Kamis, 18 Februari 2016

Sejarah Aliran Asy’ariyah

     Awal kemunculan aliran dalam islam terjadi pada saat khalifah islamiyah mengalami pergantian kepemimpinan dari Utsman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan dikalangan umat islam. Namun bibit itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Utsman bin Affan. Itu semua di sebabkan karena adanya kebijakan Utsman bin Affan, bahwa beliau banyak mengangkat pejabat dari kerabatnya. Sehingga banyak kalangan yang kecewa dengan kebijakan tersebut. 
     Di masa pemerintahan Ali, beliau tidak mau mengusik masalah terbunuhnya Utsman. Hal itu mengakibatkan terjadinya perang jamal, yang di pimpin oleh Aisyah. Dan juga adanya perang siffin karena penolakan muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, yang berakhir dengan keputusan tahkim. Dari keputusan tersebut menyebabkan Ali turun tahta dan menjadikan Muawiyah sebagai pengganti Ali yang disebabkan oleh tipu muslihat Amr bin Ash.  Akibat dari keputusan tahkim tersebut ada golongan Khawarij (golongan yang keluar dari Ali) dan membentuk sebuah rencana untuk membunuh Ali dan Muawiyah. Tapi yang berhasil dibunuh adalah Ali
     Dengan demikian timbullah golongan jabariyyah yang mengatakan bahwa semua perbuatan manusia itu dari tuhan dan golongan qadariyah mengatakan bahwa manusialah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatannya.

Sejarah  Aliran Asy’ariyah 

     Asy’ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abu hasan Asy’ari. Aliran ini dibentuk oleh Abu al-Hasan Ali Ibn Ismail Al-asy’ari . Tetapi juga ada yang mengatakan bahwa aliran ini dibentuk oleh Abdul-Hasan ali bin Ismail Al-Asy’ary (dalam penulisan nama yang berbeda dari sumber diatasnya).  Beliau lahir di Bashrah pada tahun 873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Beliau masih keturunan Abu Musa Al- asy’ari, seorang duta perantara dalam perseturuan pasukan Ali dan Muawiyah. Sejak kecil ia berguru kepada seorang mu’tazilah yang terkenal, yaitu Al-Jubba’i. Ia adalah murid cerdas dan menjadi kebanggaan gurunya. Ia seringkali mewakili gurunya untuk mengikuti acara bedah ilmu dan diskusi. Beliau mempelajari dan memperdalam  ajaran-ajaran mu’tazilah sampai berusia 40 tahun. Ketika mencapai usia 40 tahun, beliau mulai tidaksepaham dengan gurunya yaitu Al-Jubba’i  walaupun ia telah menganut paham mu’tazilah. Maka ia mulai membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri yaitu Asy’ariyah pada tahuun 300 H. Ketidakpuasan Al-Asy’ari terhadap aliran muktazilah adalah Karena adanya keraguan di dalam diri asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham mu’tazilah
     Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran mu’tazilah.
Tetapi al-asy’ari meninggalkan mu’tazilah juga karena pada waktu itu golongan mu’tazilah sedang berada pada fase kemunduran dan kelemahan. Dalam keadaan seperti inilah al-asy’ari keluar dari golongan mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang diberi nama aliran asy’ariyah. Menurut Ibnu asakir, Al-asy’ari meninggalkan faham mutazilah karena ia telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali yaitu pada malam ke-30, 20 dan 30 bulan Ramadhan. Dalam mimpinya Rasulullah mengingatkan agar meninggalkan faham mutazilah dan beralih kepada faham yang telah diriwayatkan dari beliau. 

Menurut pendapat kami dari ajaran Asy’ariah 

     Kurang sependapat karena segala sesuatu yang dikerjakan manusia pada akhirnya akan dpertanggung jawabkan. Sekecil apaun dosa yang diperbuat manusia pada dasarnya akan di per-tanggung jawabkannya, dan disitulah makanya manusia di berikan akal pikiran yang harus digu-nakan untuk mengenai mana hal yang baik dan yang buruk, mana yang berdosa dan tidak berdo-sa di mata Tuhan.
Selain itu juga seperti halnya umur  manusia yang pada dasarnya tidak ada yang tau dimana, ka-pan, dan peristiwa kematian manusia, dari semua itu merupakan takdir dan rahasia Tuhan. Tuhanlah yang menciptakan manusia sehingga berupa wujud yang masing-masing manusia berbeda walaupun ada yang kembar.

     Dari segi pemikiran asy’ariyah beranggapan mengetahui sifat Allah SWT harus dengan syara’. Bagi asy’ariyah kebenaran dengan syari’at berupa perintah sedangkan keburukan itu berupa larangan. Maksudnya segala sesuatu yang diperintahkan didalam Al-Quran dan hadist harus dilakukan atau di laksanakan dan segala yang diharamkan itu dilarang akan melakukannya. Dan segala hal yang deperbuat manusia walau hal kecil ia harus memper-tangggungjawabkannya.

Tokoh-tokoh dan Ajaran Aliran Asy’ariyah

1) Muhammad Ibn al Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
     Ajaran-ajaran yang disampaikan tidak selalu sama dengan apa yang disampaikan oleh asy’ari. Misalnya, sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Dan contoh lain yang menyatakan bahwa al-baqillani tidak sepaham dengan asy’ari misalnya, mengenai perbuatan manusia. 
Menurut pendapat Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, yang diwujudkan tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk/sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
2) Abd al-Malik al-Juwaini 
     Beliau lahir di Nisabur pada tahun 439 H / 3028 M dan wafat pada tahun 478 H / 3085M. Beliau lebih dikenal dengan nama Imam Al-Haramain ( nama aslinya kurang dipahami masyara-kat umum ). Ia mengikuti jejak Asy’ari dan Al-Baqillani dalam menjunjung tinggi kekuatan akal pikiran. Lalu ia pergi ke Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan di Madinah untuk memberikan pelajaran di sana, sehingga ia dijuluki Imam al-Haramain.
Mengenai perbuatan manusia Al-Juwaini mempunyai pendapat bahwa wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu tuhan.
3) Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
     Beliau adalah murid dari Al-Juwaini, hidupnya tidak mengalami ketenangan batin, karena dalam mencari kebenaran (Tuhan) semua jalan yang telah ditempuh oleh al-Ghazali tidak ada yang memuaskan dan pada akhirnya ia sampai kepada tasawuf, sebagai satu-satunya jalan untuk mengabdi kepada tuhan.
     Al-Ghazali di dalam paham teologinya, tidak jauh beda dengan Asy’ari, bahwa dia mengaku bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat qadim. Dan mengenai perbuatan manusia ia berpendapat bahwa tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan, dan daya yang diperbuat lebih menyerupai potensi. 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi M.A, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1966.

Drs. Rosihon Anwar, M.Ag, Drs.Abdul Rozak, M.Ag, “Ilmu Kalam”, Bandung, CV Pustaka Setia, 2006.

Tidak ada komentar: