Senin, 22 Februari 2016

DISTRIBUSI DAN ALOKASI KEKAYAAN HARTA RAMPASAN (FAY’)

Kajian Al-Qur’an Surat Al-Hasy : 6 & 7 
     Al Qur’an adalah sebuah Kitab Suci yang memberikan perhatian khusus kepada dunia serta menilainya secara positif dan sama sekali tidak menilai negatif. Oleh karena itulah Al Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan dan melakukan segala sesuatu dengan baik terhadap sarana-sarana yang disediakan oleh Allah SWT untuk manusia. Dengan demikian, apabila kita tidak mempergunakan sarana-sarana yang Allah sediakan pada jalan yang benar berarti kita tidak menghargai karunia dan nikmat yang Allah berikan kepada kita sebagai manusia.
     Distribusi pedapatan merupakan masalah yang tidak mudah, sehingga saat ini masih sering dijadikan bahan perdebatan antara ahli ekonomi. System ekonomi kapitalis memandang seseorng individu dapat secara bebas mengumpulkan dan menghasilkan kekayaan (pendapatan) dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki serta tidak ada batasan untuk memanfaatkan dan membagi harta yang dimiliki. Sementara system ekonomi sosialis berpendapat bahwa kebebasan secara mutlak dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu hak individu atas harta harus dihapuskan dan wewenang dialihkan kepada Negara sehingga pemerataan dapat diwujudkan.
     Dalam ekonomi Islam mekanisme alokasi dan distribusi pendapatan dan  kekayaan berkaitan erat dengan nilai moral Islam sebagai alat untuk menghantarkan manusia pada kesejahteraan duania akhirat. Bahwa kewajiban hamba kepada tuhannya merupakan prioritas utama dari segala tindakan manusia,  yang menjadikan mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan yang bertujuan pada pemerataan menjadi sangat urgent dalam perekonomian Islam, karena diharapkan setiap manusia dapat menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT tanpa harus dihalangi oleh hambatan yang diluar kemampuannya.
     Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang distribusi kekayaan yaitu salah satunya yang akan penulis kaji yaitu tentang pendistribusian dan alokasi harta Fay’ (Harta rampasan) yang tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 6 dan 7.
PEMBAHASAN
A. Definisi Distribusi Menurut Islam
     Pengertian distribusi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat; pembagian barang keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dan sebagainya.
     Distribusi dalam konsep Islam adalah secara umum Islam mengarahkan mekanisme berbasis moral dalam pemeliharaan keadilan sosial dalam bidang ekonomi, sebagai dasar pengambilan keputusan dalam bidang distribusi, sebagaimana telah diketahui bahwasanya Nabi Muhamad SAW terlahir dari keluarga pedagang dan beristrikan seorang pedangan (siti khatijah) dan beliau berdagang sampai negeri syiria, saat beliau belum menikah dengan khatijah beliau merupakan salah satu bawahan siti khatijah yang paling dikagumi oleh siti khatijah pada masa itu karena teknik pemasaran beliau. Pada saat itu Nabi Muhamad SAW telah mengajarkan dasar-dasar nilai pendistribusian yang benar yaitu dengan kejujuran dan ketekunan.
B. Terjemah Surat Al-Hasyr : Ayat 6 dan 7
     Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(ayat 6) Dan Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.(ayat 7)
     Fai-i ialah harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran. Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. ghanimah harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. pembagian Fai-i sebagai yang tersebut pada ayat 7. sedang pembagian ghanimah tersebut pada ayat 41 Al Anfal dan yang dimaksud dengan rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinama fa'i. pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa'i dibahas dalam surat al-Hasyr.Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur.
C. Asbabun Nuzul
     Ketika Rosulullah SAW bermukim di Madinah, beliau berkata kepada kaum Ansor bahwa kaum dari golongan muhajirin yang ada di Mekkah akan berhijrah ke Madinah maka beliau meminta kepada kaum dari golongan Ansor untuk memberikan sebagian hartanya dengan menyiapkan kamar-kamar dan makanan kepada kaum Muhajirin, Jika kaum dari golongan Ansor tidak mau memberikan sedikit hartanya, maka harta rampasan bagi kaum Ansor tidak ada jatah baginya dan akan diberikan kepada kaum Muhajirin. Dari golongan kaum Ansor lantas berkata bahwa kami akan menyiapkan papan untuk kaum muhajirin dan tidak akan mengambil bagian dari harta rampasan. Kemudian turunlah ayat ini.
D. Makna global Ayat
     Di dalam Ayat tersebut Allah menerangkan bahwa harta fai’ yang berasal dari orang fakir, serta harta-harta Bani Quraizah, Bani Nadir, penduduk Fadak dan Khaibar, yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dan digunakan untuk kepentingan umum kaum muslimin. Dimana harta fai’ ini juga dibagikan kepada kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang kehabisan ongkos dalam perjalanan. Hal ini dimaksud agar harta itu tidak hanya berputar pada lingkungan tertentu saja dari orang-orang kaya, tetapi tersebar pada berbagai pihak sehingga manfaatnya juga dirasakan oleh banyak pihak.
     Pada ayat ini menjelaskan tentang hukum fai’ dimana Dalam hal ini kata dulatan bainal agniya’ yang artinya “beredar diantara orang-orang kaya”. Sehingga disini dijelaskan agar harta tidak beredar diantara orang-orang kaya saja, diperlukan adanya pemerataan harta dalam kegiatan distribusi jadi harta itu bukan milik pribadi akan tetapi sebagian harta kita itu ada hak milik orang muslim lainnya yg tidak mampu. Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat melalui kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infaq, serta adanya hokum waris, dan wasiat serta hibah. Aturan ini diberlakukan agar tidak terjadi konsentrasi harta pada sebagian kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak terjadi monopoli dan mendukung distribusi kekayaan serta memberikan latihan moral tentang pembelanjaan harta secara benar. Oleh karena itu dengan adanya kegiatan distribusi ini maka harta tidak akan beredar digolongan orang-orang kaya saja melainkan harta itu juga dapat dinikmati oleh orang-orang miskin.
E. Tafsir Ayat
     Allah Swt. berfirman: Mâ afâ’a Allâh ‘alâ Rasûlih min ahl al-qurâ (apa saja harta rampasan [fay’] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota). Secara bahasa, kata afâ’a berarti radda (mengembalikan). Dengan kata tersebut seolah ingin dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan itu diciptakan Allah Swt. sebagai sarana bagi hamba untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ketika harta itu digunakan tidak pada fungsinya atau dikuasai oleh orang kafir yang menggunakannya tidak pada fungsinya, maka harta itu telah keluar dari tujuan awal diciptakan. Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada Muslim yang membelanjakannya untuk kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.
     Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’ adalah semua harta yang diambil dari kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan; tanpa mengerahkan pasukan unta dan kuda; seperti halnya harta Bani Nadhir. Semua harta yang mereka tinggalkan itu disebut al-fay’. Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta Bani Nadhir, namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan dengan cara yang sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Jika dalam ayat 6 disebutkan minhum (dari mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7 digunakan kata yang lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari penduduk kota-kota). Artinya, semua negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan.
     Tiadanya benturan fisik dalam peperangan itulah yang membedakan fay’ dengan ghanimah. Berbeda dengan harta fay’, harta ghanimah diperoleh dari kaum kafir melalui jalan peperangan. Pembagian dan distribusinya pun dibedakan. Jika pembagian ghanîmah dijelaskan dalam QS al-Anfal: 1 dan 41, maka pembagian fay’ dijelaskan dalam QS al-Hasyr: 6 dan 7.
     Berdasarkan QS al-Hasyr [59]: 6, harta fay’ tersebut diberikan secara khusus kepada Rasulullah saw. distribusinya pun menjadi otoritas Beliau. Dalam kaitannya dengan harta Bani Nadhir, Beliau hanya membagi-bagikannya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang, yakni Abu Dujanah dan Sahal bin Hunaif, lantaran kondisinya yang miskin sebagaimana dialami kaum Muhajirin. Selanjutnya dijelaskan mengenai alokasi harta fay’ itu. Allah Swt. berfirman: (maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan).
     Pertama: (untuk Allah). Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta rampasan itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Allah Swt. telah memberikan harta tersebut kepada Rasulullah saw. otoritas pembagiannya pun diserahkan kepada Beliau. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa setelah Beliau wafat, bagian tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.
     Kedua: (kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah saw. yang dimaksudkan adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Dua kerabat Rasulullah saw. itu, baik kaya maupun miskin, berhak mendapat bagian harta rampasan. Menurut para mufassir, hal itu karena mereka tidak dibolehkan menerima harta sedekah.
     Ketiga: (anak-anak yatim). Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Status yatim itu terus berlangsung hingga mereka baligh. Kata ath-Thabari, mereka adalah anak-anak kaum Muslim yang membutuhkan dan tidak memiliki harta.
     Keempat: (orang-orang miskin). Yang dimaksud adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan. Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup kaum fakir. Menurut al-Biqai, dua kelompok tersebut, yakni fakir dan miskin, jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya. Kedua kelompok itu baru dibedakan jika disebutkan bersama-sama.
     Kelima: Ibn Sabil. Yang dimaksud adalah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan harta yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuannya. Ath-Thabari memberikan catatan, perjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada Allah Swt.
     Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan tentang sebab disyariatkannya hukum tersebut dengan firman-Nya: Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu saja. Illah atau sebab disyariatkannya hukum tentang alokasi harta rampasan dari kaum kafir itu adalah agar harta tidak hanya beredar dan berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Dengan ketentuan pembagian harta fay’ tersebut, kaum miskin pun bisa berkesempatan mendapatkan giliran memiliki harta.
     Allah Swt. berfirman: Apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. dan apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Dalam konteks ayat ini, kalimat itu bermakna: Semua harta ghanimah dan fay’ yang diberikan oleh Rasulullah saw., ambillah. Sebaliknya, yang Beliau larang, tinggalkanlah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.

     “Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah semampu kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah (HR al-Bukhari).
     Allah Swt. berfirman: (Bertakwalah kalian kepada Allah). Kalimat ini menegaskan perintah sebelumnya. Perintah ini wajib karena adanya sanksi atas orang yang tidak bersedia mengerjakannya. Sanksi itu berupa azab yang pedih. Allah Swt. berfirman: (Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).

KESIMPULAN
     Kandungan ayat ini menjadi bukti kongkret totalitas Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Pengaturan mengenai harta fay’ dan ghanimah jelas menunjukkan bahwa Islam juga tidak hanya berkutat dalam urusan privat dan abai terhadap urusan publik, Kandungan ayat ini juga membantah klaim sebagian orang yang menolak disyariatkannya Daulah Islam. Sebab, keberadaan harta fay’ dan ghanimah terkait erat dengan jihad dan institusi negara. Sulit dibayangkan umat Islam bisa mendapatkan harta fay’ jika umat Islam tidak memiliki negara yang kuat sehingga membuat kaum kafir menjadi gentar dan menyerahkan harta kekayaannya.
     Demikian juga distribusi harta tersebut. Setelah wafatnya Rasulullah saw, wewenang dan otoritas distribusi harta fay’ dan ghanimah ada di tangan Imam atau Khalifah. Dialah yang diserahi tugas oleh syariah untuk mengelola dan mendistribuskan harta itu demi kemaslahatan kaum Muslim. Ketentuan itu juga menunjukkan wajibnya keberadaan Khalifah. Realitas itu jelas menggugurkan klaim sebagian orang yang mengingkari wajibnya Khilafah.
     Ayat ini juga memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang diciptakan Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya dinikmati segelintir orang saja. Mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada institusi negara yang berwenang atasnya. Ayat ini juga menolak penerapan Islam yang hanya nilai-nilainya saja, sementara ketentuan hukumnya bisa mengadopsi dari mana pun. Ayat ini menegaskan: (Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang, tinggalkanlah). Itu artinya, seluruh ketentuan syariah harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan. Tidak boleh dibedakan hukum ibadah dengan mu’amalat atau uqubat (sanksi-sanksi hukum). Pasalnya, ayat ini bersifat umum; meliputi semua perkara yang ditetapkan syariah. Ketentuan ini wajib. Siapa pun yang menolaknya diancam dengan azab yang pedih. 
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, 2010. Al-qur’an dan terjemahan. Jakarta : Lentera Abadi
Shihab Quraish, 2002. Tafsir al-misbah. Jakarta: Lentera Hati
Muhammad, 2004. Ekonomi Mikro Dalam Prespektif Islam. Yogyakarta: PBFE-Yogyakarta
Karim, Adiwarman, 2001. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Komtemporer. Jakarta: Gema Insani Press

Tidak ada komentar: