SEJARAH SINGKAT
PONDOK PESANTREN GIRIKESUMO
Bertahan
Di Tengah Arus Perubahan
Pondok Pesantren Girikesumo Mranggen Demak Jawa tengah di dirikan oleh
Syeikh Muhammad Hadi pada tahun 1288
H, bertepatan dengan tahun 1868 M. pondok Pesantren yang kini telah berusia
kurang lebih 150 tahun itu merupakan perwujudan gagasan Syeikh Muhammad
Hadi untuk membangun sebuah lembaga
pendidikan ahlak dan ilmu agama di
tengah-tengah masyarakat.
Lembaga pendidikan akhlaq diwujudkan dalam bentuk pengajian Thoriqoh
Kholidiyah, sedangkan lembaga pendidikan ilmu pengetahuan agama diwujudkan
dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (KBM) ilmu agama dalam
bentuk pengajian kitab-kitab berbahasa arab yang menggunakan sistem bandongan,
sebuah sistem pengajaran yang kini populer disebut dengan sistem salaf.
Untuk mendukung gagasannya itu Syeikh Muhammad Hadi yang oleh para santri dan masyarakat di
sekitar Girikesumo Mranggen Demak di
panggil dengan sebutan Mbah Hadi ,
Mbah Hasan Mukibat, Mbah Giri
atau Ky Ageng Giri. Mendirikan sebuah
bangunan masjid di tepi hutan jati yang kini pengelolaannya di tangani oleh
Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah.
Bangunan masjid yang kini masih di pertahankan keasliannya itu, kontruksi bangunannya menggunakan kayu jati
pilihan. Demikian juga lantainya
menggunakan lembaran-lembaran kayujati pilihan yang berkualitas tinggi.
Kekokohan bangunan masjid yang
masih nampak hingga kini sekarang kendati usianya mencapai satu setengah abad
itu seakan-akan mengiringi ketegaran pengasuh pondok Pesantren yang hingga
sekarang ini masih mempertahankan system pendidikan salaf di tengah derasnya
pengaruh perubahan yang juga melanda di dunia Pesantren tanah air.
Menurut catatan prasasti di dinding bagian depan bangunan masjid yang
seluruh bangunannya menggunakan kayu jati itu di bangun hanya dalam waktu 4
jam, di mulai dari jam sembilan malam
dan selesai jam satu malam. Prasasti
yang di tulis dengan menggunakan huruf arab pegon dan bahasanya menggunakan
bahasa jawa itu bebunyi “Ikilah pepenget masjid Girirkesumo tahun ba` hijriah
Nabi SAW 1288 wulan robi`ul akhir tanggal ping nembelas awit jam songo dalu
ngantos jam setunggal dalu rampung, yasane Kyai Muhammad Giri ugi sa`sekabehane
wong ahli mukmin kang Hadir taqobbalalloohu ta`ala amin.
Jika di alihbahasakan ke bahasa indonesia dalam terjemahan bebas
prasasti itu kurang lebih berbunyi “Ini adalah peringat masjid Girikesumo yang
di dirikan pada tanggal 16 robi`ul akhir tahun ba` hijrah Nabi SAW 1288 H, di bangun dari pukul sembilan malam sampai
pukul satu malam (dini hari) hasil karya Kyai Muhammad Giri dan semua orang
mukmin semoga di terima Alloh ta`ala Amin”.
Dengan bekal sebuah bangunan masjid yang lokasinya berada di sebuah
perbukitan yang rimbun, waktu itu Mbah
Hadi mengajar santrinya. Jumlah santri yang mengikuti pengajian setiap
hari terus bertambah sehingga asrama atau kamar-kamar yang telah di sediakan di
kanan kiri masjid tidak lagi mampu untuk
menampung santri, sehingga Mbah Hadi
menambah bangunan agar dapat menampung hasrat santri yang ingin mengaji
kepada beliau.
Mbah Hadi oleh Alloh ta`ala di
karunia umur yang cukup panjang,
sehingga memiliki kesempatan dan waktu yang cukup untuk menyiapkan
kader-kader penerus perjuangan yang di rintisnya di kemudian hari. Demikian pula dengan anak dan keluarganya
Mbah Hadi memiliki perhatian yang sangat
besar terutama dalam hal pendidikan. Sehingga
dengan adanya kesiapan regenerasi jika suatu saat terjadi suksesi kepemimpinan
di pondok Giri, dapat berjalan mulus. Ini menandakan bahwa Mbah Hadi
benar-benar menyadari bahwa regenerasi adalah sesuatu yang alamiyah dan pasti
terjadi.
Dan perhatian itu di buktikan dengan memondokan putra-putranya di
berbagai pondok Pesantren, yang mampu memunculkan generasi penerus. Semisal Kyai Sirojuddin dan Kyai Mansyur yang akhirnya Kyai
Sirojuddin sepulang dari pondok di
tunjuk untuk meneruskan program pondok pesantren yang telah di rintis oleh
ayahandanya. Khususnya santri-santri
muda. Sementara santri-santri tua (Thoriqoh) tetap di pegang oleh Mbah Hadi
. Sementara Kyai Mansyur di tugaskan
ayahnya untuk meneruskan perjuangannya di daerah Solo. Tepatnya di daerah Danggu klaten. Namun Kyai
Sirojuddin di karuniai umur yang pendek sehingga beliau meninggal
mendahului ayahnya.
Mbah Hadi meninggal dunia pada
tahun 1931 dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok Pesantren di teruskan oleh
Mbah Zahid. Kerangka pendidikan yang telah di canangkan oleh Mbah
Hadi tetap di teruskan oleh Mbah
Zahid. Pengajian kitab dengan system
bandungan dan Thoriqoh Naqsabandiyah
Kholidiyah tetap terus berjalan dan jumlah santrinya terus meningkat.
Santri-santri pondok Giri yang
di kemudan hari tidak sedikit yang berhasil
menjadi tokoh panutan masyarakat, sehingga menjadikan ajaran-ajaran yang di
berikan oleh pengasuhnya baik semasa Mbah Hadi
maupun Mbah Zahid semakin menyebar tidak lagi sebatas pulau jawa saja,
bahkan seantero nusantara, terutama ajaran Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah.
Tentang keberhasilan pondok Giri menyebarluaskan ajaran Thoriqoh
Naqsabandyah Kholidiyah hingga menerobos daerah-daerah luar jawa seperti
sumatera dan kalimatan tidak lepas dari peran santri-santrinya yang mengikuti
program trannsmigrasi keluar jawa, baik
di masa colonial maupun setelah kemerdekaan.
Mereka selepas meninggalkan jawa di tempat baru mengembangkan dan
mengajarakan tentang apa-apa yang di perolehnya semasa masih ngaji dengan Mbah Hadi maupun Mbah Zahid.
Ikatan primoldial antara seorang
guru dan murid memang sangat kental sekali di lingkungan pondok-pondok Pesantren
terutama pondok yang memakai system salaf.
Hubungan antara seorang santri dengan guru akan terus berjalan sepanjang
masa sampai kepada anak cucunya. Inilah kelebihan yang di miliki pondok-pondok
salaf. Ikatan batin antara santri, Kyai dan alumni serta seluruh keluarganya
dapat berjalan secara alamiyah tanpa di atur dengan dinding protokoler yang ketat.
Ini pula yang terjadi pada pondok
Pesantren Girikesumo.
Dipenjara
Belanda
Selain memberikan pengajaran akhlak melalui pengajian Thoriqoh
Naqsabandiyah Kholidiyah dan pengajian kitab,
semenjak berdiri hingga sekarang pondok Giri juga menanamkan wawasan
kebangsaan kepada para santrinya. Ini
bisa di lihat dari dua pengasuh yang berlainan generasi Mbah Hadi dan Mbah Zahid senantiasa mengambil
sikap non koperatif terhadap colonial
belanda pada waktu itu.
Karena sikap-sikap anti belanda yang di tanamkan keada santrinya,
beberapa kali Mbah Hadi di tangkap dan di jebloskan di penjara semarang. Beruntung sekali dalam waktu yang tak lama Mbah Hadi yang selama di penjara di beri kebebasan untuk keluar dari ruang
tahanan guna memimpin sholat di masjid pakojan semarang, di setiap sholat lima
waktu tiba segera di bebaskan sehingga dapat kembali mengendalikan jalannya pesantren.
Tidak sebagaimana ayahnya Mbah
Hadi yang cukup lama memimpin pondok Giri. Mbah Zahid sebagai generasi kedua hanya memimpin pondok dalam kurun waktu 30
tahun. Tahun 1961 tongkat kepemimpinan pondok di serahkan
kepada anak tertuanya yaiitu K.H Muhammad Zuhri
yang oleh santri dan masyarakat biasa di panggil dengan sebutan Mbah Muh
Giri, karena kondisi kesehatan Mbah
Zahid semakin menurun dan meninggal dunia pada tahun 1967.
Di bawah kepemimpinan Mbah Muh
inilah pondok Giri mulai mencoba
untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian
di bidang pendidikan santri, penyajian pendidikan yang selama puluhan tahun berjalan dengan system
bandongan di lengkapi dengan system
klasikal sementara system lama masih
berjalan.
Di terapkannya system klasikal bukan semata-mata untuk mengikutti
perkembangan zaman, tetapi lebih dari
itu agar penyajian kitab-kitab kepada
para santri dapat berjalan lebih sistematis, selain itu dengan mengikuti system ini akan dapat membantu santri dalam menguasai materi kitab-kitab
yang di kaji.
Penerapan system klasikal yang di terapkan itu ternyata dapat mendukung
usaha-usaha santri dalam memahami
kitab-kitab yang di ajarkan. Pembagian
kelas di sesuaikan kemampuan masing-masing santri dengan tanpa membedakan
umur. Kepemimpinan Mbah Muh hanya berlangsung 19 tahun. Tahun 1980 Mbah Muh wafat dan estafet pondok
segera beralih pada generasi ke-4 yaitu Kyai munif. Putra keempat dari Mbah Muh
segera tampil meneruskan perjuangan leluhurnya.
Dengan tekad yang bulat Kyai Munif yang pada waktu menerima amanah untuk
meneruskan perjuangan ayahnya masih
berusia muda, belum genap 30 tahun mulai
memberikan perhatian besar terhadap lembaga pendidikan klasikal yang di buka
oleh alm. Ayahnya. Sementara
kegiatan-kegiatan lainnya seperti pengajian secara bandongan dan
pengajian Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah tetap berjalan dan jumlah santrinya
pun semakin besar.
Kepulangan kakaknya KH Nadzif Zuhri (putra ke3) dari Mbah Muh dari
pengembaraanya mencari ilmu di
Universitas Islam Madinah pada tahun 1985, membawa angin segar pada jalannya roses KBM
di pondok Giri. Lembaga pendidikan yang
di rintis oleh ayahnya yakni madrasah diniyah yang sudah di atur secara klasikal di ppertajam system penyajian materi
pelajarannya.
Meski pada awalnya angin perubahan yang di hembuskan
oleh Kyai Nadzif sempat di
rasakan gerah oleh sebagian masyarakat dengan alasan apa yang di lakukannya
akan menggusur nilai-nilai yang sudah
mapan di lingkungan pondok salaf. Tidak menjadi kannya surut dalam melangkah
jusru sebaliknya, dengan
kepandaianyadalam merealisasikan ide yang di nilai controversial itu belakangan
di rasa semakin mempertegas eksistensi
arah dan tujuan pendidikan pondok salaf yang di rintis Mbah Hadi ini.
Yakni tidak sebatas membentuk
manusia yang berilmu dan berakhlakll tetapi sekaligus mampu mengantisipasi
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat dengan mendi rikan madrasah di
niyah Sekolah islam salaf (SIS) pada tahun 1986.
Kurikulum
Tanpa bermaksud menggusur apa yang sudah ada, melalui SIS yang di rintisnya, Kyai Nadzif mulai mencoba menata ulang
kembali atas lembaga pendidikan formal yang sudah ada dengan menerakan sitem
baru. Madrasah yang sudah ada di jadi
kan cikal bakal keberadaan SIS, system
ppendidikan yang sudah ada dan di laksanakan bertahun-tahun di rombak. Ini bukan berarti pondok Giri yang telah
berusia seabad lebih ini mengalami
pergeseran orientasi secara total.
Karena di sini ciri-ciri
Pesantren salaf yang memiliki kemampuan sangat dominant dalam memertahankan
semangat kemandi rian, keberanian
menderita dalam upaya mencapai tijuan,
memiliki potensi dan penelitian dalam penguasaan bahasa arab dengan
berbagai ilmu alatnnya, tetap di
ppertahankan. Justru dengan melalui
perubahan system pendidikan yang kurikulumnya di susun sendi ri itu pondok Giri
melalui program SIS semakin memertegas kemandiriannya.
Sebagai lembaga pendidikan formaldi
lingkungan pondok kegiatan SIS di
tata sedemikian rupa mulai dari perencanaan materi yang di ajarkansampai
tujuan akhir dari ppendidikan yang silam ini nyaris tidak pernah di sentuh oleh
kalangan pengelola podok-pondok salaf,
oleh ppengasuh SIS di susun tertib.
Hal ini di lihat tidak hanya daripembagian dan penjenjangan santri yang
masa pendidikannya di batasi hanya delapan tahun bagi santri yang ketika masuk
sudah memiliki bekal dasar-dasar penguasaaan agama atau sembilan tahun bagi
calon santri yang belum memiliki bekal
apa-apa, selisih atau kelebihan waktu
satu tahun di perunukan mengikuti program penyesuaian atau persiapan sebelum
masuk ke jenjang Tsanawiyah di
lingkungan SIS.
Maka jangan heran kalau di sini
di berlakukan tes atau ujian bagi para calon santri yang ingin belajar
di pondok Pesantren Sekolah islam salaf intik menentukan jenjang pendidikan
yang akan di ikutinya. Suatu tahapan atau kegiatan yang selama ini
tidak di kenal sama sekali di dunia
Pesantren, karena biasanya Kyai dengan
sikap keterbukaanya selalu well come menerima siapa saja yang ingin belajar
di Pesantrennya tanpa melihat umur dan
tingkat kecerdasannya. Juga di bebaskan akan ngaji kitab apa saja yang ada
sampai kkelas berapa di persilahkan.
Barangkali iniikah salah satu terobosan Pesantren salaf dalam upaya
mempertahankan dan mengembangkan jati di rinya di tengah-tengah derasnya arus perubahan yang
terjadi di luar lingkungan Pesantren
tanpa harus kehilangan jati di ri salafiyahnya ? Wallohu a`lam. Yang jelas Pesantren-Pesantren di indonesia
yang merupakan lembaga pendidikan tertua masing-masing mencoba dengan caranya sendi
ri agar tetap eksis dan keberadaaanya di butuhkan masyarakat.
Sehingga wajar kalau saat ini muncul berbagai langkah inovasi yang
di tempuh oleh dunia Pesantren dengan
tanpa terkoordi nir suatu lembaga manapun,
termasuk pesantren-pesantren salaf
yang telah terbukti ketangguhannya dalam melahiran tokoh-tokoh masyarakat.
Demikan halnya dengan pondok Giri,
melalui SIS yang di kibarkan
sejak kurang lebih puluhan tahun lalu dengan mengandalkan kurikulum pendidikan
yang di tetapkan langsung oleh
pengasuhnya mencoba menawarkan alternative agar Pesantren salaf mampu
menelorkan santri-santri yang siap berkiprah di
masyarakat sehingga perananya dalam menyiakan sumber daya manusia
di era pembangunan seperti sekarang ini
tidak akan terputus.
Alternatif yang ditawarkan oleh Kyai Nadzif melalui SIS yang dibagi
dalam 4 jenjang itu, masing-masing jenjang persiapan (1 tahun), jenjang ini
dikhususkan bagi para santri yang belum mengenal sama sekali tentang
pengetahuan agama. Berikutnya jenjang Mutawasith / Tsanawi (3 tahun), Aliyah (3
tahun) dan Takhassus (2 tahun).
Materi
pelajaran yang diajarkan meliputi 3 bidang:
Pertama : bidang agama meliputi Al Qur’an Al
Karim, Al Hadits As Syarif, Fiqih, Tauhid dan
perbadingan agama,
Tasawuf dan Akhlaq.
Kedua : bidang Bahasa dan Gramatika
yang materinya meliputi Bahasa Arab dan Bahasa
Inggris,
Ketiga : bidang Sosiologi Islam dengan
materi Sejarah Nabi, Sejarah Islam, dan
Tsaqofah dan
Siyasiah.
System yang di terapkan dalam SIS tidak jauh berbeda dengan system
podok salaf lainnya hanya saja di sini
terdapat mata pelajaran tambahan, yakni
di ajarkannya pelajaran umum seperti bahasa inggris dan lain-lainnya. Serta adanya penjenjangan yang lebih
menonjol. Tetapi jika di runtut lebih
jauh SIS memiliki cirri khas tersendi ri dengan menawarkan system pendidikan
agama yang jauh lebih efisien dan efektif baik dari penggunaan waktu
belajar, biaya sampai pemanfaatan
potensi yang di milki oleh santri.
Hal ini bisa dibandingkan dengan system pendidikan yang selam ini
diterapkan pada pondok-pondok salaf yang pada umumnya tidak efektif, banyak
waktu terbuang, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh santri karena ia
harus berlama-lama dipesantren untuk mengikuti pelajaran kitab demi kitab yang
dibaca oleh pengasuhnya sampai khatam, meski dari satu kitab ke kitab
berikutnya bahasannya sama sehingga seolah tidak ada waktu lagi untuk
mengapresiasikan apa yang dimiliki oleh santri.
Panjang atau lamanya waktu yang dibutuhkan oleh santri dikebanyakan
pondok-pondok salaf memang tidak bisa ditutup-tutupi, misalnya seorang santri
yang mengkaji masalah fiqih ia terpaksa harus mengulang-ulang bab atau
masalah-masalah yang sedang dikajinya dari kitab yang satu ke kitab berikutnya
yang dibacakan oleh pengasuhnya. Kitab aqrib, Fathul Mu’in dan Iqna’ yang
selama ini seolah boleh dibilang menjadi bacaan wajib dilingkungan pesantren
salaf, barangkali bisa dijadikan salah satu contoh, ketiga kitab itu biasanya
dikaji secara berturut-turut oleh santri padahal bab dan bahasannya hampir
sama. Ini sangat tidak efisien dan membuang-buang waktu saja.
Pengulang-ulangan pembahasan pada satu pelajaran seperti itu tidak akan
di temui di dalam SIS, karena materi
pelajaran sudah terprogram dengan rapid an sistematis. Kurikulum yang di rancang sendi ri itu hingga
sekarang telah berusia 15 tahun dan hasilnya cukup memuaskan. Santri yang di di di k dalam SIS setelah
terjun di masyarakat tidak mengecewakan
penguasaan ilmu agamanya dan keHadi rannya di tengah-tengah masyarakat di
sambut dengan antusias.
Sebab semasa nyantri mereka tidak di konsentrasikan untuk belajar
di bidangnya saja tetapi juga di bekali dengan ketrampilan-ketrampilan yang
mampu menunjang untuk untuk bekal di masyarakat. Untuk menaMbah wawasan para santri yang
mengikuti program SIS, pondok Giri saat
ini telah melengkapi di ri dengan fasilitas-fasilitas seperti computer yang di
lengkapi dengan Ms Word berbahasa arab,
Holy Quran Hadi ts Program,
Fiqih, kamus bahasa, Grammer terjemah Al Qur’an dalam bahasa Inggris
dan Indonesia.
Satu lagi terobosan yang di tempuh pondok Girikesumo dalam upaya
memanfaatkan waktu seefisien mungkin yakni di terapkannya system target (tahdi
d) yaitu pembatasan metode pendidikan system salaf yang mengedepankan pada
penggunaan “makna gandul” yang sudah tidak lagi diterapkan di tingkat Aliyah.
Tidak digunakannya kembali sistem salaf (makna gandul) selepas santri
menyelesaikan pendidikan di tingkat Mutawasith diharapkan santri sudah mampu
melakukan kajian-kajian materi pelajaran pada tingkat yang lebih substansial,
tidak terpaku pada hal-hal yang bersifat gramatikal sebagaimana pada saat
belajar ditingkat Mutawasith.
Kendati pondok Giri mencoba melakukan lompatan-lompatan strategis
melalui SISnya bukan berarti bentuk-bentuk kegiatan yang lain di tinggalkan
sama sekali, justru jenis-jenis
keagamaan yang ada tetap mendapatkan perhatian yang khusus.
Misalnya di bidang pendidikan
non formal, selain mengintensifkan
pengajian kitab-kitab kuning yang di ajarkan dengan sistem bandongan pondok
Giri juga membuka program hafalan Al Qur’an,
ceramah ilmiyah, majlis ta`lim
untuk masyarakat umum, latihan
pertukangan, pertanian, pertenakan computer dan menjahit. Selain itu juga di perioritaskan meliputi
olahraga bela di ri, bulu tangkis, sepak takrow, bola voli,
tennis meja dan sepak bola.
Sementara untuk pengajian Thoriqoh yang menjadi salah satu tiang penyangga dan cikal bakal
berdi rinya pondok Giri hingga sekarang masih terus berlangsung dengan santri
yang sebagian besar sudah berusia lanjut dan tetap berlangsung seperti sedia
kala.
Pengajian Thoriqoh di laksanakan selama 10 hari yang berturut-turut 4
kali dalam setahun yakni setiap tanggal 1-10 bulan Muharrom, robiul awal, rojab dan romadlon. Rata-rata santri toriqhoh yang mengikuti
program ini setiap kali di laksanakan
pada salah satu dari 4 bulan itu jumlahnya mencapai 500 sampai 1000
orang.
Sementara pada tahun 1997 pondok Pesantren Girikesumo melalui ide
cemerlang seorang pengasuh K.H Munif Zuhri mendirikan sebuah yayasan yang di
beri nama Yayasan Ky Ageng Giri. Yayasan
ini di bangun dengan maksud menyediakan kebutuhan amsyarakat akan Sekolah
formal yang secara realitas kehidupan memang sangat di butuhkan. Maka di
dirikanlah Sekolah formal yang menginduk kepada department Pendidikan nasional
maupun department agama.
1.
Sekolah Islam Salaf
Sekolah Islam Salaf Girikesumo Mranggen Demak adalah lembaga pendidikan
islam yang bernaungan di bawah pondok
Pesantren Girikesumo yang menangani putra dan putri dengan berorientasi pada
system dan pemahaman ulama salaf.
Tentu kita sependapat bahwa makna perjuangan islam dan pertahanannya
tidak bisa lepas dari penyampaian ajaran islam dari generasi ke generasi
berikutnya. Oleh karena itu dengan di
abaikannya kaderisasi oleh umat islam berarti kehancuran islam itu sendiri.
Tidak berlebihan apabila Sekolah Islam Salaf pondok pesantren
Girikesumo beranggapan bahwa pondok Pesantren dalam perjalanan sejarahnya sejak
zaman dahulu sampai sekarang adalah benteng pertahanan umat islam, karena Pesantren menfokuskan pembahasan
materinya pada ajaran-ajaran islam dan pemecahan problematika umat dalam
kehidupan individu maupun sosial demi menjunjung tinggi kalimah Alloh untuk
mendapatkan ridoNya.
2.
Berdirinya SIS
Sekolah Islam Salaf Pondok Pesantren Girikesumo di dirikan oleh
Almagfurlah Ustadz Muhammad Nadzif pada tahun 1986.
3.
Tujuan
* Menyebarkan ajaran agama Islam
kepada semua umat.
* Mendidik para santri agar
berpegang teguh pada ajaran islam dengan berbekal ilmu pengetahuan dan
ketrampilan yang membuat mereka mampu berdakwah serta mampu memecahkan
problematika umat menurut petunjuk Al Qur`an,
Sunah Nabi SAW dan amal ulama salaf.
* Menanamkan semangat memiliki
islam dengan memberikan latihan-latihan praktis dalam kehidupan individu maupun
sosial yang di dasarkan pada keihlasan dengan mengikuti jejak Rosululloh SAW
serta ulama salaf.
4.
Program pendidikan
Sekolah Islam Salaf Pondok Pesantren Girikesumo Mranggen Demak memiliki
system pendidikan kurikuler dan ektra kurikuler yang berupa pengajian Al Qur`an
serta pengajian kitab di berbagai
disiplin ilmu dengan system bandongan.
Demikian selayang pandang Sekolah Islam Salaf (SIS) Pondok Pesantren
Salaf Girikusumo Mranggen Demak, semoga dapat bermanfaat dan dapat dijadikan
panduan oleh masyarakat atau sia saja yang ingin mengenal dan mengetahui
tentang keberadaan pondok pesantren Salaf Girikusumo yang sudah cukup tua ini.
SEKOLAH
ISLAM SALAF (SIS)
PONDOK
PESANTREN GIRIKUSUMO - BANYUMENENG - MRANGGEN - DEMAK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar