Rabu, 17 Februari 2016

KONSEP KETAATAN KEPADA ULIL AMRI DALAM SURAT AN- NISA’ AYAT 59

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang masalah
     Sebagai orang islam tentu kita patut mencari tahu tentang  bagaimana kita sebagai orang Islam harus menempuh jalan hidup yang benar menurut Allah dan Rasul Nya, karena itu merupakan syarat agar kita bisa benar dalam beribadah  baik yang mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh dan menjadi seorang yang masuk Islam secara kaffah dan agar tidak tersesat mengikuti langkah syaitan. Diantara ibadah ghoiru maghdoh yang masih jadi perselisihan dikalangan umat islam ialah tentang kepemimpinan  dalam islam.Dalam makalah ini saya akan membahas tentang  KONSEP KETAATAN KEPADA ULIL AMRI DALAM SURAT AN-NISA’ AYAT 59, karena sebagaimana kita tau bahwa puncak ketaatan umat Islam yaitu kepada Allah,Rosul,dan ulil amri dan menurut saya itu merupaka suatu birokrasi ketaatan dalam Islam.


2. Identifikasi masalah
     Sebagaimana kita tahu bahwa kita sekarang hidup di era yang telah jauh dari zaman para Rosul dan para shabat hidup dan di tengah banyaknya ajaran, doktrin maupun ideologi yang mewarnai bangsa ini , maka sudah barang pasti di jaman kita hidup ini pun banyak sekali perbedaannya terutama di dalam bidang pemerintahan, untuk itu penting untuk kita kaji tentang seperti apa dan bagaimana konsep ketaatan kepada ulil itu?
3. Pembatasan masalah
     Karena pembahasan ini membahas kandungan ayat al-Quran yang sangan luas maknaya,maka makalah ini dibatasi hanya pada konsep ketaatan kepada ulil amri.
4. Rumusan masalah
       Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
a. Apa yang dimaksud dengan konsep
a. Ketaatan kepeda ulil amri
b. Pendapat mufasir tentang ulil amri
c. Bagaimana bentuk konsep ketaatan
d. Seprti apa konsep ketaatan itu

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian konsep ketaatan kepada ulil amri
      Istilah konsep: berasal dari bahasa latin conceptum,yang artinya rancangan atau ide.(1)
Sedangkan ketaatan : berasal dari kata taat yang berarti senantiasa tunduk, tidak berlaku curang, setia saleh, kuat beribadah.(2)
     Jika merujuk kepada arti secara bahasa, ulil amri bermakna yang mempunyai wewenang, urusan, perintah. Bisa kita sebut sebagai pihak yang berwenang, yang mengatur urusan, atau pemerintah.
Jadi konsep ketaatan kepada ulil amri adalah suatu ide atau gagasan dalam tatanan pemerintahan islam
Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 59

Artinya:
   "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
2. Pendapat Mufasir tentang ulil amari
      Tafsir at-Thabari, sebuah kitab tafsir klasik yang ditulis oleh ulama besar Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari dan banyak dirujuk oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta'wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Berkata sebagian ulama lain, masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (3) (Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)
     Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulul amri" pada QS An-Nisa:59. Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid. Imam al-Mawardi memberi catatan bahwa walaupun mereka mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat dalam sabab nuzul turunnya ayat ini. Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin dalam sariyah.
     Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (4)(Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)
     Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum. Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebutkan contoh yang dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi (legislatif ?) yang dipercaya oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam kemaslahatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya. (5)(Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 72-73)
Imam Fakhur Razi mencatat ada empat pendapat tentang makna ulil amri. Pertama, makna ulil amri itu adalah khulafa ar-rasyidin. Kedua, pendapat lain mengatakan bahwa ulil amri bermakna pemimpin perang (sariyah). Ketiga, Ulil amri itu adalah ulama yang memberikan fatwa dalam hukum syara dan mengajarkan manusia tentang agama (islam). Keempat, dinukil dari kelompok rawafidh bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah imam-imam yang mashum.(6) (Tafsir al-fakhr ar-Razi, juz 10, h. 144)
     Senada dengan sejumlah kitab tafsir di atas, al-Alusi, pengarang tafsir Ruh al-Maani, mendata adanya beberapa pandangan tentang makna ulil amri. Ada yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah pemimpin kaum muslimin (umara al-muslimin) pada masa Rasul dan sesudahnya. Mereka itu adalah para khalifah, sultan, qadhi (hakim) dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah pemimpin sariyah. Juga ada yang berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi (cendekiawan?). (7)(Tafsir Ruh al-Maani, juz 5, h 65)
      Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri, menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah, menurut zhahirnya, ulama. Sedangkan secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama"(8) (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518)
      Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama masa kini yang semasa dengan Dr. Yusuf Qardhawi, dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir, menyebutkan bahwa sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna ulil amri itu adalah ahli hikmah atau pemimpin perang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ulama yang menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum syara'. Sedangkan syiah, masih menurut Wahbah Az-Zuhaili, berpendapat bahwa ulil amri itu adalah imam-imam yang mashum.(9) (at-Tafsir al-Munir, juz 5, h. 126). Dalam kitab ahkam al-Quran, Ibn al-arabi berkata: "yang benar dalam pandangan saya adalah ulil amri itu umara dan ulama semuanya". (10)(Ahkam al-Quran, juz 1, h. 452)

3. Bentuk konsep ketaatan
     Seperti apakah konsep ketaatan itu ? Ibnu abbas mengkonotasikan kata (ulil amri ) , menurutnya adalah (al-umara’ wa al-wullat)  yaitu para penguasa. Konteks ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban untuk menaati penguasa. Karena itu, ulil amri dengan konotasi penguasa dalam konteks ini jelas lebih tepat ketimbang konotasi ulama atau yang lain. Dengan demikian, ayat ini jelas memerintahkan agar menaati penguasa. (11 ) Namun,kita dalam beak kita pasti bertanya penguasa seperti apa yang wajib kita taati ?
     Sayyidina Ali bin Abi Thalib-karrama-Llahu wajhah-menjelaskan, bahwa seorang imam/kepala negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan menaatinya.
    Karena itu, konteks menaati ulil amri dalam surat anNisa’: 59 di atas tidak berlaku mutlak, sebagaimana menaati Allah dan Rasul-Nya yang maksum; tetapi terikat dengan ketaatan ulil amri tersebut kepada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya. Sebab, dengan tegas Nabi saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Tidak boleh ada sedikit pun ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq (Allah SWT) (HR Ahmad).(12 )

4. Contoh konsep ketaatan
   Salah satu wujud daripada konsep ketaatan itu sendiri yaitu adanya hukum dan perundang-undangan yang diterapkan penguasa yang bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu hukum perundang undangan yang bersifat syar’i(al-ahkam wa al-qawanin al-ijra’iyyah). dan maupun hukum perundang – undangan yang bersifat administratif (al-ahkam wa al-qawanin al-ijra’iyyah). (13)
    Diantara hukum syar’i  seperti hukum pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, atau hukum-hukum syariah yang lain,dalam hal ini, tidak boleh seorang pun penguasa atau seorang Muslim mengkaji atau mengambil dari sumber lain, selain syariah Islam. Adapun hukum dan perundang-undangan.
    Sedangkan perundang-undangan yang bersifat administratif seperti peraturan lalu lintas, KTP, SIM, Paspor dan sejenisnya. Dalam hal ini, penguasa atau seorang Muslim bisa mempelajari atau mengambil dari sumber manapun, selama tidak bertentangan dengan syariah Islam. 
Karena itu, konteks perintah ketaatan di dalam surat an-Nisa’: 59 di atas berlaku untuk:
• Penguasa Muslim yang menerapkan syariah Islam secara kaffah.
• Penguasa Muslim yang menerapkan syariah Islam secara parsial; dia wajib ditaati dalam konteks syariah yang dia terapkan, seperti peradilan agama Islam (mahkamah syariah) yang  mengatur kawin, cerai dan sebagainya, termasuk ketika seorang penguasa menyerukan jihad untuk melawan pendudukan negara kafir penjajah.
• Penguasa Muslim yang tidak menerapkan syariah Islam, baik secara kaffah maupun parsial. Dalam hal ini, dia hanya ditaati dalam konteks hukum dan perundang-undangan yang bersifat ijra’i saja. Lebih dari itu, hukum menaati penguasa tersebut bukan saja tidak wajib, tetapi justru tidak dibolehkan.
BAB III
KESIMPULAN

    Dari uraian di atas maka kita simpulkan bahwa konsep ketaatan kepada ulil amri dalam suatu sistem pemerintahan  adalah wajib untuk kita taati selama tidak melanggar selama tidak bertentangan dengan firman Allah dan sunnah rosul.Bahkan seorang muslim ketika menjadi ulil amri atau penguasa wajib hukumnya untuk menerapkan peraturan yang sesuai dengan syari’at Islam dan kita sebagi warga negara yang baik wajib untuk mentaatinya.
    Hal yang demikian tentu tidak berlaku untuk semua aturan, tetapi hanya terbatas pada perturan yang bersifat syar’i bukan peraturan yang bersifat administratif apalagi perturan yang bersifat negatif.

Tidak ada komentar: