Senin, 09 Februari 2015

SEJARAH SINGKAT PONDOK PESANTREN GIRIKESUMO


SEJARAH SINGKAT
PONDOK PESANTREN GIRIKESUMO
Bertahan Di Tengah Arus Perubahan
Pondok Pesantren Girikesumo Mranggen Demak Jawa tengah di dirikan oleh Syeikh Muhammad Hadi  pada tahun 1288 H,  bertepatan dengan tahun 1868 M.  pondok Pesantren yang kini telah berusia kurang lebih 150 tahun itu merupakan perwujudan gagasan Syeikh Muhammad Hadi  untuk membangun sebuah lembaga pendidikan ahlak dan ilmu agama di  tengah-tengah masyarakat.
Lembaga pendidikan akhlaq diwujudkan dalam bentuk pengajian Thoriqoh Kholidiyah, sedangkan lembaga pendidikan ilmu pengetahuan agama diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (KBM) ilmu agama dalam bentuk pengajian kitab-kitab berbahasa arab yang menggunakan sistem bandongan, sebuah sistem pengajaran yang kini populer disebut dengan sistem salaf.
Untuk mendukung gagasannya itu Syeikh Muhammad Hadi  yang oleh para santri dan masyarakat di sekitar Girikesumo Mranggen Demak di  panggil dengan sebutan Mbah Hadi ,  Mbah Hasan Mukibat,  Mbah Giri atau Ky Ageng Giri.  Mendirikan sebuah bangunan masjid di tepi hutan jati yang kini pengelolaannya di tangani oleh Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah.
Bangunan masjid yang kini masih di pertahankan keasliannya itu,  kontruksi bangunannya menggunakan kayu jati pilihan.  Demikian juga lantainya menggunakan lembaran-lembaran kayujati pilihan yang berkualitas tinggi.
Kekokohan bangunan masjid  yang masih nampak hingga kini sekarang kendati usianya mencapai satu setengah abad itu seakan-akan mengiringi ketegaran pengasuh pondok Pesantren yang hingga sekarang ini masih mempertahankan system pendidikan salaf di tengah derasnya pengaruh perubahan yang juga melanda di dunia Pesantren tanah air.
Menurut catatan prasasti di dinding bagian depan bangunan masjid yang seluruh bangunannya menggunakan kayu jati itu di bangun hanya dalam waktu 4 jam,  di mulai dari jam sembilan malam dan selesai jam satu malam.  Prasasti yang di tulis dengan menggunakan huruf arab pegon dan bahasanya menggunakan bahasa jawa itu bebunyi “Ikilah pepenget masjid Girirkesumo tahun ba` hijriah Nabi SAW 1288 wulan robi`ul akhir tanggal ping nembelas awit jam songo dalu ngantos jam setunggal dalu rampung, yasane Kyai Muhammad Giri ugi sa`sekabehane wong ahli mukmin kang Hadir taqobbalalloohu ta`ala amin.
Jika di alihbahasakan ke bahasa indonesia dalam terjemahan bebas prasasti itu kurang lebih berbunyi “Ini adalah peringat masjid Girikesumo yang di dirikan pada tanggal 16 robi`ul akhir tahun ba` hijrah Nabi SAW 1288 H,  di bangun dari pukul sembilan malam sampai pukul satu malam (dini hari) hasil karya Kyai Muhammad Giri dan semua orang mukmin semoga di terima Alloh ta`ala Amin”.
Dengan bekal sebuah bangunan masjid yang lokasinya berada di sebuah perbukitan yang rimbun,  waktu itu Mbah Hadi  mengajar santrinya.  Jumlah santri yang mengikuti pengajian setiap hari terus bertambah sehingga asrama atau kamar-kamar yang telah di sediakan di kanan kiri masjid  tidak lagi mampu untuk menampung santri, sehingga Mbah Hadi  menambah bangunan agar dapat menampung hasrat santri yang ingin mengaji kepada beliau.
Mbah Hadi  oleh Alloh ta`ala di karunia umur yang cukup panjang,  sehingga memiliki kesempatan dan waktu yang cukup untuk menyiapkan kader-kader penerus perjuangan yang di rintisnya di  kemudian hari.   Demikian pula dengan anak dan keluarganya Mbah Hadi  memiliki perhatian yang sangat besar terutama dalam hal pendidikan.  Sehingga dengan adanya kesiapan regenerasi jika suatu saat terjadi suksesi kepemimpinan di pondok Giri, dapat berjalan mulus. Ini menandakan bahwa Mbah Hadi benar-benar menyadari bahwa regenerasi adalah sesuatu yang alamiyah dan pasti terjadi.
Dan perhatian itu di buktikan dengan memondokan putra-putranya di berbagai pondok Pesantren, yang mampu memunculkan generasi penerus.  Semisal Kyai Sirojuddin  dan Kyai Mansyur yang akhirnya Kyai Sirojuddin sepulang dari pondok  di tunjuk untuk meneruskan program pondok pesantren yang telah di rintis oleh ayahandanya.  Khususnya santri-santri muda.  Sementara santri-santri tua (Thoriqoh) tetap di pegang oleh Mbah Hadi .  Sementara Kyai Mansyur di tugaskan ayahnya untuk meneruskan perjuangannya di daerah Solo.  Tepatnya di daerah Danggu klaten. Namun Kyai Sirojuddin di karuniai umur yang pendek sehingga beliau meninggal mendahului  ayahnya.
Mbah Hadi  meninggal dunia pada tahun 1931 dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok Pesantren di teruskan oleh Mbah Zahid.  Kerangka  pendidikan yang telah di canangkan oleh Mbah Hadi  tetap di teruskan oleh Mbah Zahid.  Pengajian kitab dengan system bandungan dan  Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah tetap terus berjalan dan jumlah santrinya terus meningkat.
Santri-santri  pondok Giri yang di kemudan hari tidak sedikit yang berhasil  menjadi  tokoh panutan masyarakat,  sehingga menjadikan ajaran-ajaran yang di berikan oleh pengasuhnya baik semasa Mbah Hadi  maupun Mbah Zahid semakin menyebar tidak lagi sebatas pulau jawa saja, bahkan seantero nusantara, terutama ajaran Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah.
Tentang keberhasilan pondok Giri menyebarluaskan ajaran Thoriqoh Naqsabandyah Kholidiyah hingga menerobos daerah-daerah luar jawa seperti sumatera dan kalimatan tidak lepas dari peran santri-santrinya yang mengikuti program trannsmigrasi keluar jawa,  baik di masa colonial maupun setelah kemerdekaan.  Mereka selepas meninggalkan jawa di tempat baru mengembangkan dan mengajarakan tentang apa-apa yang di perolehnya semasa masih ngaji  dengan Mbah Hadi  maupun Mbah Zahid.
Ikatan  primoldial antara seorang guru dan murid memang sangat kental sekali di lingkungan pondok-pondok Pesantren terutama pondok yang memakai system salaf.  Hubungan antara seorang santri dengan guru akan terus berjalan sepanjang masa sampai kepada anak cucunya. Inilah kelebihan yang di miliki pondok-pondok salaf.  Ikatan batin antara santri,  Kyai dan alumni serta seluruh keluarganya dapat berjalan secara alamiyah tanpa di atur dengan dinding protokoler  yang ketat.  Ini pula yang terjadi  pada pondok Pesantren Girikesumo.

Dipenjara Belanda
Selain memberikan pengajaran akhlak melalui pengajian Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah dan pengajian kitab,  semenjak berdiri hingga sekarang pondok Giri juga menanamkan wawasan kebangsaan kepada para santrinya.  Ini bisa di lihat dari dua pengasuh yang berlainan generasi Mbah Hadi  dan Mbah Zahid senantiasa mengambil sikap  non koperatif terhadap colonial belanda  pada waktu itu.
Karena sikap-sikap anti belanda yang di tanamkan keada santrinya, beberapa kali Mbah Hadi  di  tangkap dan di  jebloskan di penjara semarang.  Beruntung sekali  dalam waktu yang tak lama Mbah Hadi  yang selama di penjara  di beri kebebasan untuk keluar dari ruang tahanan guna memimpin sholat di masjid pakojan semarang, di setiap sholat lima waktu tiba segera di bebaskan sehingga dapat kembali mengendalikan jalannya pesantren.
Tidak sebagaimana  ayahnya Mbah Hadi  yang cukup lama  memimpin pondok Giri.  Mbah Zahid sebagai generasi kedua  hanya memimpin pondok dalam kurun waktu 30 tahun.  Tahun  1961 tongkat kepemimpinan pondok di serahkan kepada anak tertuanya yaiitu K.H Muhammad Zuhri  yang oleh santri dan masyarakat biasa di panggil dengan sebutan Mbah Muh Giri,  karena kondisi kesehatan Mbah Zahid semakin menurun dan meninggal dunia pada tahun 1967.
Di  bawah kepemimpinan Mbah Muh inilah  pondok Giri mulai  mencoba  untuk melakukan  penyesuaian-penyesuaian di  bidang pendidikan santri,  penyajian pendidikan yang  selama puluhan tahun berjalan dengan system bandongan  di lengkapi dengan system klasikal sementara system lama  masih berjalan.
Di terapkannya system klasikal bukan semata-mata untuk mengikutti perkembangan zaman,  tetapi lebih dari itu agar penyajian kitab-kitab kepada  para santri dapat berjalan lebih sistematis,  selain itu dengan mengikuti system ini  akan dapat membantu  santri dalam menguasai materi kitab-kitab yang di kaji.
Penerapan system klasikal yang di terapkan itu ternyata dapat mendukung usaha-usaha  santri dalam memahami kitab-kitab yang di ajarkan.  Pembagian kelas di sesuaikan kemampuan masing-masing santri dengan tanpa membedakan umur.  Kepemimpinan  Mbah Muh hanya berlangsung 19 tahun.  Tahun 1980 Mbah Muh wafat dan estafet pondok segera beralih pada generasi ke-4 yaitu Kyai munif. Putra keempat dari Mbah Muh segera tampil meneruskan perjuangan leluhurnya.
Dengan tekad yang bulat Kyai Munif yang pada waktu menerima amanah untuk meneruskan perjuangan ayahnya  masih berusia muda,  belum genap 30 tahun mulai memberikan perhatian besar terhadap lembaga pendidikan klasikal yang di buka oleh alm.  Ayahnya.  Sementara  kegiatan-kegiatan lainnya seperti pengajian secara bandongan dan pengajian Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah tetap berjalan dan jumlah santrinya pun semakin besar.
Kepulangan kakaknya KH Nadzif Zuhri (putra ke3) dari Mbah Muh dari pengembaraanya mencari ilmu di  Universitas Islam Madinah pada tahun 1985,  membawa angin segar pada jalannya roses KBM di pondok Giri.  Lembaga pendidikan yang di rintis oleh ayahnya yakni madrasah diniyah yang sudah di  atur secara klasikal di  ppertajam system penyajian materi pelajarannya.
Meski pada awalnya  angin  perubahan yang di  hembuskan  oleh Kyai  Nadzif sempat di rasakan gerah oleh sebagian masyarakat dengan alasan apa yang di lakukannya akan menggusur nilai-nilai  yang sudah mapan di  lingkungan pondok salaf.  Tidak menjadi kannya surut dalam melangkah jusru sebaliknya,  dengan kepandaianyadalam merealisasikan ide yang di nilai controversial itu belakangan di rasa semakin mempertegas  eksistensi arah dan tujuan pendidikan pondok salaf yang di rintis Mbah Hadi  ini.  Yakni tidak sebatas  membentuk manusia yang berilmu dan berakhlakll tetapi sekaligus mampu mengantisipasi persoalan-persoalan yang terjadi  di  masyarakat dengan mendi rikan madrasah di niyah Sekolah islam salaf (SIS) pada tahun 1986.

Kurikulum
Tanpa bermaksud menggusur apa yang sudah ada,  melalui SIS yang di rintisnya,  Kyai Nadzif mulai mencoba menata ulang kembali atas lembaga pendidikan formal yang sudah ada dengan menerakan sitem baru.  Madrasah yang sudah ada di jadi kan cikal bakal keberadaan SIS,  system ppendidikan yang sudah ada dan di laksanakan bertahun-tahun di rombak.  Ini bukan berarti pondok Giri yang telah berusia seabad lebih ini  mengalami pergeseran orientasi secara total.
Karena di  sini ciri-ciri Pesantren salaf yang memiliki kemampuan sangat dominant dalam memertahankan semangat kemandi rian,  keberanian menderita dalam upaya mencapai tijuan,  memiliki potensi dan penelitian dalam penguasaan bahasa arab dengan berbagai ilmu alatnnya,  tetap di ppertahankan.  Justru dengan melalui perubahan system pendidikan yang kurikulumnya di susun sendi ri itu pondok Giri melalui program SIS semakin memertegas kemandiriannya.
Sebagai lembaga pendidikan formaldi  lingkungan pondok kegiatan SIS di  tata sedemikian rupa mulai dari perencanaan materi yang di ajarkansampai tujuan akhir dari ppendidikan yang silam ini nyaris tidak pernah di sentuh oleh kalangan pengelola podok-pondok salaf,  oleh ppengasuh SIS di susun tertib.
Hal ini di lihat tidak hanya daripembagian dan penjenjangan santri yang masa pendidikannya di batasi hanya delapan tahun bagi santri yang ketika masuk sudah memiliki bekal dasar-dasar penguasaaan agama atau sembilan tahun bagi calon santri yang belum  memiliki bekal apa-apa,  selisih atau kelebihan waktu satu tahun di perunukan mengikuti program penyesuaian atau persiapan sebelum masuk ke jenjang Tsanawiyah di  lingkungan SIS.
Maka jangan heran kalau di sini  di berlakukan tes atau ujian bagi para calon santri yang ingin belajar di pondok Pesantren Sekolah islam salaf intik menentukan jenjang pendidikan yang akan di  ikutinya.  Suatu tahapan atau kegiatan yang selama ini tidak di kenal sama sekali di  dunia Pesantren,  karena biasanya Kyai dengan sikap keterbukaanya selalu well come menerima siapa saja yang ingin belajar di  Pesantrennya tanpa melihat umur dan tingkat kecerdasannya.  Juga di  bebaskan akan ngaji kitab apa saja yang ada sampai kkelas berapa  di persilahkan.
Barangkali iniikah salah satu terobosan Pesantren salaf dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan jati di rinya di  tengah-tengah derasnya arus perubahan yang terjadi  di luar lingkungan Pesantren tanpa harus kehilangan jati di ri salafiyahnya ? Wallohu a`lam.  Yang jelas Pesantren-Pesantren di indonesia yang merupakan lembaga pendidikan tertua masing-masing mencoba dengan caranya sendi ri agar tetap eksis dan keberadaaanya di butuhkan masyarakat.
Sehingga wajar kalau saat ini muncul berbagai langkah inovasi yang di  tempuh oleh dunia Pesantren dengan tanpa terkoordi nir suatu lembaga manapun,  termasuk pesantren-pesantren  salaf yang telah terbukti ketangguhannya dalam melahiran tokoh-tokoh masyarakat.
Demikan halnya dengan pondok Giri,  melalui SIS yang di  kibarkan sejak kurang lebih puluhan tahun lalu dengan mengandalkan kurikulum pendidikan yang di  tetapkan langsung oleh pengasuhnya mencoba menawarkan alternative agar Pesantren salaf mampu menelorkan santri-santri yang siap berkiprah di  masyarakat sehingga perananya dalam menyiakan sumber daya manusia di  era pembangunan seperti sekarang ini tidak akan terputus.
Alternatif yang ditawarkan oleh Kyai Nadzif melalui SIS yang dibagi dalam 4 jenjang itu, masing-masing jenjang persiapan (1 tahun), jenjang ini dikhususkan bagi para santri yang belum mengenal sama sekali tentang pengetahuan agama. Berikutnya jenjang Mutawasith / Tsanawi (3 tahun), Aliyah (3 tahun) dan Takhassus (2 tahun).
Materi pelajaran yang diajarkan meliputi 3 bidang:
Pertama            : bidang agama meliputi Al Qur’an Al Karim, Al Hadits As Syarif, Fiqih, Tauhid dan
                    perbadingan agama, Tasawuf dan Akhlaq.
Kedua               : bidang Bahasa dan Gramatika yang materinya meliputi Bahasa Arab dan Bahasa
                      Inggris,
Ketiga               : bidang Sosiologi Islam dengan materi Sejarah Nabi, Sejarah Islam, dan
                             Tsaqofah dan Siyasiah.
System yang di terapkan dalam SIS tidak jauh berbeda dengan system podok salaf lainnya hanya saja di  sini terdapat mata pelajaran tambahan,  yakni di ajarkannya pelajaran umum seperti bahasa inggris dan lain-lainnya.  Serta adanya penjenjangan yang lebih menonjol.  Tetapi jika di runtut lebih jauh SIS memiliki cirri khas tersendi ri dengan menawarkan system pendidikan agama yang jauh lebih efisien dan efektif baik dari penggunaan waktu belajar,  biaya sampai pemanfaatan potensi yang di  milki oleh santri.
Hal ini bisa dibandingkan dengan system pendidikan yang selam ini diterapkan pada pondok-pondok salaf yang pada umumnya tidak efektif, banyak waktu terbuang, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh santri karena ia harus berlama-lama dipesantren untuk mengikuti pelajaran kitab demi kitab yang dibaca oleh pengasuhnya sampai khatam, meski dari satu kitab ke kitab berikutnya bahasannya sama sehingga seolah tidak ada waktu lagi untuk mengapresiasikan apa yang dimiliki oleh santri.
Panjang atau lamanya waktu yang dibutuhkan oleh santri dikebanyakan pondok-pondok salaf memang tidak bisa ditutup-tutupi, misalnya seorang santri yang mengkaji masalah fiqih ia terpaksa harus mengulang-ulang bab atau masalah-masalah yang sedang dikajinya dari kitab yang satu ke kitab berikutnya yang dibacakan oleh pengasuhnya. Kitab aqrib, Fathul Mu’in dan Iqna’ yang selama ini seolah boleh dibilang menjadi bacaan wajib dilingkungan pesantren salaf, barangkali bisa dijadikan salah satu contoh, ketiga kitab itu biasanya dikaji secara berturut-turut oleh santri padahal bab dan bahasannya hampir sama. Ini sangat tidak efisien dan membuang-buang waktu saja.
Pengulang-ulangan pembahasan pada satu pelajaran seperti itu tidak akan di temui di dalam SIS,  karena materi pelajaran sudah terprogram dengan rapid an sistematis.  Kurikulum yang di rancang sendi ri itu hingga sekarang telah berusia 15 tahun dan hasilnya cukup memuaskan.  Santri yang di di di k dalam SIS setelah terjun di  masyarakat tidak mengecewakan penguasaan ilmu agamanya dan keHadi rannya di tengah-tengah masyarakat di sambut dengan antusias.
Sebab semasa nyantri mereka tidak di konsentrasikan untuk belajar di  bidangnya saja tetapi juga di  bekali dengan ketrampilan-ketrampilan yang mampu menunjang untuk untuk bekal di masyarakat.  Untuk menaMbah wawasan para santri yang mengikuti program SIS,  pondok Giri saat ini telah melengkapi di ri dengan fasilitas-fasilitas seperti computer yang di lengkapi dengan Ms Word berbahasa arab,  Holy Quran Hadi ts Program,  Fiqih,  kamus bahasa,  Grammer terjemah Al Qur’an dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Satu lagi terobosan yang di tempuh pondok Girikesumo dalam upaya memanfaatkan waktu seefisien mungkin yakni di terapkannya system target (tahdi d) yaitu pembatasan metode pendidikan system salaf yang mengedepankan pada penggunaan “makna gandul” yang sudah tidak lagi diterapkan di tingkat Aliyah.
Tidak digunakannya kembali sistem salaf (makna gandul) selepas santri menyelesaikan pendidikan di tingkat Mutawasith diharapkan santri sudah mampu melakukan kajian-kajian materi pelajaran pada tingkat yang lebih substansial, tidak terpaku pada hal-hal yang bersifat gramatikal sebagaimana pada saat belajar ditingkat Mutawasith.
Kendati pondok Giri mencoba melakukan lompatan-lompatan strategis melalui SISnya bukan berarti bentuk-bentuk kegiatan yang lain di tinggalkan sama sekali,  justru jenis-jenis keagamaan yang ada tetap mendapatkan perhatian yang khusus.
Misalnya di  bidang pendidikan non formal,  selain mengintensifkan pengajian kitab-kitab kuning yang di ajarkan dengan sistem bandongan pondok Giri juga membuka program hafalan Al Qur’an,  ceramah ilmiyah,  majlis ta`lim untuk masyarakat umum,  latihan pertukangan,  pertanian,  pertenakan computer dan menjahit.  Selain itu juga di perioritaskan meliputi olahraga bela di ri,  bulu tangkis,  sepak takrow,  bola voli,  tennis meja dan sepak bola.
Sementara untuk pengajian Thoriqoh yang menjadi  salah satu tiang penyangga dan cikal bakal berdi rinya pondok Giri hingga sekarang masih terus berlangsung dengan santri yang sebagian besar sudah berusia lanjut dan tetap berlangsung seperti sedia kala.
Pengajian Thoriqoh di laksanakan selama 10 hari yang berturut-turut 4 kali dalam setahun yakni setiap tanggal 1-10 bulan Muharrom, robiul awal,  rojab dan romadlon.  Rata-rata santri toriqhoh yang mengikuti program ini setiap kali di laksanakan  pada salah satu dari 4 bulan itu jumlahnya mencapai 500 sampai 1000 orang.
Sementara pada tahun 1997 pondok Pesantren Girikesumo melalui ide cemerlang seorang pengasuh K.H Munif Zuhri mendirikan sebuah yayasan yang di beri nama Yayasan Ky Ageng Giri.  Yayasan ini di bangun dengan maksud menyediakan kebutuhan amsyarakat akan Sekolah formal yang secara realitas kehidupan memang sangat di butuhkan.  Maka di  dirikanlah Sekolah formal yang menginduk kepada department Pendidikan nasional maupun department agama.

1.       Sekolah Islam Salaf
Sekolah Islam Salaf Girikesumo Mranggen Demak adalah lembaga pendidikan islam yang bernaungan di  bawah pondok Pesantren Girikesumo yang menangani putra dan putri dengan berorientasi pada system dan pemahaman ulama salaf.
Tentu kita sependapat bahwa makna perjuangan islam dan pertahanannya tidak bisa lepas dari penyampaian ajaran islam dari generasi ke generasi berikutnya.  Oleh karena itu dengan di abaikannya kaderisasi oleh umat islam berarti kehancuran islam itu sendiri.
Tidak berlebihan apabila Sekolah Islam Salaf pondok pesantren Girikesumo beranggapan bahwa pondok Pesantren dalam perjalanan sejarahnya sejak zaman dahulu sampai sekarang adalah benteng pertahanan umat islam,  karena Pesantren menfokuskan pembahasan materinya pada ajaran-ajaran islam dan pemecahan problematika umat dalam kehidupan individu maupun sosial demi menjunjung tinggi kalimah Alloh untuk mendapatkan ridoNya.

2.       Berdirinya SIS
Sekolah Islam Salaf Pondok Pesantren Girikesumo di dirikan oleh Almagfurlah Ustadz Muhammad Nadzif pada tahun 1986.

3.       Tujuan
*     Menyebarkan ajaran agama Islam kepada semua umat.
*     Mendidik para santri agar berpegang teguh pada ajaran islam dengan berbekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang membuat mereka mampu berdakwah serta mampu memecahkan problematika umat menurut petunjuk Al Qur`an,  Sunah Nabi SAW dan amal ulama salaf.
*     Menanamkan semangat memiliki islam dengan memberikan latihan-latihan praktis dalam kehidupan individu maupun sosial yang di dasarkan pada keihlasan dengan mengikuti jejak Rosululloh SAW serta ulama salaf.

4.       Program pendidikan
Sekolah Islam Salaf Pondok Pesantren Girikesumo Mranggen Demak memiliki system pendidikan kurikuler dan ektra kurikuler yang berupa pengajian Al Qur`an serta pengajian kitab di  berbagai disiplin ilmu dengan system bandongan.
Demikian selayang pandang Sekolah Islam Salaf (SIS) Pondok Pesantren Salaf Girikusumo Mranggen Demak, semoga dapat bermanfaat dan dapat dijadikan panduan oleh masyarakat atau sia saja yang ingin mengenal dan mengetahui tentang keberadaan pondok pesantren Salaf Girikusumo yang sudah cukup tua ini.
SEKOLAH ISLAM SALAF (SIS)
PONDOK PESANTREN GIRIKUSUMO - BANYUMENENG - MRANGGEN - DEMAK

Tidak ada komentar: