seperangkat peraturan
hukum untuk menata hal-hal praktis dalam cara melakukan ibadah kepada Allah,
melakukan hubungan (pergaulan) sehari-hari sesama manusia dalam rangka memenuhi
hajat hidup, melakukan hubungan dalam lingkungan keluarga, dan melakukan
penertiban umum untuk menjamin tegaknya keadilan dan terwujudnya ketentraman
dalam pergaulan masyarakat, yang disebut "ahkam syar'iyyat
'amaliyat", yang menjadi bidang bahasan ilmu fiqih. Karena bidang ini
menyangkut perbuatan-perbuatan nyata dan praktis sehari-hari, maka bidang
inilah yang mendominasi nama "Hukum Islam".
D.
Fiqih
Dalam Perspektif Pembaruan Hukum
Agama Islam dengan seperangkat kelengkapannya – seperti kitab
sucinya (mushaf Al-Qur'an), tradisi Rasul yang tercatat rapi dan cermat dalam khazanah kitab-kitab hadits,
sejarahnya selama lima belas abad juga tercatat oleh kawan dan lawannya,
syiar-syiar agama yang dapat disaksikan secara terbuka, bangunan-bangunan
peribadatannya yang bertebaran diseluruh pelosok dunia, dan umat penganut ajarannya
yang beratus juta jumlahnya diseluruh persada bumi yang luas ini. Semuanya itu
mudah dikenal dan tidak ada kendala apapun bagi siapa saja yang ingin
manemuinya. Semua itulah yang membentuk suatu kehidupan dengan cirri-cirinya
yang khas disebut dengan Dunia Islam.
Dalam hal ini, bahwa peran ajaran Islam cukup nampak dalam proses
yang positif, terutama dalam pembangunan peradaban dan pengembangan kebudayaan
manusia. Islam telah memberikan pedoman yang jelas bagaimana harusnya manusia
menyelenggarakan hidupnya di akhir zaman, Jadi jelaslah bahwa ini adalah
rahmat-Nya, dan menurut kehendaknya semata-mata. Karena kehidupan ini tiada
lain adalah rahmat-Nya jua semata-mata.
Dalam kenyataan
hidup sehari-hari, tidak sedikit manusia yang memilih berlalu lintas di jalan
bebas hambatan yang lapang dan luas ini. Agama Islam mengajak manusia mengenali
dan mempergunakan jalan-jalan keselamatan ini, demi akselerasi pencapaian misi
(risalah) kehidupan sebagai khalifah dan mandataris yang berfungsi mengelola
alam raya ini. Mandat khilafah ini merupakan amanat, yang padanya melekat
banyak hak dan kewajiban serta tanggung jawab. Inilah hakikat taklif yang
merupakan landasan bagi hukum Islam yang kukuh kuat, yang memberikan
perlindunan keselamatan dan mendorong tumbuhnya kesejahteraan yang utuh bagi
kemanusiaan.
E.
Norma
Fiqih dan Maslahah Ummat dalam Lingkungan Hidup
Bertitik tolak dari tujuan syariat (agama) yang dibawa oleh
Rasulullah SAW., yaitu penataan hal-ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan
ukhrowinya, maka dengan pengamatan sepintas pada batang tubuh ajaran fiqih,
dapat dilihat adanya empat garis besar dari penataan itu, yakni:
a.
Rub'ul 'Ibadat, yaitu bagian yang menata
hubungan manusia selaku makhluk dengan
khaliqnya (Allah SWT);
b. Rub'ul Muamalat, yaitu bagian yang menata
hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi
hajat hidupnya sehari-hari;
c. Rub'ul
Munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dal;am lingkungan
keluarga; dan
d.
Rub'ul Jinayat, yaitu bagian yang menata pengamanannya
dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam
kehidupan.
Keempat garis besar tersebut merupakan wajah dari Islam yang
sesungguhnya, yang dalam kebulat-utuhannya menata bidang-bidang pokok dari
kehidupan yang bersih, sehat, sejahtera, aman, damai, dan bahagia lahir bathin
dunia dan akhirat, yang lazim disebut sebagai "sa'adatuddarain".
Masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan
hidup; sebab ia merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh
pengurasan energi dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh pengejaran
pertumbuhan ekonomi yang optimal dan konsumsi yang maksimal. Masalah lingkungan
hidup juga berkaitan dengan pandangan dan sikap hidup manusia untuk melihat
dirinya sendiri maupun pada titik tertentu, inilah norma-norma hukum fiqih yang
merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Al-Qur'an dan As-sunnah, yakni
dapat memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan lingkngan hidup ini.
Seperti :
a. Kehidupan Dan Alam
Kehidupan adalah sesuatu yang mulia dan
sangat berharga. Tiap makhlk hidup dilengkapi dengan naluri "mempertahankan
hidup" dan kecenderungan "hidup kekal". Manusia
sebagai makhluk hidup yang mempunyai naluri dan kecenderungan, juga kesabaran (idrak)
untuk mempertahankan hidup. Kesabaran tersebut timbul dan berkembang daya pilih
(ihtiar) dan daya upaya (kasb) manusia. Dari hal-hal inilah
berpangkal perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Keadaan manusia ini
adalah kehendak dan ketetapan Maha Pencipta (Al-Khaliq) yang telah
menganugerahkan hidup kita.
Perlindungan hukum untuk
menjamin jiwa raga manusia telah diberikan secara dini sejak dari saat manusia
berada dalam keadaan siap memulai proses kehidupan dalam rahim ibu. Kehidupan
yang begitu berharga, merupakan modal dasar bagi manusia dalam mematuhi
fungsinya dan menentukan nilai atau martabatnya. Oleh karena itu ajaran islam
memberikan banyak peringatan kepada manusia supaya menggunakan modal dasar itu
secermat sebab ia sangat terbatas, baik waktunya maupun ruangnya.
Pada dasarnya kehidupan ini menyenangkan
bagi manusia karena bumi dan alam sekitarnya sudah dipersiapkan sedemikian rupa
oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk mendukung kehidupan manusia itu[4].
Ciri kesenangan inilah kemudian mendominasi banyak orang sehingga menjadikan
kesenangan itu sebagai identifikasi dari kehidupan itu sendiri. Pandangan yang
demikian itu tercermin dan direkam dalam Al-Qur'an.
b. Manusia
dan Martabatnya
Dalam ajaran fiqih, ada ketentuan dasar
bahwa semua makhluk mempunyai status hukum "muhtaram", yakni
dihormti eksistensinya (keperiadaannya) dan terlarang membunuhnya jika ia
makhluk hidup. Ketentuan dasar ini dijabarkan dalam suatu masalah bahwa barang
siapa melihat seekor binatang yang mempunyai status hukum muhtaram sedang
teramcam pembunuhan dari seseorang yang berbuat sewenang-wenang (tidak
dibenarkan dalam hukum) atau binatang tersebut nyaris tenggelam, maka menjadi
kelaziman bagi yang melihatnya itu untuk bertindak membebaskannya. Dan apabila
sedang beribadah, maka ia wajib untuk meninggalkannya[5].
Martabat manusia yang demikian itu
menjadikan statusnya berbeda sifatnya dengan status makhluk-makhluk lain yang
disebut "muhtaram", tetapi bagi manusia sebutannya (dalam
istilah ilmu fiqih) ialah 'ma'shum", yang mengandung arti lebih
khusus, karena bukan saja hak keperiadaannya yang harus dilindungi, tetapi
kelima kemaslahatan dasarnya berada dalam suatu 'ishmah (perlindungan
hukum).
Selain itu, manusia juga terkait dengan
kemaslahatan dasar, diantaranya ialah :
-
Hak hidup
(terlarang membunuhnya, mengenainya dan atau menodai kehormatannya).
-
Hak
memiliki (terlarang merampas harta miliknya, atau mencurinya dan seterusnya).
-
Hak
berketurunan (terlarang menodai nasab-keturunannya).
-
Hak
berfikir sehat (terlarang memabukkan diri).
-
Hak
menganut keyakinan yang ia imani (terlarang menggagahi- meninggalkan agama yang
dipeluknya).
Dengan perlengkapan yang ada pada diri
manusia itu, sebagaimana digambarkan diatas, maka ia memperoleh kemampuan
(istitha'ah) untuk melakukan perubahan-perubahan (taghyir) baik atas dirinya
sendiri maupun atas lingkungannya.
Perubahan-perubahan yang dilakukannya itu,
dikenal dengan rumus al-akhdzu bil-asbab[6],
seperti misalnya berobat untuk menolak penyakit, belajar untuk menjadi tahu,
dan sebagainya, yang semuanya itu menjadi pangkal dari penbaharuan dan kemajuan
dalam peradaban manusia.
Sasaran dari taklif yang diuraikan diatas
berkisar pada tiga pokok persoalan, yakni:
-
Pengenalan
yang benar yang membuahkan pengabdian yang tulus kepada Yang Maha pencipta
(Al-Khaliq)
-
Pemeliharaan
dan pengembangan diri dalam perilaku-perangai yang benar, adil, penuh kasih
sayang dan kecermatan bekerja.
-
Pemeliharaan
hubungan yang baik, damai dan rukun dengan lingkungan hidup.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai
martabat dengan disertai jaminan-jaminan perlindungan hukum yang berimbang
sesuai taklif (penugasannya)-nya; yang kesemuannya itu ditujukan untuk
meningkatkan dan menyempurnakan dirinya dan nilai hidupnya. Dengan demikian,
hal-hal tersebut menjadikan ia menempati kedudukan yang fungsional yang memberi
kepadanya ciri yang membedakannya dari makhluk lainnya.
Secara sederhana, fungsi manusia itu dapat di golongkan menjadi
tiga, yaitu:
- Manusia sebagai Perusak
Contoh yang nyata tentang hal ini ialah
dalam peperangan dimana manusia saling membunuh dan memusnahkan sesama serta
merusak lingkungan hidunya.
- Manusia sebagai Pencipta dan Pembangun
Al-Qur'an menjelaskan bahwa manuisia
diciptakan dari bumi ini dan dijadikan penghuni yang mengharapnya untuk
memakmurkannya (QS 11: 60). Tempat untuk hidupnya manusia ini ialah bumi yang
terhampar luas, didalamnya disediakan bagi manusia segala fasilitas dan
bahan-bahan yang dibutuhkannya dalam hidupnya itu.
- Manusia sebagai Pemelihara
Pemeliharaan dan perawatan adalah hal yang
sangat penting dalam pengembangan dan pelestarian sgala hasil, cipta dan
pekerjaan manusia terhadap segala sumber daya yang memungkinkan ia menciptakan
dan bekerja. Manusia juga senantiasa ingin hidup dalam keadaan tenteram dan
menjaga terpeliharanya tata tertib kehidupan dalam lingkungan rumah tangganya
serta di pergaulan ramai di masyarakat. Dan pemelihara itu haruslah memikul
tanggung jawab (mas-ul)[7]
Ketiga fungsi yang diuraikan diatas jelas
kaitannya dengan masalah lingkungan hidup dan pengembangannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam uraian makalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
beberapa pokok persoalan tentang rekonstruksi hokum islam dalam menciptakan
maslahah ummat dapat dicapai salah satunya melalui lingkungan hidup, yang mana
manusia berfungsi sebagai pemelihara, pengatur (pemenej), dan pengerak dari
segala yang diciptakan oleh Sang Khaliq, walaupun akan tetapi realita adalah
sebaliknya.
Maka dari itu, manusia haruslah ditunjang Dan di arahkan oleh
norma-norma fiqih dan garis-garis besar hukum Islam, yakni meliputi tiga
bidang, sebagaimana uraian diatas, agar manusia menjadi baik dan sebagai
pemimipin yang baik pula di dunia ini, serta menjadi insan yang kamil, sehingga
mampu dan dapat mengatur serta mengendalikan hidupnya di dunia ini dengan
sempurna menurut ajaran atau konsep dari Al-Qur'an dan Al-Hadits.
REFERENCE
1.
Al-Qur'an
Al-Karim
2.
K.H. Ali
Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, MIZAN, Bandung , 1994
3.
Dr. M.
Quraish Shihab, M.A, Membumikan Al-Qur'an, MIZAN, Bandung , 1998
4.
Al-Khamsah,
Al-jami' Al-Shahih dan Al-Sunan, Bairut, t.t.
5.
Teungku
Muhammd Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, PT
Pustaka Rizki Putra, Semarang ,
1997
6.
Muhammad
Ali bin Husain A-Maliki, 'Inaratud Duja, Bairut, t.t.,
[2]Teungku Muhammd Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam
Madzhab, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang ,
1997, hal., 1-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar