Rabu, 17 Februari 2016

ABU YAZID AL-BUSTAMI DAN AJARAN TASAWUFNYA

A. Latar Belakang Masalah

    Ilmu tasawuf adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang usaha-usaha untuk membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridhaan Illahi.
    Kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati oleh banyak kalangan, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Ketertarikan tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang: pertama, yaitu kecenderungan terhadap kebutuhan fitrah atau naluriah yang mengisyaratkan bahwa manusia membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual. Kedua, yaitu kecenderungan terhadap persoalan akademis-keilmuan yang menganggap bahwa tasawuf berfungsi sebagai pengayaan keilmuan ditengah ilmu-ilmu yang lain.
Dalam sejarah tasawuf, seorang sufi bernama Abu Yazid Al-Bustomi dipandang sebagai sufi pertama yang mengedepankan konsep fana, baqa’ dan ittihad. dalam tulisan ini, insyaalloh akan kami paparkan tentang figur serta faham/ajaran Al-Bustomi dalam tasawuf.

B. Rumusan masalah

    Sehubungan dengan judul dan uraian dalam latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana riwayat hidup Abu Yazid Al-Bustami?
2. Bagaimana Ajaran Abu Yazid Al-Bustami?

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami 

    Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Al-Bustami Thaifur bin ‘Isa bin surusyan Al-Bustami. Lahir di daerah Bustam (persia) tahun 874-947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid Al-Bustami termasuk ada di dalamnya,tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak berada di kandungan ibunya konon Abu Yazid Al-Bustami telah mempunyai kelainan. Ibunya bekata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid Al-Bustami memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang di ragukan kehalalannya.
    Sewaktu meningkat remaja, Abu Yazid Al-Bustami terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh menuruti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya,suatu hari gurunya menerangkan suatu ayat dari surat lukman yang berbunyi :

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Lukman : 14)
    Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid Al-Bustami. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang menemui ibunya. Sikapnya ini mengambarkan bahwa ia selalu berusaha mematuhi setiap panggilan Allah SWT.
Perjalanan Abu Yazid Al-Bustami untuk menjadi seorang sufi memerlukan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah satu gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainya kepada Abu Yazid Al-Bustami. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid Al-Bustami tidak di temukan dalam bentuk buku.
Dalam kehidupan seorang zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid Al-Bustami, mengembara di gurun-gurun di syam, hanya dengan tidur makan, dan minum yang sedikit sekali.
    Pengikut al-Bustami kemudian mengembangkan ajaran tasawufdengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur. Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’, Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai wali atau orang yang memiliki kekaramatan.

B. Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami

1. Fana’ dan Baqo’
    Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang artinya musnah, lenyap, hilang atau hancur. sedangkan baqo’ berasal dari kata Baqiya yang berarti terus menerus ada, tidak lenyap dan tidak hancur. 
Dalam pengertian tasawuf, fana diartikan sebagai hilangnya kesadaran tentang dirinya dari seluruh mahluk dimana perhatian sufi terpusat hanya kepada Allah. dalam pengalaman fana’, sufi tidak menyadari lagi dirinya serta seluruh mahluk, dalam kesadarannya, yang ada haya Allah. 
    Fana’ adalah sinarnya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, sehingga yang betu-betul ada secara hakiki dan abadi (baqo’) di dalam kesadarannya adalah wujud mutlak.
    Fana’ adalah suatu keadaan mental dimana hubungan antara manusia dengan alam sudah tiada tanpa menghilangkan nilai kemanusiaan. Abu Yazid Al-Bustami, menekankan dengan istilah fana’ an nafs yaitu hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyebabkan mereka mengalami baqo’ pada diri tuhan.
    Baqo’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. karena lenyapnya sifat-sifat basyariyah dan yang kekal adalah sifat-sifat ilahiyah. fana dan baqo datang beriringan, hal demikian yang merupakan pengalaman mistik tentang substansi atau kehidupan bersama tuhan setelah terjadi fana’ dalam diri seorang sufi. dengan fana’, al-Bustomi meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat tuhan, sedangkan dengan baqo’, ia tetap bersama tuhan. 

2. Ittihad
    Kata ittihad mempunyai makna persatuan, pengalaman menyatu atau kebersatuan, yaitu penyatuan dengan Tuhan tanpa ada perantara apa pun.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu menjadi satu, antara sufi dan tuhan telah bersatu menjadi satu baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad, identitas telah hilang dari sufi yang bersangkutan, karena fana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
    Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”
    Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”
    Abu Yazid semakin tenggelam dalam lautan fana’ hingga menyatu dengan tuhan dengan kalimat-kalimat yang belum pernah dikenal sebelumnya (shatahat) yaitu kalimat atau ucapan para sufi ketika berada dipintu gerbang ittihad dengan tuhan. Shatahat adalah ucapan yang tidak jelas maksudnya, maksud dari ucapan itu sangat sulit difahami. shatahat para sufi sering terungkap pada khalayak publik sampai dipandang sebagai ucapan yang menyesatkan karena secara lahiriah melanggar prinsip tanzih dalam ajaran Islam.
Dalam ittihad, kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian. Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.
    Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
    Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan. 

PENUTUP

    Tasawuf atau sufisme adalah istilah terhadap sebuah gerakan mistik dalam dunia Islam, para sufi biasanya menempuh jalan tariqah yaitu sebuah jalan spiritual yang dilalui para sufi menuju terwujudnya kedekatan dan kesatuan pada Allah. Para sufi menekuni jalan tasawuf dengan tujuan tunggal yaitu menginginkan Allah semata dan tiada yang lain.
    Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang hidup pada abad ketiga hijrah. Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana’ dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.
    Beliau dipandang sebagai orang yang mempelopori paham Fana’ dan Baqa’ dan Ittihad. Sebelum bekliau bergelut dengan dunia tasawuf, beliau mempelajari fiqh terutama mazhab Hanafi.
    Paham Fana’ yang dikembangkan oleh beliau adalah menyatakan bahwa apabila manusia telah sampai tingkat Fana’ artinya hilangnya kesadaran akan wujud diri dan lingkungannya, maka ia akan Baqa’ yang artinya berkesinambungan didalam sifat-sifat ketuhanan. Yaitu kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia dan puncaknya adalah manusia dapat menyatu atau ittihad dengan Tuhan sehingga diri pribadi menjadi tiada dan yang ada hanya Tuhan semata-mata.
    Paham ini mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan ulama. Ulama syari’ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan al-Bustami dikatakan kafir, sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan sebagian lagi memahami bahwa paham yang didasarkan pada ungkapan-ungkapan al-Bustami tidak dapat dijadikan pedoman sebab disampaikan ketika ia tidak dalam kesadaran dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketika ia fana’, baqa’, dan Ittihad.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Anwar, Rosihon dkk. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka setia
M. Suryadilaga, Alfatih dkk. 2008. Miftahus Sufi. Yogyakarta : Teras
Asmaran AS, 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : Rajawali Press

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Maksud isunya sampai kepada pembaca...