Senin, 22 Februari 2016

MENJAUHI ISTRI PADA WAKTU HAIDH

Kajian Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 222

PENDAHULUAN
     Islam sangat mengutamakan kebersihan dan kesehatan, anjuran untuk mengutamakan kebersihan telah banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan juga hadits Rasul. Dalam Al-Qur’an salah satunya dijelaskan dalam surat Al-Baqarah : 222 bahwasanya Allah mencintai orang-orang yang menyucikan diri (Bersuci). Dalam Hadits Rasulullah salah satunya yaitu sabda Rasul, bahwasanya kebersihan itu adalah sebagian dari iman, maksudnya apabila ada seseorang mengabaikan tentang pentingnya kebersihan berarti sebagian imannya hilang. 
     Sebagai sebuah kodrat dari Allah, Wanita diciptakan dengan banyak keistimewaan. diantaranya yaitu diciptakannya tempat untuk diwujudkannya kehidupan seorang manusia yaitu rahim. keistimewaan yang lain yaitu diciptakannya sebuah hati yang lunak untuk lebih mengutamakan kasih sayang daripada menggunakan emosi dalam segala hal, dibandingkan dengan lelaki yang lebih mengutamakan rasio dan emosi. 
     Perempuan yang telah dewasa dan mengalami kenormalan akan mengalami proses pembuangan darah-darah yang sudah tidak berfungsi lagi. proses pembuangan tersebut disebut Menstruasi (Haidh), Haidh juga disebabkan oleh peleburan sel-sel telur yang tidak berhasil untuk dibuahi. 
     Wanita yang telah menikah(Istri) memiliki tanggungjawab untuk melayani dan mengabdi pada suami, menuruti apapun keinginan suami dan mengerjakan perintahnya selama tidak melanggar syari’at agama. Namun, wanita yang sedang haidh ada batasan-batasan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan antara suami istri, ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an tersebut pasti mempunyai alasan dan manfaat yang besar. 

PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 222
     Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

B. Asbabun Nuzul
     Dari Anas ra berkata: Adalah kaum Yahudi apabila ketika istrinya sedang haidh, maka ia tidak diajak makan dan minum bersama, serta tidak diajak bergaul bersama dalam rumah. kemudian Nabi saw pernah ditanya tentang hal tersebut, maka turunlah ayat  “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh” Lalu Nabi menyuruh mereka makan bersama dan hendaknya tetap berkumpul dalam satu rumah serta boleh berbuat apa saja kecuali bersetubuh. kemudian kaum yahudi berkata: Tak lain yang dikehendaki Muhammad meninggalkan ajaran kita itu hanya ia ingin berbeda dengan kita dalam hal itu. kemudian datanglah Abbad bin Bisyr dan Usaid bin Hudhair menghadap Rasulullah dan memberitakan apa yang diucapkan kaum yahudi tersebut dan mereka bertanya: Apakah tidak boleh kita mengumpuli mereka dalam keadaan haidh? Maka Rasul mukanya spontan berubah, sehingga kami mengira ia marah kepada mereka berdua. kemudian Anas menghidangkan susu lalu Rasul mempersilahkan mereka berdua untuk minum, maka mereka pun tahu kalau Rasul tidak marah. (HR Muslim dan Tirmidzi)

C. Tafsir ayat
1. Kaum Yahudi berlebih-lebihan dalam menjauhi kaum wanita yang sedang haidh, sehingga mereka tidak mau makan, minum dan berkumpul bersama dalam satu rumah dan menganggapnya seolah-olah sebuah penyakit atau kotorang yang keji, sedangkan kaum Nasrani menganggap ringan terhadap masalah ini sehingga tetap mengumpuli mereka dan tidak menghiraukan haidhnya, lalu datanglah Islam dengan ketentuan yang tengah-tangah (dengan sabda Nabi saw) “berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh” ini termasuk diantara indahnya syari’at Islam yang menyuruh kaum muslimin untuk berbuat sederhana.
2. Lafal “Mahidh” terkadang berarti haidh itu sendiri dan terkadang berarti tempat haidh. tetapi yang dimaksud dalam ayat ini adalah haidh.
3. Ibnu Arabi berkata: Aku pernah mendengar seseorang berkata dalam majlis diskusi: apabila dikatakan “La taqrab” maka artinya “jangan engkau pakai” dan jika “La taqrub” maka artinya “jangan engkau dekati”. kemudian karena dalam ayat ini Allah berfirman “La taqrabuhunna hatta yath-hurna”, maka ini menunjukkan bahwa yang dimaksud yaitu dilarang mengumpuli atau menyetubuhi mereka yang dalam keadaan haidh.

D. Kandungan Hukum
     Kandungan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut, antara lain: 
1. Yang harus dijauhi atas perempuan yang sedang dalam keadaan haidh, yaitu sebagai berikut:
a. Menurut Ibnu Abbas dan Ubaidah as-Silmi, yang wajib dijauhi adalah seluruh tubuhnya.
   Alasan dari madzhab ini adalah bahwa Allah menyuruh menjauhi perempuan-perempuan itu dan tidak mengecualikan sesuatu dari padanya, maka wajiblah dijauhi seluruh tubuhnya karena keumuman ayat.
Al-Qurthubi berkata: Ini adalah pendapat yang janggal yang keluar dari pandangan ulama’ pada umumnya, meskipun ayat tersebut menunjukkan arti umum.
b. Menurut madzhab Abu Hanifah dan Malik, yang wajib dijauhi adalah antara lutut dan pusar.
   Alasan dari madzhab ini adalah dari sebuat hadits dengan riwayat dari A’isyah ra:
“Aku pernah mandi bersama Nabi saw dala satu bejana, sedang kami berdua dalam keadaan junub, lalu Nabi saw menyuruhku, maka aku berkain cawat, kemudian ia memelukku sedang aku dalam keadaan haidh. (HR Bukhari-Muslim dan Tirmidzi)
Dan ada riwayat dari Maimunah, bahwa ia berkata:
“Adalah Rasulullah saw biasa memeluk istri-istrinya diatas kain, sedang mereka dalam keadaan haid.” (HR Bukhari Muslim)
c. Menurut madzhab Syafi’i yang wajib dijauhi adalah tempat kotoran yakni vaginanya saja. 
   Alasan Imam Syafi’i yaitu beralaskan hadist Nabi saw:
“Berbuatlah apa saja kecuali bersetubuh” 
   Dan ada riwayat dari Masruq,  ia berkata:
“Aku pernah bertanya pada A’isyah ra tentang apa yang boleh bagi laki-laki suami terhadap istri apabila istri dalam keadaan haidh? ia menjawab: Boleh berbuat apa saja kecuali bersetubuh.  
   Dan dalam riwayat yang lain dikatakan: Bahwa Masruq pergi ke rumah Aisyah lalu ia mengucapkan “assalamu ‘alan nabiyyi wa ‘ala ahli baitih (semoga kesejahteraan melimpah kepada nabi saw dan keluarganya), kemudian A’isyah berkata: Ayah A’isyah, selamat, izinkanlah dia masuk! lalu Masruq berkata: Sesungguhnya aku ingin tanya kepadamu tentang sesuatu tapi aku malu. kemudian Aisyah berkata: Sesungguhnya aku adalah ibumu dan engkau adalah anakku. lalu ia bertanya: Apakah yang boleh bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang dalam keadaan haidh? Aisyah menjawab: baginya boleh berbuat apa saja kecuali farjinya.
   Setelah memperhatikan dalil-dalil diatas, bahwa dari berbagai pendapat yang ada, pendapat yang paling kuat adalah pendapat kedua, menurut Ibnu Jarir at-Thabari: bahwa pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa laki-laki terhadap istrinya yang haidh yaitu boleh mempergaulinya dalam batas-batas apa yang ada diatas kain penutup kemaluan. sedangkan dilarangnya bermain-main dengan apa yang ada diantara lutut dan pusar ialah dikarenakan apabila hal tersebut dilakukanmaka akan mudah untuk berlanjut kepada yang dilarang. 
2. Kafarat (denda) bagi orang yang menggauli istrinya yang sedang dalam keadaan haidh.
    Ulama telah bersepakat, bahwa mengumpuli istrinya dalam keadaan haidh adalah haram, tetapi mereka berbeda pendapat tentang adanya kafarat atau tidak. sedangkan Imam Malik, Syafi’i, dan Hanafi berpendapat, ia harus istiqfar dan tidak ada kafarat apapun. Menurut Imam Ahmad, ia harus bersedekah , karena ada hadits Ibnu Abbas dari Nabi saw tentang orang yang mengumpuli istrinya dalam keadaan haidh , bahwa Nabi saw bersabda: “ia harus bersedekah setengah atau sadinar” (HR Ashhabus Sunan)
Sebagian Ahli Hadits berkata: Jika waktu disetubuhi dalam keadaan masih ada darahnya maka wajib sedekah satu dinar, dan apabila darahnya telah berhenti maka sedekah setengah dinar. Al-Qurtubi berkata: Alasan ulama yang tidak mewajibkan kafarat melainkan hanya harus taubat dan membaca istigfar adalah hadits dari Ibnu Abbas tersebut.
3. Berapa lama masa haidh?
    Para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang masa terpanjang dan terpendek lamanya masa haidh. 
a. Menurut Abu Hanifah dan ats-Tsauri, paling pendek tiga hari dan paling lama sepuluh hari.
Alasan pendapat ini yaitu berdasarkan hadits Abi Umamah:
“Sedikit-dikitnya haidh itu tiga hari dan selama-lamanya sepuluh hari”
b. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, paling pendek sehari semalam dan paling lama lima belas hari, dengan alasan sebuah Hadits:
“Seseorang diantara perempuan yang haidh itu hendaknya berdiam diri sampai separuh umurnya” 
Maksud dari “umurnya” yaitu umur antara haidh dan suci yaitu satu bulan. jadi setengah umur berarti setengah bulan (15 Hari).
c. As-Shabuni berpendapat: Dalam Al-Qur’an tidak ada petunjuk tentang sedikit dan lamanya masa haidh, masalah ini meupakan masalah ijtihadiah yang dapat dilihat dalam kitab-kitab fiqih.
d. Menurut Imam Malik tidak ada batas waktu terpendek dan terpanjang, sedangkan yang dianggap atau diperhitungkan adalah kebiasaan perempuan yang bersangkutan.
4. Kapan diperbolehkannya mengumpuli perempuan haidh
Firman Allah “dan janganlah kamu mengumpuli mereka sehingga mereka suci”, disini menunjukkan bahwa tidak halal bagi laki-laki mengumpuli istrinya yang sedang dalam haidh sehingga suci. Ulama Fiqih berbeda pendapat tentang pengertian suci, diantaranya:
a. Abu Hanifah berpendapat bahwa suci adalah berhentinya darah, apabila darah haidh telah berhenti maka boleh bagi laki-laki untuk mengumpuli istrinya sebelum mandi.
b. Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad (Jumhur) berpendapat bahwa yang dimaksud suci disini adalah suci yang boleh bagi laki-laki untuk mengumpuli istrinya yaitu bersuci dengan air sebagaimana bersuci karena junub, dan perempuan itu tetap belum boleh dikumpuli sebelum darahnya berhenti dan telah mandi.
c. Menurut at-Thawus dan dan Mujahid, bahwa untuk bolehnya dikumpuli cukup hanya dengan membasuh farjinya dengan air lalu berwudhu.
d. as-Shabuni berpendapat bahwa pendapat jumhurlah yang lebih kuat, sebab Allah menerangkan sebab adanya ketentuan tersebut dengan firman-Nya “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang menyucikan diri”. dengan melihat dzahirnya lafal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud yaitu kebersihan fisik yaitu mandi dengan air.
5. Larangan-larangan untuk wanita haidh
Para ulama telah bersepakat bahwa perempuan yang sedang haidh dilarang mengerjakan sholat, puasa, thawaf, masuk masjid, menyentuh mushaf Al-qur’an dan bersetubuh. Hukum-hukum ini dapat diketahui secara rinci dalam kitab-kitab fiqih.

E. Hikmatut Tasyri’
     Allah azza wajalla menjadikan wanita sebagai tempat untuk mengembangkan keturunan dan menghalalkan mengumpuli mereka setiap saat kecuali saat wanita tersebut tengah beribadah misalnya ihram, puasa, i’tikaf atau saat dalam keadaan haidh. 
Pada saat haidh, kondisi wanita sedang dalam keadaan tidak sehat, saat itu wanita sedang mengalami masa pembuangan telur-telur yang tidak berhasil untuk dibuahi dalam rahim. pada saat situasi demikian, wanita mengalami rasa kurang enak atau menderita serta sedang dalam keadaan tidak siap mental untuk disetubuhi.
     Selain itu, darah haidh memiliki bau yang tidak enak, karena darah haidh adalah darah yang memang secara alami harus dibuang dan sudah tidak berfungsi. disamping itu, ilmu kedokteran modern juga telah menemukan adanya bahaya yang menimpa wanita yang diakibatkan pencampuran antara mani dan darah haidh. pencampuran antara air mani dan darah haidh akan mengakibatkan pembengkakan pada mulut rahim dan mengakibatkan bahaya fisik pada pihak lelaki. hal ini adalah salah satu bukti tentang kebenaran ajaran Al-Qur’an.  

KESIMPULAN

1. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 222 diterangkan tentang hukum mendekati wanita haidh. Seorang suami dilarang untuk mendekati dalam artian mencampuri(bersetubuh) dengan istrinya yang sedang mengalami menstruasi. batasan dilarangnya hanya sebatas antara pusar dan lutut, selain area itu, suami boleh berlaku apa saja. 
2. Seorang suami boleh mencampuri istrinya lagi setelah darah haidhnya berhenti dan istrinya telah mandi besar.
3. mengenai masa terpanjang dan terpendek masa Haidh terjadi perbedaan dikalangan ulama, ada yang mengatakan 10 hari, 15 hari dan ada yang mengatakan tidak ada batasan (disesuaikan dengan kebiasaan), mengenai khilafiah ini dapat dipelajari lebih rinci dalam kitab-kitab fiqih.
4. Bagi suami yang tetap menyetubuhi istrinya yang sedang haidh supaya cepat bertaubat minta ampunan dari Allah dan memperbanyak baca istiqfar.
5. Wanita yang sedang haidh dilarang untuk sholat, puasa, thawaf, masuk masjid, menyentuh mushaf Al-qur’an dan bersetubuh. Hukum-hukum ini dapat diketahui secara rinci dalam kitab-kitab fiqih.
6. Hikmah dilarangnya menyetubuhi istri pada saat haidh yaitu bahwa adanya bahaya yang menimpa wanita yang diakibatkan pencampuran antara mani dan darah haidh. pencampuran antara air mani dan darah haidh akan mengakibatkan pembengkakan pada mulut rahim dan mengakibatkan bahaya yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, 2010. Al-qur’an dan terjemahan. Jakarta : Lentera Abadi
Ash-Shabuni. 1985. Tafsir Ayat Ahkam. Surabaya: PT Bina Ilmu
Shihab Quraish, 2002. Tafsir al-misbah. Jakarta: Lentera Hati

Tidak ada komentar: