INSAN PENDIDIKAN HAKIM DALAM ALQURAN
(Perspektif Tafsir
al-Tarbawy-Tematik)
Pendahuluan
Alquran merupakan pedoman bagi
umat Islam dalam segala aspek kehidupan. Tidak terkecuali
dalam menelaah tentang konsep insan hakim, dan hakikat hikmah itu
sendiri. Dalam perbendaharaan kata sehari-hari, sering terdengar kata
hikmah, seperti hikmah kebijaksanaan, orang bijaksana, cerdas tapi tidak
bijaksana. Hal ini menunjukkan penting dan agungnya kedudukan insan
hakim (manusia bijaksana) dalam masyarakat. Allah menjamin
barangsiapa mendapatkan hikmah itu berarti telah dianugerahi kebajikan
yang banyak (QS al-Baqarah [2]: 269).
Berbagai pendapat para ahli
dalam menafsirkan kata hikmah dan kriteria seseorang dikatakan memliki hikmah.
Allah telah memberi Luqman hikmah (QS. Luqman, [31]:12 ) dan para nabi dan
rasul. Para ahli tafsir pada umumnya memaknai hikmah dengan ilmu; al-fahm;
ketepatan teori dengan praktik; menempatkan sesuatu pada tempatnya; dan Kitab
Suci.
Tulisan ini akan mengungkap hakikat hikmah, kriteria pemilik hikmah,
dan pemikiran pendidikan Islam membentuk insan hakim. Pendekatan
yang digunakan adalah tafsir tarbawy-tematik, sedangkan analisisnya menggunakan
piranti filsafat pendidikan khususnya inkorparatif. Inkorporatif adalah
gagasan dari kajian teks Alquran mengenai hikmah, dilihat dari berbagai
pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya. Pendidikan yang
dimaksud di sini ialah pendidikan dalam arti luas yakni pendidikan adalah
kehidupan dan kehidupan adalah pendidikan.
II. Pengertian dan Karakteristik Hikmah
Term hikmah terulang sebanyak 20 kali
dalam dua belas surah.[1] Termtersebut juga terdapat dalam Pancasila yakni
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Dalam kamus danmu’jam, hikmah berarti
kebijaksanaan (dari Allah); kesaktian; dan manfaat, makna yang dalam;[2] hikmah berarti perkataan sesuai dengan sebenarnya; falsafah;
perkara yang tepat, benar dan adil; ilmu; dan lemah lembut;[3] hikmah berarti mengetahui yang terbaik dari sesuatu itu dengan
pengetahuan yang terunggul; ilmu, al-fahm, seperti tersebut
dalam QS. Luqman (31):12; keadilan;’illah (sesuatu sebab); dan
suatu perkataan yang sedikit lafalnya, tetapi agung/padat maknanya.[4] Jika kata hikmah dihubungkan dengan Allah, berati mengetahui
sesuatu dan menciptakannya atas tujuan-tujuan hikmah, sedangkan
kalau kepada manusia, hikmah berarti mengetahui yang ada dan perbuatan yang
baik. Dan inilah yang disifatkan kepada Luqman dalam QS. Luqman (31):12.[5] Karena itu pula orang yang punya hikmah akan terhindar dari
kebodohan.[6] Dari berbagai kamus dan mu’jam tersebut, dapat
diringkaskan bahwa pengertian hikmah adalah mengetahui sesuatu
dengan pengetahuan yang sempurna, mengetahui hukum kausalitas,
ringkas perkataan tapi maknanya dalam, benar dan mencakup, keadilan dan
kebenaran, mengetahui perbuatan yang baik, pengertian (al-fahm), ilmu,
dan falsafah; lemah lembut; dan kesaktian.
Bagaimana hakikat dan
karakteristik hikmah menurut Alquran? Berikut ini ayat-ayat terpilih untuk
dikonstruksi menjadi karakteristik makna hikmah.
ولقد آتينا لقمان الحكمة أن
اشكر لله ومن يشكر فإنما يشكر لنفسه ومن كفر فإن الله غني حميد
Menurut Ibnu Abbas makna hikmah dalam ayat tersebut ialah akal, al-fahm dan
kecerdasan. Al-Raghib mengartikannya dengan mengetahui segala sesuatu dan
perbuatan yang baik. Abduh mengartikannya dengan suatu ungkapan perbuatan
yang suci dengan ilmu atau kesesuaian antara teori dan praktik. As-Suddiy
mengartikannya dengan al-fahm, dan akal, Mujahid
dengan al-fahm, akal, perkataan yang benar tepat dan amanah dan
Qatadah mengartikannya dengan Islam sekalipun Luqman bukan seorang nabi
dan tidak pula menerima wahyu. Ibnu Katsir memaknainya
dengan, al-fahm, ilmu dan kemampuan menjelaskan. Menurut
Nashir ada beberapa pelajaran dari kisah Luqman yang menunjukkan kepada
hikmah. Terpenting ialah tutur kata
(gaya bahasa) yang baik, yakni seseorang dalam memilih kata-kata dapat merasuk
ke dalam lubuk hati orang yang dinasehati; berorientasi pada us}ul (inti
persoalan) dari tauhid dan lainnya dengan tidak meninggalkan furu’ (contoh-contohnya),
ringkas, jelas dan menyeluruh, dan
bahwa amar makruf nahi munkar bukanlah urusan yang mudah dan remeh, karena
dikhawatirkan akan tergelincir. Dalam hal ini pemberi nasehat dapat
mengatasinya dengan kesabaran, kerendahan hati, mengambil jalan tengah dalam
setiap urusannya.]
Pada QS. Luqman (31):13-19,
disebutkan cara Luqman menasehati anaknya dengan cara hikmah. Pertama dia
menggunakan bahasa yang baik yang mengandung cinta kasih, bersahabat dan akrab
dengan ucapan ya bunayya. Ucapan ini mengandung makna bahwa Luqman
menguasai akal dan hati anaknya, dan karenanya ia sangat mudah untuk
menerima nasehat dan ajaran bapaknya, sebab yang melandasinya adalah
kasih sayang dan kejiwaan, bukan berdasarkan otoritas dan hukuman. Biasanya
suatu pekerjaan dilandasi dengan cinta kasih berimplikasi (1) keikhlasan, (2)
kesabaran, (3) ketaatan dan (4) menjalankan tugas melebih dari yang seharusnya.
Luqman menghimpun antara prinsip dan rincian, ucapan, perbuatan, keyakinan,
perintah dan larangan. Ia melarang perbuatan syirik, kemudian menyuruh
mendirikan shalat, mengingatkannya dengan keadilan Allah dan keluasan ilmu-Nya
yang mencakup segala sesuatu. Lalu ia menyuruhnya untuk melaksanakan konsep
amar makruf nahi munkar. Ia pun melarangya untuk bersikap sombong dan angkuh.
Bahkan ia menerangkan bagaimana cara berjalan yang baik, suara yang
seimbang, dan seirama dengan gendangnya. Kalau dihitung nasehat Luqman itu ada
sepuluh, semuanya mencakup perintah, larangan dan kabar dalam arti perintah dan
larangan. Semuanya itu dia paparkan dalam kalimat yang ringkas, padat, tapi
jangkauannya luas, mencakup dan tetap indah, tidak dibuat-buat. Yang senada
dengan pengertian hikmah dalam QS. Luqman (31):12 ialah QS. Maryam (19):12:[12]
يا يحيى خذ الكتاب
بقوة وآتيناه الحكم صبيا
Menurut Thabathaba’i pengertian hikmah dalam ayat tersebut ialah al-fahm,
akal, hikmah, pengetahuan tentang etika (adab) berkhidmah, firasat (ilmu) yang
benar dan kenabian. Akan tetapi kalau dilihat dalam QS. Jatsiyah (45):16 dan
al-An’am (6):89, maka hikmah tidak dapat diartikan dengan kenabian, tidak
juga dengan mengetahui adab berkhidmah atau firasat yang benar atau akal
karena tidak ada dalil dari sisi lafal dan tidak juga dari sisi makna. Berarti
Thabathaba’i mengartikannya dengan al-fahm dan hikmah. Menurut
Hasan, makna hikmah dalam QS. 19:12 ialah akal, Muqatil memaknainya
dengan al-fahm, mengetahui hukum-hukum dan hikmah. Ibnu
Katsir memaknainya dengan al-fahm, ilmu yang sesungguhnya, tekad,
pengaruh dan bersungguh-sungguh dalam kabaikan.QS. Ali’ Imran (3):48
ويعلمه الكتاب والحكمة والتوراة
والإنجيل
Menurut Thaba’thaba’i hikmah dalam ayat tersebut berarti pengetahuan yang
bermanfaat yang berhubungan dengan keyakinan atau amal. Al-Qasimi
memkanainya dengan pendidikan akhlak. Qatadah mengartikannya dengan
sunnah. Al-Maraghi mengartikannya dengan ilmu yang benar yang mendorong
seseorang melakukan perbuatan yang bermanfaat dan sesuai dengan jalan
yang mustaqim (lurus dan benar) karena orang yang memiliki
hikmah itu paham betul dengan hukum-hukum dan rahasia-rahasia tasyri’.
Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa Kitab Taurat dan Injil sudah mencakup
hikmah, tetapi karena hikmah itu penting maka disebutkan secara khusus. Maka
hikmah itu merupakan kenabian dan pengetahuan yang berhubungan dengan keyakinan
dan amal perbuatan (akhlak) serta sunnah.
3. QS.
Al-Nisa’, (4):54 :
أم يحسدون الناس على
ما آتاهم الله من فضله فقد آتينا آل إبراهيم الكتاب والحكمة وآتيناهم
ملكا عظيما
Menurut al-Thabari maksud hikmah dalam ayat tersebut ialah sesuatu yang
diwahyukan kepada Ibrahim dan keluarganya sekalipun bukan berupa kitab yang
dapat dibaca. Makna hikmah dengan kenabian, kesempurnaan dan ketelitian
amal perbuatan juga terdapat dalam QS. Shaad (38):20 :
وشددنا ملكه
وآتيناه الحكمة وفصل الخطاب
Mujahid mengartikan hikmah dalam ayat tersebut dengan al-fahm,
kecerdasan akal, keadilan dan ketepatan. Qatadah mengartikannya dengan
kitabullah dan mengikuti kandungannya, sedangkan al-Suddiy mengartikannya
dengan kenabian. Dalam QS. Al-Baqara (2): 251 disebutkan:
فهزموهم بإذن الله
وقتل داوود جالوت وآتاه الله الملك والحكمة وعلمه مما يشاء
Al-Qasimi mengartikan hikmah dalam ayat tersebut dengan al-fahm dan
kenabian.
4. QS.
al-An’am (6):89:
أولئك الذين آتيناهم
الكتاب والحكم والنبوة فإن يكفر بها هؤلاء فقد وكلنا بها قوما
ليسوا بها بكافرين
Pengertian hikmah dalam ayat tersebut ialah al-fahm.
Dalam al-Manardisebutkan bahwa hikmah dalam ayat tersebut berarti
mengerti terhadap kandungan kitab, dan mengetahui hukum-hukum yang ada
padanya. Abduh mengatakan, bahwa hikmah berarti ilmu yang
pasti (kokoh) dan pengertian terhadap berbagai perkara. Berarti orang yang
ilmunya tidak pasti (ragu dan prasangka), bukanlah pemilik hikmah.
Qasimiy melihat adanya hubungan antara kitab dan hikmah yang
disebut beriringan dalam beberapa ayat, khususnya yang berhubungan dengan
kalimat ‘allama. Bahwa mengajarkankitab bukan
hanya lafal-lafalnya, tetapi lebih jauh dari itu yakni sampai pada
hakikat-hakikatnya. Pengajaran demikian berfungsi melahirkan hikmah,
yaitu ilmu yang paling mulia. Maka tepatlah firman Allah, barangsiapa yang
diberi hikmah maka berarti telah diberi kebaikan yang banyak.[28] Dari sini dapat dipahami bahwa Allah memberikan hikmah kepada
para nabi, yaitu ilmu yang benar, pengertian terhadap masalah-masalah agama dan
kemaslahatan berbagai keadaan dan kemampuan memahami kitab baik yang
diturunkan kepadanya maupun yang diturunkan kepada nabi
selainnya. Mujahid mengartikannya dengan al-lubb (kecerdasan
akal). Allah memberikan kepada nabi itu al-lubb untuk
mempelajari kitab. Dari penafsiran ini dapat digambarkan bahwa
hikmah juga mencakup pengertian yang pasti benarnya serta mengerti pula
kemaslahatan dan tujuannya.
5. QS.
al-Baqarah (2):269: ؤتي الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا
كثيرا وما يذكر إلا أولوا الألباب
Al-Maraghi memaknai hikmah dalam ayat tersebut dengan ilmu yang bermanfaat
yang membekas dalam diri, sehingga berkehendak untuk beramal yang
menarik seseorang sampai kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah memberikan
hikmah itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, sehingga dengan hikmah itu
seseorang akan dapat membedakan berbagai hakekat kebenaran dan dapat pula
membedakan mana yang was-was (bisikan syaitan ) dan mana pula ilham (bisikan
malaikat) yang berasal dari Allah. Sarana mendapatkan hikmah
ialah akal untuk mengetahui sesuatu lengkap dengan sebabnya dan
pengertian berbagai perkara dengan hakekatnya. Ibnu Abbas mengartikan hikmah
dengan mengetahui kandungan Alquran, seperti berupa petunjuk dan hukum-hukum
lengkap dengan rahasia-rahasianya dan tujuan-tujuan, nasikh mansukh,
muhkam mutasyabih, halal haram dan lain-lain.[32]Sementara itu Abduh menafsirkannya dengan ilmu yang shaheh dan dapat
merealisasikannya dalam amal perbuatan.
6. QS.
al-Nahl (16):125:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة
الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن
Menurut al-Kalabi bahwa hikmah dalam ayat tersebut berarti Alquran dan
kenabian. Al-Thabari dan Ibnu Katsir memaknainya dengan Alquran dan
Sunnah. Az-Zamakhsyari memaknainya dengan perkataan yang jelas dan benar yakni
memberi sebab dalam menjelaskan kebenaran serta menghilangkan hal-hal
yang syubhat (yang tidak jelas halal dan haramnya).
Ibnu Qayyim menyimpulkan jika kata hikmah disertai kata kitab,
sebagian besar ulama memaknainya dengan sunnah. Namun ada
juga yang memaknainya dengan penentuan hukum dengan wahyu. Kata sunnah berarti petunjuk,
amal shaleh, akhlak dan tingkah laku. Penafsiran pertama lebih umum dan
masyhur. Kalau kata hikmah tidak disertai dengan kata kitab, para
ulama memaknainya dengan Alquran, ilmu, fiqh, dan kebenaran ucapan dan
perbuatan. Menurut Mujahid, bahwa hikmah merupakan ma’rifah memperoleh
kebenaran serta mengamalkannya, dan benar ucapan dan perbuatan. Semua ini
tidak mungkin diperoleh tanpa memahami Alquran, syariat Islam dan hakekat
iman. Sunnah menurut Al-Thabari sewaktu dia menjelaskan makna hikmah pada
QS. 2:231, adalah jalan yang telah diajarkan Muhammad SAW dan telah
meletakkannya sebagai jalan hidup manusia. Sebenarnya bahwa antara
kitab dan hikmah dua hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan
dalam mewujudkan kesempurnaan manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh
Al-Raziy sewaktu dia menafsirkan QS. Ali ‘Imran (3):164, bahwa kesempurnaan
eksistensi manusia itu terletak pada dua perkara yaitu mengetahui yang benar
karena zatnya dan mengetahui kebaikan karena mengamalkannya. Atau dengan ungkapan
lain al-nafs al-insaniyah terdapat dua kekuatan yaitunazariyah (ilmiah
teoritis) dan ‘amaliyah (perbuatan praktis). Allah
menurunkan Alquran kepada Muhammad SAW agar menjadi sebab untuk
menyempurnakan dua kekuatan ini. Maka kalimat (1) yatlu ’alaihim
ayatih memberi isyarat agar wasiat Allah sampai
kepada makhluknya, kalimat (2) wa yuzakkihimmemberi isyarat
kepada kesempurnaan kekuatan ilmiah teoritis karena mengetahui hal-hal
yang bersifat ilahiah, kata (3) wa al-kitab memberi
isyarat kepada fenomena syariat, dan kalimat (4) wa al-hikmah memberi
isyarat kepada kebagusan syari’ah, rahasia-rahasianya, illat-illatnya dan
kemanfaatannya.
Dari berbagai penafsiran tersebut diatas maka pengertian hikmah baik kata
hikmah itu diiringi kata kitab maupun tidak, hikmah berarti:
Pertama: nazariyah (ilmiah teoritis) dan ‘amaliyah (perbuatan
praktis) yaitu ilmu yang benar, bermanfaat, mendalam dan tepat karena memahami
Alquran, syariat Islam dan hakekat keimanan, kecerdasan akal, keahlian,
petunjuk, firasat, ilham, sesuai kata dan perbuatan, menempatkan segala sesuatu
pada tempatnya. Pengertian ini mengandung makna yang saling terkait dan
berdekatan. Pengertian tersebut membawa implikasi kepada sifat insan
hakim yaitu menghias diri dengan akhlak mulia dan menutupi segala
penyebab dosa dan dosa itu sendiri, tampil dengan tepat dan bijaksana serta
teliti dalam segala hal, menempatkan segala sesuatu secara proporsional,
berbuat secara seimbang (adil), kesesuaian antara ilmu dan amal, mengerti mana
yang benar salah, sebab-sebab, rahasia-rahasia, dan tujuan-tujuan sesuatu itu
sekaligus melaksanakannya, memahami Alquran dan kitab-kitab
lainnya serta segala sesuatunya dengan benar, memberikan sesuatu sesuai
haknya, tidak melewati batasnya, sesuai dengan tujuan-tujuan penciptaannya,
memisahkan mana yang hak dan batil, amar makruf nahi munkar dan sifat-sifat
positif lainnya.
Kedua: Kenabian. Allah memberi wahyu kepada Nabi dan
Rasul-Nya serta diberikan hikmah. Semua nabi diberikan hikmah itu yaitu
berupa ilmu yang shaheh, pemahaman yang mendalam terhadap perkara-perkara agama
dan urusan-urusan yang harus diperbaiki serta pemahaman yang mendalam
kepada kitab-kitab baik yang diturunkan kepadanya maupun kepada
nabi dan rasul lainnya. Karena nabi dan rasul diberikan hikmah, maka
mereka itulah orang-orang yang paling sempurna diantara manusia. Diantara
rasul itu paling sempurna ialah ulu al-‘azmi. Dan diantara ulu
al-‘azmi itu yang paling sempurna ialah Nabi Muhammad SAW. Memang umat
Islam adalah umat terbaik diantara umat-umat sebelumnya (QS. Ali Imran [3]:110
).
Dari pengertian hikmah tersebut, dapat dijelaskan bahwa kepemilikan hikmah
mempunyai peran penting menunjang kualitas seseorang. Sebagian orang
mendapatkan hikmah dan ada yang tidak. Kepemilikan hikmah disamping otoritas
Allah, juga atas prakarsa manusia. Dari sini dapat dipahami gambaran Ibnu
Qayyim tentang pembagian hikmah dan tingkatannya. Hikmah ada dua yakni nazariyah (ilmiah
teoritis) dan ‘amaliyah (perbuatan praktis). Yang
dimaksud dengan hikmah ilmiah ialah kemampuan menelaah kandungan segala
sesuatu dan mengatahui hubungan sebab akibat dari penciptaan, perintah,
qadar dan hukum syariat. Sedangkan hikmah amaliah ialah
menempatkan sesuatu secara proporsional. Sedangkan tingkatan hikmah ada tiga
tingkatan; (1) memberikan hak kepada segala sesuatu, tidak melampawi batasnya,
tidak mendahului waktunya, dan tidak pula terlambat atau mengakhirinya; (2)
bersaksi melihat kebenaran janji Allah, mengetahui keadilan pada
hukum-Nya, merasa kebaikan Allah pada larangan-Nya. Diantara
pengertian-pengertian tingkatan ini adalah ungkapan Ahlul-Itsbat wa
Assunnah, yaitu bahwa hikmah adalah maksud-maksud yang terpuji
yang diwajibkan oleh Allah dari ciptaan dan perintah-Nya. Allah memberikan
perintah untuk itu, telah menciptakan dan menakdirkan karena untuk itu; (3)
memperoleh firasat dalam mencari dalil, menemukan kebenaran, dan mencapai
tujuan. Maksudnya ialah bahwa mencapai derajat ilmu yang paling tinggi dalam
mencari bukti-bukti (dalil-dalil), di mana kedudukan firasat (ilham) dengan
ilmu adalah seperti pandangan dan penglihatan. Inilah karakteristik yang
dimiliki oleh banyak sahabat dan yang melebihkan mereka dari umat lainnya.
Derajat inilah derajat ulama yang paling tinggi.
III. Pendidikan Islam Mencetak Insan Hakim
Menurut Ruppert C. Lodge, yang
dikutip Mastuhu, pendidikan adalah kehidupan, dan kehidupan adalah
pendidikan. Pada prinsipnya pendidikan dapat dilihat dari dua segi yakni
pendidikan dalam arti luas dan pendidikan dalam arti sempit. Dalam arti luas
pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan adalah pendidikan baik teratur maupun
tidak. Sedangkan dalam arti sempit pendidikan ialah segala aktivitas yang
dilakukan secara terencana baik transfer transfer of knowledge, transfer
of value,dan transfer of methodology maupun transformatif
yaknihal-hal yang diterima menjadi milik peserta didik dan dapat membentuk
pribadinya.
Ada empat visi pendidikan UNESCO
(United Nations Educational, Scientific And Organization) untuk abad
ke-21. Empat visi itu ialah (1) learning how to learn, (2)learning
how to do, (3) learning to be, (4) learning
how to live together. Empat visi ini secara integral menjadi keharusan
dalam mencapai hikmah.
Dari pembahasan yang dahulu dapat dijelaskan bahwa insan hakim itu
dapat diperoleh oleh siapa saja sekalipun dia bukan seorang nabi dan rasul,
asalkan belajar secara terus menerus sesuai dengan sunnatullah dan mendapat
rida Allah. Sebagaimana tersirat dalam QS. al-Baqarah (2):269. Maka pada
garis besarnya insan hakim itu diberikan Allah kepada dua
kelompok yaitu para nabi dan rasul, dan manusia biasa (bukan nabi dan
rasul), tetapi mereka mengikuti keteladan para nabi dan rasul,
sehingga pribadi mereka mencerminkan ciri-ciri para nabi dan rasul.
Karena itu hikmah tidak akan dianugerahkan kepada setiap orang, akan
tetapi terlahir dari sejumlah faktor dan sebab yang merupakan anugerah dan
rahmat Allah, seperti Luqman (QS. Luqman [31]:12). Sebenarnya siapa Luqman itu,
perlu dijelaskan di sini sebagai bahan mencari sifat-sifatnya sehingga
seseorang punya prasyarat mendapatkan hikmah. Dengan mengetahui riwayat Luqman
ini dan berbagai penafsiran para ahli tentang ayat-ayat hikmah berarti akan
dapat dirumuskan langkah-langkah strategis membelajarkan menjadi insan
hakim itu.
Menurut Wahab, Luqman adalah anak saudara perempuan Nabi Ayyub AS,
sedangkan menurut Muqatil, Luqman adalah anak bibi dari Nabi Ayyub AS.
Menurut al-Sahiliy bahwa Luqman itu anak Unqa bin Sarun dan ada yang mengatakan
dia salah satu anak dari Azir. Luqman hidup seribu tahun. Nabi Daud
AS masih bertemu dengan Luqman dan memperoleh ilmu daripadanya. Namun menurut
al-Wakidiy bahwa Luqman itu hidup antara masa Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa
AS. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Luqman hidup pada masa Nabi
Daud AS dan bukan seorang nabi, tapi seorang hamba (budak). Menurut al-Alusiy,
Luqman adalah seorang laki-laki yang shaleh lagi bijaksana, tetapi
bukan seorang nabi.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dan al-Thabari dikemukakan bahwa
para ulama salaf berbeda pendapat mengenai Luqman, apakah ia seorang nabi
ataukah hamba yang shaleh tapi bukan nabi. Menurut mayoritas ulama,
Luqman bukanlah seorang nabi. Menurut Ibnu Abbas, Luqman itu orang Negro
(Habsyi) yang pekerjaanya sebagai tukang kayu. Menurut Ibnu Musayyab, Luqman
diberikan hikmah tetapi tidak diberikan kenabian. Menurut Mujahid, Luqman
adalah hakim (qadhi) bagi Bani Israil pada masa Nabi Daud AS. Menurut
Khalid al-Rabi’iy, jika Luqman kedatangan tamu, lalu tamunya itu meminta
disembelihkan kambing, dia langsung menyembelihnya. Menurut Abu al-Dardai,
bahwa Luqman adalah teguh pendirian, tidak tidur, pendiam, lama berpikir,
mendalam pandangannya, tidak tidur di siang hari, tidak pernah orang
melihat dia meludah, mengeluarkan dahaknya, buang air kecil dan besar, mandi,
bersenda gurau yang tidak berguna, ketawa-tawa, dan mengulang-ulang pembicaraan
kecuali dia berkata yang penuh hikmah yang menuntut mitra bicaranya perlu
pengulangan.[45]Dalam tafsir Mawardiy, disebutkan bahwa hikmah yang terdapat dalam
QS. Luqman itu, menurut al-Suddiy ialah al-fahm dan kecerdasan
akal. Menurut Mujahid ialah pemahaman, kecerdasan akal, dan ketepatan dalan
perkataan. Dan menurut pengarang tafsir sendiri ialah amanah. Pada
penggalan ayat tersebut Allah menyuruh Luqman untuk bersyukur. Maka
Luqman memuji-Nya atas pemberian nikmat-nikmatnya, dia tidak maksiat
dalam pemakaian nikmat-nikmat itu (menempatkan nikmat-nikmat sesuai
dengan kehendak pemberi-Nya), dia berkeyakinan bahwa tidak ada sekutu
apapun terhadap Allah dalam memberikan nikmat kepadanya, dan dia selalu taat
kepada-Nya terhadap apa yang diperintahkan.
Pada QS. Al-Baqarah (2):269 disebutkan bahwa Allah memberikan hikmah kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya dan pada penghujung ayat diakhiri dengan,
bahwa ulu al-bablah yang dapat mengambil
pelajaran. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa prasyarat
mendapatkan hikmah itu antara lain dengantaz\akkur dan tafakkur dan
proses taz\akkur dan tafakkur ini
ditentukan oleh keteguhan iman dan kecerdasan akal (albab, yang
mufradnya lubb). Oleh karena itu tidak mungkin seseorang
mendapatkan hikmah itu kalau dia tidak teguh imannya dan cerdas
akalnya. Sifat ulu al-bab ini antara lain terdapat
pada QS. az-Zumar (39) : 17-18:[47]
والذين اجتنبوا
الطاغوت أن يعبدوها وأنابوا إلى الله لهم البشرى فبشر عباد الذين يستمعون القول
فيتبعون أحسنه أولئك الذين هداهم الله وأولئك هم أولوا الألباب
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السماوات والأرض
ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
Dari dua ayat tersebut manunjukkan bahwa ulu al-bab yang
diproyeksikan mendapatkan hikmah itu ialah melakukan kegiatan berpikir
dan berdzikir, yang dari dua kegiatan ini akan mewujudkan kesadaran
ruhani mengenai berbagai hakekat, kausalitas dan rahasia-rahasia ciptaan
Tuhan. Pada QS. 19:12-14 Allah memberikan hikmah kepada Yahya
(yang masih kecil belum diangkat menjadi nabi). Allah menggambarkan Yahya
sebagai orang yang bertakwa, berbakti kepada orang tua, tidak sombong dan tidak
pula durhaka. Ini semua merupakan gambaran tentang prasyarat yang
harus dimiliki seseorang pemburu hikmah yakni mencerminkan
sifat-sifat yang menonjol yaitu (1) bertakwa dan shaleh; (2) menghiasi diri
dengan akhlak mulia seperti dermawan, ikhlas, siap menghadapi berbagai
ujian dan pengalaman (sabar), adil, teliti, selalu mujahadah, doa, rendah hati
dan lain-lain dan menghindari diri dari segala sifat tercela seperti sombong,
syirik, dengki dan lain-lain; dan (3) memiliki kecerdasan akal yang
proses aktualisasikannya memahami ayat-ayatqauliyah (teks-teks
agama) dan ayat-ayat kauniyah (sunnatullah) yang disertai pula
aktivitas zikrullah. Atau ringkasnya, merupakan prasyarat
untuk menjadiinsan hakim ialah pertama, mencontoh sifat-sifat
Tuhan, Pemilik Asma’ al-Husna sesuai dengan sifat-sifat
kemanusiaannya, atau dengan kata lain seseorang berusaha
menyamai/menyerupai Tuhan dengan sepenuh kemampuan manusia yang dalam
hadis disebutkan, ”hendaklah kamu berakhlak dengan akhlak Allah.” Kedua,
dirinya mencerminkan dan mencontoh keteladanan para nabi khusunya Nabi
Muhammad SAW.
Dari berbagai prasyarat tersebut
maka seseorang yang akan mendapatkan hikmah itu menempuh langkah-langkah
pembelajaran sebagai berikut:
Langkah 1: Naz}ariyah (ilmiah teoritis). Seseorang
harus learning how to learnyakni segera belajar mengetahui sesuatu
dan kemampuan memahami makna dan nilai di balik kejadian/tersurat, mengetahui
hubungan sebab akibat dari penciptaan, perintah, qadar dan hukum syariat.
Untuk itu dia haruslah memiliki akal yang cerdas. Dengan akal yang cerdas, ia
mampu berpikir kausalitas, menelaah kandungan sesuatu secara benar dan
menangkap isi dari ayat-ayatqauliyah dan ayat-ayat kauniyah,
mampu bertutur kata (gaya bahasa) yang baik, yang merasuk ke dalam lubuk hati
mita bicaranya, berorientasi pada inti persoalan dengan tidak meninggalkan
contoh-contohnya dan ringkas, jelas dan menyeluruh. Orang bodoh tidak
mungkin dapat berbuat seperti itu.
Langkah 2: Amaliyah (perbuatan praktis) atau learning
to do adalah kemampuan berbuat disertai dengan pemikiran, action
in thinking, and learning by doing. Seseorang tidak hanya
mempunyai semangat berfikir tetapi juga mampu melakukan apa yang diketahui
dengan terampil, ahli, dan professional, bertindak by design.
Seseorang dapat menempatkan sesuatu secara proporsional. Berani berbuat dalam
kehidupan praktis akan membekali seseorang segudang pengalaman. Pengalaman
merupakan guru terbaik. Artinya setiap seseorang mengalami suatu peristiwa
diikuti dengan analistis kritis dengan naz}ariyah, reflection dan
penghayatan, dapat menjadi pembelajaran yang berharga untuk aksi-aksi ke depan.
Belajar dari universitas kehidupan akan mendidik seseorang memiliki kapabilitas
hikmah.
Langkah 3: Belajar menjadi diri yang memiliki hikmah (learning to be)
sebagai implikasi dari naz}ariyah dan amaliyah.
Seseorang mengetahui jati dirinya (potensi dan kelemahan), bukan
bayang-bayang orang lain. Pembelajar mampu mengaktualisasikan diri di
tengah-tengah masyarakat yang plural dan di lingkungan perubahan dan kompetetif
tetapi tetap memiliki kepribadian yang utuh, percaya diri, mengetahui strategi
mengoptimalkan potensi dirinya, bukan manusia yang imitasi, meniru dan membeo.
Pembelajar memberikan hak kepada segala sesuatu, tidak melampawi
batasnya, tidak mendahului waktunya, dan tidak pula terlambat atau
mengakhirinya, mengerti betul kebenaran janji Allah, keadilan-Nya pada
hukum-hukum-Nya, merasakan kebaikan Allah pada larangan-Nya, maksud-maksud yang
terpuji yang diwajibkan oleh Allah dari ciptaan dan perintah-Nya. Allah
memberikan perintah untuk itu, telah menciptakan dan menakdirkan karena untuk
itu; dan memperoleh firasat dalam mencari dalil, menemukan kebenaran, dan
mencapai tujuan. Pemburu hikmah haruslah dua kapabilitas dimiliki yakni naz}ariyah danamaliyah yang
berakhir kepada mencontoh asma’ al-h}usna sesuai dengan
sifat-sifat kemanusiaannya.
Langkah 4: Memupuk diri dengan
kualitas takwa/spritual yang mumpuni. Bingkai spritual akan membuat
seseorang berpikir jernih, merespon sesuatu dengan ikhlas dan cinta,
merefleksikan sesuatu secara tepat, bertindak terukur dan bertanggungjawab
terhadap lingkungannya, belajar hidup bermasyarakat (learning to live
together), kesesuaian antara kata dan perbuatan dan selalu mengolah
batinnya dengan z\ikrullah. Disamping itu, orang takwa imannya
tetap kokoh sekalipun ditimpa oleh berbagai ujian, akhlaknya terpuji
sekalipun mengahadapi gelombang globalisasi dan segala dampaknya, sekaligus
menghindari dari akhlak tercela. Menjadi educated perseon yang
bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia
sebagai amalan agamanya. Pembelajar bertanggung jawab terhadap tindakan
manusiawinya, bukan berarti tidak pernah salah. Tindakan salah adalah benar
apabila seseorang bertanggung jawab dan menyadari kesalahannya. Lalu dari
kesalahan itu, seseorang mengadakan reflection yang akhirnya
taubat dan menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan empat
langkah pendidikan tersebut mengantarkan seseorang menjadi insan
hakim.
IV. Simpulan
Dari berbagai pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pada garis besarnya
kata hikmah dalam Alquran kebanyakan diiringi dengan kata kitab.
Kalau hikmah diiringi dengan kata kitab mayoritas ulama mengartikannya dengan
“sunnah”. Sedangkan jika kata hikmah tidak disertai dengan kitab, dimaknai
dengan Alquran, ilmu, al-fahm, kebenaran ucapan dan perbuatan,
kesesuaian ilmu dan amal. Secara ringkas hikmah adalah ilmu, kecerdasan-akal,
pengertian (al-fahm) tentang hukum kausalitas, tentang
rahasia-rahasianya, tentang tujuan dari sesuatu, tentang kemaslahatan dibalik
yang tersurat/kejadian dan tentang etika; kesesuain teori/kata dan
praktik; sedikit kata padat makna, jelas, benar dan mencakup; keadilan dan
kebenaran; sprtitualitas; kenabian dan sunnah; lemah lembut; dan
tindakan yang tepat. Mendapatkan hikmah merupakan otoritas Allah, disamping
usaha manusia.Insan hakim itu mencerminkan pribadi yang berilmu
mendalam, manfaat, benar, tepat setelah melalui proses memahami Alquran dan
Sunnah dan sunnatullah; mengerti hakekat kebenaran dan sunnatullah,
tujuan-tujuannya, rahasia-rahasianya dan manfaatnya; cerdas akalnya, teliti dan
ahli; mendapatkan anugerah, filsafat, ilham dan petunjuk; terdapat kesesuaian antara
kata dan perbuatan; menempatkan sesuati sesuai dengan haknya secara
seimbang dan adil; lemah lembat, mengiasi diri dengan
akhlak terpuji dan menghindar diri dari akhlak tercela. Cara untuk
memperoleh hikmah ialah empat langkah pendidikan. Dengan kata lain untuk
mendapatkan hikmah itu adalah seseorang berakhlak dengan akhlak Tuhan dan
meneladani pribadi luhur Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hasan Ahmad bin Paris bin Zakariya, Mu’jam fi al-Lugah,
Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H / 1994 M.
Alusiy al-Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Bagdadiy, Ruh al-Ma’aniy
fi Tafsir al-Qur’an al-Az}im wa al-Saba’al-Mas\aniy, Beirut:
Dar al-Fikr, 1414H/1994 M.
Asfahaniy al, Al- Raghib, Mu’jam Mufradat alfaz} al-Qur’an,
Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Baqi al, Muhammad Fuad Abdul, al-Mu’jam al-Mufakhras li al Faz
al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H /1987 M.
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989.
Ibnu al-Qayyim al Jauziyah, Madarij al-S{alikih, Beirut: Dar al
Kutub al-Hikmah, tt.
Ibnu Katsir, al-jalil al-Hafidz
‘Imadudin Abil Fida Ismail, Tafsir al-Qur’an al-‘Az}im,
Singapura: Sulaiman Mar’i, tt.
Ibrahim Mu
Ma’luf, Loes, al-Munjid fi< al-Lugah wa al-A’lam, Beirut:
Dar al-Masyriq, 1987.
Maraghi al, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maragi, Beirut: Al-Baby
al-Halabi wa Syirkah, 1972.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.
Mawardi al, Abi al-Hasan ‘Ali bin Muhammadbin Habib al-Bashariy, Al-
Nuktu wa al- ‘Uyun Tafsir al-Mawardiy, Beirut: Dar al-Kutb al ‘Ilmiyah, tt.
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an Hakim al-Syahir bi Tafsir
al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Nashir bin Sulaiman al-Umar, Al-Hikmah (Edisi
Indonesia), Bandung: Pustaka Hidayah,
1995.
Peter Salim dan Yenni Salim, Bahasa Indonesia Kotemporer,
Jakarta: Modern English Press, 1991.
Qasimiy al, Muhammad Jamal al-Din, Tafsir al- Qasimiy,
Mesir: Dar al-Ihya al- kutub Al-Arabiyah, 1958.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar